Peran Kader Lintas Fungsi, Strategi Jitu Menurunkan Stunting di Daerah Lokus Intervensi Desa Pangan Aman Tahun 2024

by
Endang Yuliawati, SKM, M.K.M | Foto Ist

Latar Belakang
Program desa pangan aman diinisiasi oleh BPOM sejak tahun 2014 dengan melibatkan masyarakat. BPOM melakukan intervensi pada sisi supply yaitu melalui kegiatan pembinaan UMKM desa/kelurahan di bidang pangan dan intervensi pada sisi demand melalui kegiatan pemberdayaan kader dan komunitas masyarakat desa. Peserta pada Program Desa Pangan Aman (PAMAN) meliputi masyarakat (ibu rumah tangga, PKK, Posyandu, Bidan pemuda/karang taruna), komunitas sekolah (guru, anak sekolah/pramuka) dan Usaha Pangan Desa (ritel/warung/koperasi desa, industri rumah tangga pangan, pedagang kreatif lapangan, wisata kuliner dan pasar desa). Program Desa Pangan Aman (PAMAN) bertujuan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat desa dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang aman sampai pada tingkat perseorangan dan memperkuat ekonomi desa. BPOM dengan Program Desa Pangan Aman (PAMAN) menggandeng stakeholder tingkat provinsi atau kabupaten/kota diantaranya BAPPEDA, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas KUMKM, Dinas Perindustrian, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana. Mengatasi permasalahan kesehatan khususnya terkait dengan permasalahan stunting sangat dibutuhkan peran serta pemangku kepentingan yang ikut serta berperan menyukseskan program tersebut.

Indonesia memiliki prevalensi stunting tertinggi kelima di dunia setelah Pakistan dengan persentase 45 %, Republik Demokratik Kongo dengan presentase 43 %, India dengan persentase 39 % dan Ethiopia dengan persentase 38 % (WHO, 2017). Indonesia juga terbesar kedua di Asia Tenggara dengan 36,4 % setelah Laos dengan nilai 43,8 %. Berdasarkan laporan informasi Riskesdas menunjukkan secara nasional prevalensi stunting pada balita tahun 2007 sebesar 36,8 % dan angka sedikit menurun pada tahun 2010 yaitu 35,6% akan tetapi, pada tahun 2013 terjadi peningkatan kembali menjadi 37,2 %. Hasil ini menunjukkan bahwa masalah gizi di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat pada kategori tinggi karena prevalensi berada pada rentang 30-39%. Masalah stunting di Indonesia adalah ancaman serius yang memerlukan penanganan yang tepat. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) prevelensi stunting di Indonesia mencapai 27,7 %, sekitar satu dari empat anak balita di Indonesia mengalami stunting. Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki angka prevalensi stunting tinggi. Berdasarkan information Survei Pemantauan Status Gizi (PSG) Provinsi Aceh Tahun 2016 terdapat 26,4% balita memiliki kategori pendek.

Stunting merupakan suatu keadaan dimana anak terlalu pendek sesuai usianya karena mengalami kegagalan pertumbuhan yang disebabkan oleh buruknya gizi dan kesehatan anak sebelum dan sesudah kelahiran. Kondisi stunting ialah suatu keadaan akibat kurangnya gizi pada balita secara kronis dalam jangka waktu yang lama. Stunting juga merupakan salah satu keadaan dimana gagalnya dalam pencapaian perkembangan fisik yang dapat diamati dari tinggi badan dibagi dengan umur. Stunting disebabkan karena adanya growth faltering dan catch up growth tidak seimbang yang merupakan cerminan ketidakmampuan pencapaian pertumbuhan secara optimal. Sebelum stunting memasuki tahap kronis maka dapat diatasi dengan pemberian asupan gizi yang adekuat untuk mengejar pola pertumbuhan yang normal. Asupan gizi adekuat memiliki keterkaitan dengan mutu kuantitas serta kualitas makanan itu sendiri.

