Menanti Kepemimpinan Perempuan di Aceh Setelah 4 Abad yang lalu.

by
by
Sultanah Safiatuddin merupakan anak dari Sultan Iskandar Muda yang menjadi sultanah di Kesultanan Aceh(Wikipedia Commons)

Oleh Arsyi M.Yusuf

Pemilihan Gubernur atau Kepala Daerah (Pilkada) di Bumi Iskandar Mudah Provinsi ujung barat pulau Sumatera telah didepan mata.

Sesuai dengan undang undang pemilihan kepala daerah untuk maju sebagai calon kepala daerah di bolehkan dari unsur perseorangan dengan syarat mngumpul sejumlah foto copy KTP sebagai bentuk dukungan dan juga dari usungan partai Politik atau gabungan partai politik.

Syarat untuk mencalonkan diri di Pilkada Serentak 2024 ini telah diatur sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Dalam Pasal 7 Ayat 2 dalam UU Pilkada Nomor 10 tahun 2026. Mengatur Syarat-syarat untuk menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, serta Bupati dan Wakil Bupati

Menyangkut dengan syarat pengajuan pasangan calon Gubernur Aceh dan wakil Gubernur yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik di atur dalam pasal 91 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Ayat (1) Partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal atau gabungan partai politik dan partai politik lokal dapat mengajukan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.

Ayat (2) Partai politik lokal, gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurangkurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRA atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRA di daerah yang bersangkutan.

Syarat dukungan untuk calon kepala daerah nonpartai di Provinsi Aceh di atur dalam Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 8 tahun 2024. Menetapkan Syarat minimal dan persebaran dukungan bakal pasangan calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2024 sekurang-kurangnya 3 % (tiga persen) dari jumlah penduduk Aceh yaitu sebanyak 165.476 dan sebaran minimal sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) jumlah Kabupaten/Kota yaitu sebanyak 12 Kabupaten/Kota.

Baca Juga:  Pemkab Aceh Barat Rekrut dan Seleksi Calon Paskibraka Tahun 2024 Secara Online

Untuk tahapan pilkada usulan dari perorangan telah ditutup pada Jumat 17 Mai yang lalu, sekarang terbuka peluang dari usungan partai politik dan koalisi partai politik yang memperoleh kursi di DPRA.

Melihat perkembangan di media sosial dan media cyber belum muncul kepermukaan sebagai bakal calon kepala daerah dari kalangan perempuan.

Menjelang pendaftaran pasangan calon gubernur calon wakil wakil gubernur yang diusulkan dari partai politik atau gabungan partai politik baru muncul 4 nama kesemuanya laki laki antara lain; Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem maju sebagai calon gubernur Aceh lewat Partai Aceh (PA), Muhammad Nazar resmi mendaftar sebagai bakal calon Gubernur Aceh untuk Pilkada 2024 melalui Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Aceh dan DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Teuku Muhammad Nurlif ( Ketua DPD Partai Golkar Aceh) resmi mendaftar sebagai bakal calon gubernur Aceh ke Partai Gerindra Aceh dan Prof. Darni M Daud resmi mendaftar sebagai Bakal Calon Gubernur Aceh (Bacagub) ke Partai Adil Sejahtera (PAS).

Perempuan merupakan makhluk ciptaan Allah yang dihadirkan untuk menemani Nabi Adam as. Dalam Q.S. An-Nisa: 1 disebutkan, perempuan diciptakan untuk melengkapi, menemani, dan turut serta beribadah kepada Allah Swt.

Masalah kepemimpinan perempuan di Aceh bukan hal yang asing, tetapi akhir akhir ini telah terasa asing, karena 4 (empat) abad yang lalu bahwa Aceh pernah dipimpin oleh perempuan.

Kesultanam Aceh Darussalam penah dipimpin oleh empat sultanah pascamangkatnya Sultan Iskandar Muda. Kemudian, dan pada masa Kerajaan Samudera Pasai pun juga pernah ada seorang peminpin perempuan.

kepemimpinannya memang masing-masing memiliki kegemilangan yang nyaris setara dengan laki-laki.

Ketangguhan perempuan Aceh yang selama ini terlihat di medan pertempuran, ternyata mereka juga tangguh dalam memimpin sebuah negara atau kerajaan.

Baca Juga:  Empat Tersangka Penyelundup Etnis Rohingya di Aceh Barat di Tangkap Polisi

Kerajaan Aceh Darusallam setelah meninggalnya Sultan Iskandar Muda yang memimpin (1607-1636 M) digantikan oleh menantunya Iskandar Tsani ( suami dari putri Syafiatuddin Syah) yang memerintah (1636-1641 M).

Safiatuddin menikah dengan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1617 setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang.

Setelah Sultan Iskandar Tsani meninggal pada Tahun 1641 M, Kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam digantikan oleh Istrinya Tajul ‘Alam Syafiatudin Syah.

Mangkatnya Sultan Iskandar Tsani menimbulkan kericuhan dalam pencarian penggantinya. Hal itu disebabkan tidak adanya kalangan keluarga dekat laki-laki yang bisa meneruskan tampuk pemerintahan.

Awalnya, kaum ulama tidak menyetujui apabila Safiatuddin naik takhta sebagai pemimpin Kesultanan Aceh. Menanggapi hal tersebut, ulama besar Aceh yang bernama Nurrudin Ar-Raniri menengahinya. Nurrudin Ar-Raniri menilai bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin selama ia memiliki kualitas yang dibutuhkan. Selain itu, Nurrudin Ar-Raniri berpendapat bahwa kualitas seperti amanah, adil, dan memiliki keluasan ilmu ada dalam Safiatuddin. Berkat Nurrudin Ar-Raniri, Safiatuddin akhirnya naik takhta dan menjadi Sultanah Kesultanan Aceh pada tahun 1641 dan mendapat gelar Tajul Alam Safiatuddin Syah. (kompas.com)

Tajul Alam Safiatuddin Syah adalah pemimpin perempuan pertama yang memerintah di bumi Aceh

Kerajaan Aceh Darussalam secara berturut turut dipimpin oleh 4 orang perempuan, dalam masa pemerintahan perempuan ini Mufti kerajaan (Qadli Malik al-‘Adil) dipercayakan kepada ulama besar Shaykh Abduraf.

Tajul ‘Alam Syafiatudin Syah memerintah (1641-1675), Nurul ‘Alam Naqiqtuddin memerintah (1675-1678), Inayat Zakiatuddin memerintah (1678-1688) dan terakhir Kamalat Syah memerintah (1688-1699) (*Prof.Dr.Syahrizal Abbas, MA. Hakim Perempuan dalam Mir’at at-Thullab).

Dari sejarah tersebut 58 Tahun Aceh pernah dipimpin perempuan, dan menggambar emansipasi wanita dan kesetaraan gender telah lahir di Aceh 4 abad yang lalu, sebelum di gauangkanbgankan dibelahan dunia lainnya.

Baca Juga:  PB PORA kunjungi venue cabor di Aceh Timur

Melihat fenomena akhir ini seakan sosok perempuan yang dirindukan untuk memimpin Aceh belum terlihat.

Memasuki tahapan pendaftaran calon Gubernur atau kepala Daerah belum muncul sosok sosok perempuan yang mengambil perannya untuk bersaing dalam pilkada 2024.

Kalau melihat dari potensi pemilih untuk memilih perempuan cukup besar, karena yang tau soal dan perempuan adalah kamu perempuan.

Jumlah penduduk Aceh berjenis kelamin perempuan tahun 2024 sebesar 2 729 351 jiwa dan Laki laki 2 789 691 jiwa (data proyeksi BPS Aceh)

Walau jumlah penduduk perempuan sedikit dibawah penduduk laki laki kalau perempuan semua pilih perempuan sebagai pemimpin kemungkinan besar akan lahir pemimpin perempuan di Aceh sebagaimana 4 Abad sebelumnya.

Mungkin saja dengan kepemimpinan Aceh 5 tahun kedepan bila dipercayakan kepada perempuan akan membawa perubahan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana masa kerjaan kepemimpinan perempuan di kerjaan Aceh Darussalam.

Akankah sejarah akan terulang lagi pemerintah Aceh dipimpin oleh perempuan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *