Berjalan bersama unta. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)
JAKARTA — Penanews.co.id — Rekaman perjalanan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra Mi’raj cukup detail dijelaskan dalam kitab Dardir Qishatul Mi’raj atau Bainama. Dalam kitab yang mengambil sumber dari sejumlah hadits itu, dikisahkan langkah demi langkah Rasulullah dalam melewati berbagai dimensi, mulai dari persiapan, pemberangkatan hingga kembali lagi ke bumi.
Dari peristiwa agung tersebut, banyak hal yang bisa dipetik hikmahnya oleh umat Islam. Setidaknya ada 5 pelajaran yang bisa diambil hikmahnya oleh umat Islam dari peristiwa Isra Mi’raj.
1. Membersihkan Hati
Dikisahkan, perjalanan Isra Mi’raj dimulai ketika Nabi Muhammad sedang istirahat bersama Sayyidina Hamzah dan Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, tiba-tiba datang beberapa malaikat. Singkat cerita, Dada Nabi Muhammad dibedah kemudian hatinya dibersihkan dan diisi dengan sabar, alim, yakin, dan Islam. Syekh Ahmad Ad-Dardiri dalam kitab Qishatul Mi‘raj (Indonesia: Maktabah Syarqiyyah, tt), halaman 4-5 mengungkapkan:
…فافرغه فى صدره وملأه حلما وعلما ويقينا واسلاما
Artinya: “…. maka isi dalam bokor itu ditumpahkan ke dalam hati Nabi Muhammad dan memenuhinya dengan hilm, ilmu, yakin, dan Islam,”
Dari peristiwa tersebut, dapat diambil hikmah bahwa untuk mendekat kepada Allah dan meniti jalan menuju ma’rifat, langkah awal yang harus ditempuh adalah dengan membersihkan hati dari berbagai penyakit dan maksiat.
Dalam melakukan maksiat, hati tidak pandang waktu dan tempat, bahkan ketika sedang melaksanakan ibadah sekali pun, hati bisa saja bermaksiat dengan misalnya riya atau ingin dipuji orang lain, hubbudunya dan sebagainya.
Salah satu cara untuk membersihkan hati adalah dengan bertasawuf yang lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada pembersihan hati. Implementasi dari ajaran-ajaran tasawuf adalah dengan bertarekat, sebagian ulama berkata bahwa tasawuf tanpa tarekat sama dengan nol.
2. Napak tilas dan ‘sowan sesepuh’
Sebagaimana diketahui, Isra adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjid Al-Haram di Makkah ke Masjid Al-Aqsha di Palestina. Dalam perjalanan menuju Palestina, Nabi Muhammad melaksanakan shalat sunah di beberapa tempa. Di antaranya di pohon yang dulu pernah dipakai berteduh oleh Nabi Musa saat dikejar-kejar Fir’aun, di Thursina tempat Nabi Musa bermunajat, dan di Betlehem tempat kelahiran Nabi Isa.
Setelah melewati perjalanan yang diwarnai dengan berbagai suguhan pemandangan tak lazim, sampailah Nabi Muhammad di Masjid Al-Aqsha. Di sana Nabi Muhammad berjumpa dengan para nabi dan rasul kemudian melaksanakan shalat berjamaah, Nabi Muhammad menjadi imamnya.
Saat menempuh perjalanan Mi’raj, Nabi Muhammad melewati 7 lapis langit dan berjumpa dengan beberapa nabi, antara lain Nabi Adam, Nabi Yahya, Nabi Isa, Nabi Yusuf, Nabi Idris, Nabi Harun, Nabi Musa, dan Nabi Ibrahim. Para Nabi ini kemudian mendoakan Nabi Muhammad.
Hikmah yang bisa diambil dari peristiwa tersebut adalah pentingnya napak tilas jejak para pendahulu dan leluhur serta sowan kepada para sesepuh ataupun senior. Kehadiran kita ke alam dunia ini tidak pernah lepas dari peran serta para pendahulu. Kita juga bisa meminta doa dan wejangan dari sesepuh atau senior karena mereka tentu memiliki banyak pengalaman dalam melakoni kehidupan ini.
3. Punya Pembimbing
Perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad tidak ditempuh sendirian, melainkan ditemani sekaligus dibimbing oleh Malaikat Jibril. Setiap ada pemandangan tak lazim, Malaikat Jibril selalu menjelaskan gambarannya.
Misalnya, di perjalanan Nabi Muhammad menyaksikan sekelompok orang yang menanam kemudian langsung panen, setelah dipanen langsung berbuah lagi, terus menerus seperti itu. Malaikat Jibril menjelaskan bahwa mereka adalah umat Nabi Muhammad yang berjuang di jalan Allah serta orang-orang yang berinfak dengan harta, pikiran, dan atau tenaganya.
Selain itu, Nabi juga melihat pemandangan sekelompok orang yang memakan daging mentah serta busuk, padahal di samping mereka ada daging masak yang lezat. Malaikat Jibril kemudian menjelaskan bahwa mereka adalah gambaran umat Nabi yang berselingkuh dan berzina, padahal di samping mereka ada istri salehah atau suami saleh.
Selanjutnya, Malaikat Jibril tidak terlibat saat Nabi Muhammad ‘bertemu’ dan berdialog dengan Allah di Sidratul Muntaha. Pertemuan ini bukan berarti Allah ada di Sidratul Muntaha karena Allah tidak butuh tempat. Jika zaman sekarang mungkin diibaratkan seperti video call, kita bisa bertemu dan berbincang dengan siapa pun tanpa harus bertemu secara fisik.
Adapun hikmah yang bisa dipetik adalah tentang pentingnya mempunyai seorang guru mursyid atau guru spiritual yang bisa membimbing dan menunjukkan jalan menuju Allah. Perihal ma’rifat atau mukasyafah, hal itu biasanya tergantung pada kapasitas murid. Guru mursyid hanya menghantarkan.
Pentingnya mempunyai pembimbing tidak hanya pada urusan agama, urusan dunia pun misalnya usaha atau bisnis, perlu ada guru atau mentor. Mereka akan membimbing dan mengarahkan langkah demi langkah dalam meniti jalan bisnis agar bisa cepat sampai pada puncak kesuksesan.
4. Bahan Introspeksi
Saat perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad menyaksikan beberapa pemandangan yang mengerikan, seperti melihat orang-orang memakan daging mentah sebagaimana disinggung sebelumnya.
Ada juga pemandangan sekelompok orang yang terus menumpukkan kayu bakar, padahal pundaknya tidak mampu mengangkut kayu itu. Diketahui, mereka adalah orang-orang yang tidak mampu menanggung amanat.
Selanjutnya, ada pula orang-orang yang berenang di sungai darah, mereka adalah pemakan riba. Ada juga orang-orang yang lidahnya digunting, mereka adalah ahli nasihat kepada orang lain namun dirinya sendiri malah tidak menjalankan nasihat itu. Pemandangan lain adalah sekelompok orang yang mencakar dada dan wajahnya sendiri.
Mereka adalah orang-orang yang suka mengumpat dan menyebarkan aib orang lain. Selain itu, ada beberapa pemandangan buruk lain yang menjadi gambaran umat Nabi Muhammad.
Dari peristiwa ini bisa menjadi bahan muhasabah atau introspeksi, mungkinkah kita masuk dalam kelompok orang-orang yang digambarkan mengerikan itu? na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik.
5. Mengutamakan Shalat
Sebagaimana diketahui, ‘oleh-oleh’ dari perjalanan Isra Mi’raj ini adalah kewajiban ibadah shalat 5 waktu. Mulanya, Allah mewajibkan umat Islam melaksanakan shalat 50 waktu dalam sehari semalam.
Saat turun dari Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Musa, ia kemudian menyarankan agar Nabi Muhammad memohon rukhshah atau dispensasi kepada Allah. Singkat cerita, dari 50 waktu itu akhirnya hanya 5 waktu saja yang diwajibkan dalam sehari semalam.
Dengan adanya peristiwa Isra Mi’raj ini tentu menjadi pengingat bahwa umat Islam harus mengutamakan shalat. Shalat adalah perintah istimewa dari Allah, perintah ibadah selain shalat diturunkan kepada Nabi Muhammad di bumi melalui Malaikat Jibril sedangkan untuk perintah shalat, secara khusus Nabi Muhammad diangkat ke langit.
Shalat juga merupakan media komunikasi Allah dengan hamba-Nya, bahkan disebutkan bahwa shalat itu adalah mi’rajnya orang Mukmin.
Dalam kondisi darurat pun, ada beberapa penyesuaian dalam fiqih yang berkaitan dengan shalat. Misalnya jika sedang dalam perjalanan, ada jama’ dan qashar, jika sedang sakit bisa sambil duduk, berbaring atau dengan isyarat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat 5 waktu. Wallahu a’lam
Muhammad Aiz Luthfi, Pengajar Pesantren Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah Subang, Jawa Barat
Sumber dilansir NU online tanpa editan.
Baca juga; Istri Dicerai Belum Sempat Dicampuri, Bolehkah Suami Menarik Mahar?
Baca juga ; Khutbah Jumat: Bulan Mulia dan Upaya Memaksimalkan Keutamaannya
Baca juga; Khutbah Jumat: Larangan Saling Ejek dan Hina dalam Islam
Baca juga; Khutbah Jumat: Upaya Wujudkan Kerukunan dalam Kehidupan
BACA JUGA LAINNYA KLIK DISINI