Banda Aceh — Penanews.co.id — Kabupaten Aceh Besar adalah Kabupaten terbarat Indonesia yang memisahkan diri dengan Kota Banda Aceh pada tahun 1970an selama memisahkan diri nya itu permasalahan pelayanan masyarakat belum terpecahkan.
Kabupaten yang berpenduduk 435.298 jiwa dengan pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 132.396.380.300 itu merupakan wilayah penyangga ibu kota Provinsi Aceh menghadapi problem kesenjangan antarwilayah,
Penduduk terluar dari pusat birokrasi sulit terjamah berbagai layanan birokrasi, sehingga terkesan tak mendapatkan keadilan.
Permasalahan itu mengemuka dalam FGD yang diselenggarakan PW Media Independen Online (MIO) Indonesia Provinsi Aceh di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh, Rabu (10/7/2024) dengan pemateri Mantan Ketua DPRK Aceh Besar, Musannif.
Musannif, menyinggung perkembangan pembangunan Aceh Besar ketika membawa makalah dengan topik “Eksistensi Pers dalam Mengkampanyekan Politik Humanis di Era Digital”.
Forum ilmiah itu sendiri menampailkan dua narasumber secara bergantian. Selain Musannif, ada senator RI asal Aceh Fachrul Razi yang bicara tentang “Ketahanan Digital dan Tantangan Masa Depan Indonesia”. Ketua Komite I DPD RI itu tampil pada sesi kedua dipandu moderator Dr Usman Lamreung M.Si.
Sebelum melanjutkan presentasinya, Musannif menyampaikan “disclaimer”, bahwa dia tidak akan masuk pada isu seputar politik atau pilkada. Dia hanya berpesan agar masyarakat tidak menerima mentah-mentah sebuah informasi, apa lagi bila berasal dari media sosial. “Harus melakukan tabayyun, jangan sampai termakan hoax,” sebutnya.
Musannif, kemudian, lebih banyak berbicara seputar perkembangan Kabupaten Aceh Besar yang sebagian wilayahnya merupakan “penyangga” Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi. Posisi ini, kata dia, secara tidak sengaja sering memunculkan pemandangan komparatif di masyarakat. Misalnya, kondisi ruas jalan di kedua daerah yang memberi kesan seolah-olah Aceh Besar sebagai wilayah yang kurang mendapat sentuhan pembangunan.
Tidak jarang, sambungnya, permasalahan itu memunculkan kecemburuan sosial di sebagian warga yang mendorong mereka untuk bergabung menjadi warga Kota Banda Aceh. Aspirasi itu sempat disambut oleh Pemko Banda Aceh yang menyatakan bersedia mengambil beberapa desa di perbatasan. “Waktu itu kita bersedia melepas, tapi syaratnya jangan diambil satu atau dua desa. Kalau mau diambil semua, satu kecamatan,” ujar Musannif yang saat itu menjabat ketua DPRK.
Menurut Musannif yang juga Yayasan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee itu, “kecemburuan” tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat pinggiran Banda Aceh. Warga Aceh Besar yang berdomisili di radius terluar dari ibu kota kabupaten Jantho juga merasakan berbagai “ketidakadilan” terutama saat hendak mendapatkan layanan birokrasi. “Bayangkan mereka yang bermukim di Lhoong, begitu jauh ketika harus berangkat ke Jantho,” kata politisi ini.
Selain jauh dari pusat birokrasi, masyarakat di wilayah barat Aceh Besar mulai Lhoknga hingga perbatasan Aceh Jaya juga kurang mendapatkan layanan fasilitas publik lainnya. “Coba lihat berapa unit ATM yang tersedia di sepanjang Lhoknga hingga Lhoong. Nyaris tidak ada,” ujarnya lagi.
Akibat berbagai ketertinggalan itu, dikatakan, sempat berkembang wacana pemekaran. Menurut keyakinan tokoh-tokoh masyarakat, pemekaran menjadi salah satu strategi mensejajarkan daerah itu dengan kabupaten lain di Provinsi Aceh.
Isu pemakaran itu sendiri sempat memunculkan pro dan kontra di antara beberapa pihak. Ada yang menginginkan Aceh Besar tetap utuh seperti keadaan saat ini, ada pula yang ingin memisahkan diri dari induknya menjadi Aceh Raya.
Bagi kelompok yang mendukung meyakini, bahwa pemekaran bisa memacu pembangunan sehingga terjadi pemerataan pembangunan. Kondisi itu dengan sendirinya akan menyerap tenaga kerja dari kalangan masyarakat Aceh Besar yang berada di wilayah barat yang meliputi kawasan Pekan Bada, Pulo Aceh, Lhoknga hingga Lhong.
Di mata Musannif, pemekaran memang menjadi salah satu gagasan untuk pemerataan dan kemajuan pembangunan bagi Aceh Besar mengingat wilayah yang cukup luas mencapai 2.974,12 Km², dengan jumlah penduduk sebanyak 310.811 jiwa. Pemekaran diyakini akan memperpendek rentang kendali pelayanan, sehingga bisa lebih efektif.
Pusat pemerintahan kabupaten yang baru, dinilainya, juga bisa lebih optimal bekerja. Dengan dukungan anggaran yang sama seperti kabupaten lain, daerah pemekaran juga dapat memberi pelayanan kepada warga secara adil dan tidak lagi menghadirkan kesulitan jarak tempuh hingga puluhan kilometer. “Ini akan memberi banyak kemudahan bagi masyarakat,” pungkasnya.[]