Karakteristik angka kejadian stunting ditinjau berdasarkan jenis kelamin, usia, perbandingan berat badan/usia (BB/U) dan berdasarkan tinggi badan/umur (TB/U). Kejadian stunting berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Stunting banyak terjadi pada laki-laki karena perempuan lebih banyak jaringan lemak daripada jaringan otot. Secara metabolik otot lebih berperan aktif dibandingkan dengan lemak, sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daripada lemak. Dengan demikian, laki-laki maupun perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan usia yang sama memiliki komposisi tubuh yang berbeda. Hal ini membuat kebutuhan energi dan gizi akan berbeda.

Baca Juga:  BKKBN: Posyandu Garda Terdepan Pencegahan Stunting di Aceh

Kejadian stunting pada rentang usia 25-60 bulan lebih tinggi jika dibandingkan usia 6-24 bulan. Sementara pertumbuhan masa balita lebih tinggi dari masa prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif lebih besar. Namun, ukuran perut yang lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterima lebih sedikit dalam sekali makan. Oleh karena itu sebaiknya pola makan yang diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi yang sering. Usia yang paling rawan mengalami stunting adalah masa balita karena pada masa ini anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi.

Klasifikasi stunting berdasarkan perbandingan berat badan/Usia (BB/U) sangat dipengaruhi oleh Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Sebanyak 5 % balita mempunyai status sangat kurus dan 12,1 % balita mempunyai status gizi kurus (survei pemantauan status gizi, 2017). Aspek cita rasa, kemudahan penyajian, kepraktisan dan kemudahan mendapatkan bahan di masyarakat menjadi hal yang penting dalam Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Kandungan kalori dan protein yang tinggi dalam makanan tambahan dapat menaikkan berat badan pada balita. Pada provinsi Aceh status gizi anak balita umur 0-23 bulan dengan kategori pendek memiliki persentase 15,4 % dan kategori sangat pendek dengan persentase 8,5 %. Status gizi anak umur 0-23 bulan dengan kategori pendek 15,4 % dan kategori sangat pendek 8,5 %. Status gizi balita umur 0-59 bulan dengan kategori pendek 23,5 % dan kategori sangat pendek 12,2 %.

Berdasarkan Hasil Survey Kesehatan Indonesia tahun 2023 sebanyak 29,4 % anak usia di bawah lima tahun (balita) di Provinsi Aceh mengalami stunting. Masih tingginya persentase stunting pada Balita, hal ini menunjukkan bahwa stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang masih tinggi di Aceh. Pelibatan berbagai pihak masih sangat diperlukan, karena upaya penurunan stunting berupa upaya spesifik (bagian gizi dan kesehatan) hanya berkontribusi sekitar 30 % sementara 70 % lainnya adalah pengaruh dari luar kesehatan (upaya sensitif) seperti air dan sanitasi, pola pengasuhan, ketersediaan dan keamanan pangan, pendidikan, kemiskinan, situasi politik dan lainnya.

Upaya penanganan permasalahan/kendala stunting di Aceh antara lain penetapan tujuh kab/kota sebagai prioritas pendampingan hingga akhir tahun 2024 meliputi Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie, namun BPOM Aceh hanya fokus pada 4 Kab/Kota yaitu, Aceh Selatan, Subulussalam, Singkil dan Simeulue karena kabupaten ini belum pernah dilakukan intervensi program Desa PAMAN sejak tahun 2014..

Monitoring awal program Desa Pangan Aman di Aceh pada Desa Lokus Stunting telah terjadi kenaikan dan penurunan, dalam kurun waktu 3 tahun ini di 4 Kab/kota Lokus Stunting yang bersinergi dengan BPOM, dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Kab-kota/ SSGIAceh SelatanSubulussalamAceh SingkilSimelu
Hasil SSGI 202127,341,829,625,9
Hasil SSGI 202234,847,934,037,2
Hasil SKI 202340,229,634,130,7

Berdasarkan tabel hasil pemantauan program Desa Pangan Aman di Aceh pada empat kabupaten/kota lokus stunting, terdapat fluktuasi dalam prevalensi stunting selama tiga tahun terakhir. Di Aceh Selatan, prevalensi stunting meningkat dari 27,3% pada tahun 2021 menjadi 34,8% pada tahun 2022, dan terus meningkat menjadi 40,2% pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dan menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap intervensi yang dilakukan di daerah tersebut.

Baca Juga:  Konsolidasi Kader, PKS Siap Menangkan Khairul Amal sebagai Walikota Banda Aceh

Di sisi lain, Kota Subulussalam menunjukkan pola yang berbeda. Prevalensi stunting meningkat dari 41,8% di tahun 2021 menjadi 47,9% di tahun 2022, namun mengalami penurunan secara signifikan di tahun 2023 menjadi 29,6%. Penurunan ini bisa jadi mencerminkan keberhasilan program intervensi yang lebih efektif atau adanya perubahan yang terjadi.

Di Aceh Singkil, prevalensi stunting mengalami peningkatan dari 29,6% pada tahun 2021 menjadi 34,0% pada tahun 2022, namun sedikit stabil di angka 34,1% pada tahun 2023. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan awal, program-program yang diterapkan mungkin belum cukup kuat untuk menurunkan angka stunting secara signifikan.

Selanjutnya Kota Simeulue menunjukkan hasil yang bervariasi dengan prevalensi stunting meningkat dari 25,9% pada tahun 2021 menjadi 37,2% pada tahun 2022 dan kemudian turun menjadi 30,7% pada tahun 2023. Penurunan ini memberikan harapan bahwa langkah-langkah intervensi yang dilakukan mulai menunjukkan hasil positif.

Secara keseluruhan, data ini mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam upaya menurunkan stunting di daerah lokus intervensi. Meskipun ada beberapa kemajuan di Subulussalam dan Simeulue, tren peningkatan di Aceh Selatan dan Aceh Singkil menunjukkan perlunya penguatan kolaborasi antara BPOM dan lembaga terkait lainnya untuk meningkatkan efektivitas program pencegahan stunting. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dan penyesuaian strategi agar dapat mencapai target penurunan stunting secara efektif di seluruh daerah tersebut.

Rekomendasi
Upaya menurunkan laju stunting salah satunya adalah membangun kerja sama lintas lembaga/instansi. Sebagai contoh, kader dari berbagai lembaga, seperti BPOM, BKKBN, Kemenkes, dan sektor lainnya, dapat berkolaborasi dalam berbagai program untuk mencegah stunting berupa :

  1. GETHING PADU (Gerakan Cegah Stunting Secara Terpadu)
    Program ini merupakan inisiatif terpadu yang melibatkan berbagai komponen masyarakat, termasuk remaja, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Program ini melibatkan berbagai komponen masyarakat, termasuk remaja, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Kader Trendi Bumil dari BKKBN memberikan edukasi tentang nutrisi selama kehamilan, sedangkan Duta Ratrismi dari Kemenkes mengedukasi remaja mengenai pentingnya pola hidup sehat. Selain itu, Sobat ASI dari BKKBN mendukung ibu menyusui untuk memberikan ASI eksklusif, dan kader Panting dari Kemenkes melakukan pemantauan pertumbuhan balita untuk mendeteksi dini stunting. Program Prioritas Nasional dari BPOM membantu mendampingi kader desa dalam melakukan edukasi dan menerapkan keamanan pangan serta fasilitasi usaha pangan desa dengan melatih dan memberikan tes kit uji cepat kemasing-masing desa agar secara mandiri bisa mengawasi makanan yang aman dari bahan berbahaya.
  2. Sosialisasi dan Edukasi
    Kader dapat melakukan sosialisasi rutin mengenai pentingnya gizi seimbang dan pola asuh yang baik kepada orang tua dan masyarakat. Edukasi gizi yang diberikan termasuk informasi tentang ASI eksklusif dan MPASI yang tepat untuk anak, serta cara pengasuhan yang baik selama 1.000 hari pertama kehidupan. Melalui posyandu, kader dapat melakukan pemantauan tinggi badan dan berat badan anak secara berkala untuk mendeteksi masalah pertumbuhan sejak dini. Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) juga menjadi fokus utama dalam program ini, dengan edukasi tentang pemberian makanan yang tepat sesuai usia anak
  3. Pemantauan Pertumbuhan Anak
    Melalui posyandu, kader posyandu dapat melakukan pemantauan tinggi badan dan berat badan anak secara berkala untuk mendeteksi masalah pertumbuhan sejak dini. Melalui pemantauan rutin tinggi badan dan berat badan, kader dapat mengidentifikasi anak-anak yang berisiko mengalami stunting atau masalah gizi lainnya. Kegiatan ini tidak hanya berfokus pada pengukuran fisik, tetapi juga melibatkan edukasi kepada orang tua mengenai pentingnya memberikan asupan gizi yang seimbang. Salah satu aspek penting dari edukasi ini adalah Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA), di mana kader memberikan informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang tepat sesuai dengan usia anak. Dengan memberikan panduan yang jelas tentang makanan bergizi, diharapkan orang tua dapat memenuhi kebutuhan gizi anak mereka, sehingga mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
  4. Kolaborasi Lintas Sektor
    Kader dari berbagai lembaga perlu berkolaborasi dengan sektor lain seperti pendidikan, pertanian, dan pembangunan infrastruktur untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pencegahan stunting, beberapa cara kolaborasi ini dapat dilakukan:
  • Bidang Pendidikan: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi melalui program-program pendidikan kesehatan. Dengan meningkatkan kesadaran, masyarakat lebih mampu memahami pentingnya asupan gizi yang seimbang untuk anak-anak. Program-program pendidikan kesehatan dapat meliputi pelajaran di sekolah tentang nutrisi, edukasi melalui media massa, dan kegiatan sosialisasi di komunitas.
  • Bidang Pertanian: Mendorong produksi pangan lokal yang bergizi. Dengan meningkatkan produksi pangan lokal yang bergizi, masyarakat memiliki akses yang lebih mudah terhadap makanan yang sehat. Program ini dapat melibatkan kader dalam mengedukasi petani tentang teknik pertanian yang lebih baik, mempromosikan tanaman yang bergizi, dan membantu dalam distribusi pangan lokal ke komunitas.
  • Bidang Sanitasi dan Akses Air Bersih: Memastikan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak. Kondisi sanitasi yang baik sangat penting dalam mencegah infeksi yang dapat mempengaruhi status gizi anak. Kader dapat bekerja sama dengan lembaga pembangunan infrastruktur untuk memastikan bahwa fasilitas air bersih dan sanitasi yang layak tersedia di setiap komunitas. Selain itu, mereka juga dapat mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan dan menghindari polusi lingkungan.
    Dengan kolaborasi lintas sektor ini, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pencegahan stunting secara efektif. Meningkatkan kesadaran melalui pendidikan, meningkatkan akses makanan bergizi melalui pertanian, dan memastikan sanitasi yang baik melalui akses air bersih dapat membantu dalam mengurangi prevalensi stunting di komunitas.
  1. Pendampingan Keluarga Berisiko
    Menerapkan pendekatan berbasis keluarga berisiko stunting dengan melakukan pendampingan kepada keluarga-keluarga yang teridentifikasi berisiko tinggi mengalami stunting diantaranya bimbingan terkait asupan gizi yang tepat bagi bumil dan balita
    Dengan melaksanakan program-program ini secara terpadu, diharapkan kolaborasi antara kader dari BPOM, BKKBN, Kemenkes, dan sektor lainnya dapat secara efektif menurunkan prevalensi stunting di Aceh.
    —————
    Penulis adalah PFM Madya Substansi Infokom BBPOM di Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *