Demokrasi Politik Kejujuran dan Keadilan

by

Oleh : Dr. Taufiq Abdul Rahim

Kondisi politik di Aceh semakin mencerminkan dinamika demokrasi, meski terlihat masih setengah hati. Meskipun praktik demokrasi melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk posisi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota berjalan, semuanya tetap berlandaskan pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 yang mengatur tahapan dan jadwal Pilkada.

Dalam konteks ini, Pilkada serentak di Aceh dapat dipahami sebagai manifestasi dari sistem demokrasi terpusat yang berlaku. Ini menunjukkan bahwa meskipun tantangan masih ada, ada usaha untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap proses pemilihan yang dilaksanakan.

​Menurut Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh, Dr Taufik Abd Rahim, sesungguhnya untuk Pilkada Aceh adanya percampuran aturan yang tidak jelas, mestinya berpijak pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), ataupun atauran yang semuanya merupakan dominasi ketentuan secara terpusat, juga adanya paksaan mesti mematuhi ketentuan pusat. Sehingga secara aturan politik tentang demokrasi poilitik di Aceh mesti selaras dengan kepentingan politik pusat dan aturan yang ditentukan oleh pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

​Kekhususan Aceh yang selama ini dibanggakan seolah hanya tersimpan di atas kertas. Meskipun diatur dalam UUPA atau UU Nomor 11 Tahun 2006 dengan prinsip “lex specialist,” kenyataannya pelaksanaan Pilkada di Aceh tidak sepenuhnya mencerminkan landasan demokrasi yang diharapkan. Hal ini berpotensi melanggar ketentuan hukum yang ada, terutama menjelang Pilkada serentak pada 27 November 2024. Meskipun sebagian orang berpendapat bahwa pelaksanaan Pilkada ini sesuai dengan UUPA, kenyataannya bertentangan dengan Pasal 65 Ayat 1 yang menetapkan bahwa Pilkada Aceh seharusnya berlangsung setiap lima tahun.

Dengan merujuk pada pasal tersebut, seharusnya Pilkada Aceh dilaksanakan pada tahun 2022. Oleh karena itu, pesta demokrasi yang direncanakan pada 27 November 2024 ini dapat dianggap cacat hukum. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap kejujuran dalam penerapan undang-undang yang berlaku di Aceh, menciptakan tantangan baru bagi legitimasi dan integritas proses politik di daerah tersebut.

Dengan ketidakjujuran menggunakan UUPA, ini dapat dipastikan bahwa, Pilkada di Aceh hanya memenuhi kepentingan politik pusat yang penuh dengan praktik ketidakadilan, sehingga pasca Pilkada tidak perlu berharap banyak dari pada para elite bagi rakyat ataupun masyarakat Aceh untuk mengharapkan berlakunya keadilan di Aceh.

Baca Juga:  Golkar Ungkap Biaya Pilkada Tinggi, Apakah Demokrasi Seperti Ini?

Dapat dipastikan bahwa pemimpin yang terpilih merupakan perpanjangan tangan pemerinah pusat dengan berbagai kepentingan politiknya yang mengental di Aceh, dengan dominasi, kooptasi kepentingan yang sepenuhnya diserahkan oleh para pemimpin Aceh bagaikan praktik “patroness and client” tuan dan cuan yang meng”hamba” kepada Pemerintah Pusat Jakarta.

Sehingga segala sesuatu demi kepentingan politik rakyat Aceh akan terabaikan, tidak perlu berharap adanya keadilan dalam segala sektor di Aceh, baik ekonomi, politik, sosial-budaya, pemerintahan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan akan menjadikan kehidupan rakyat Aceh berubah secara lebih baik, adil dan merata.

​Dengan demikian, demokrasi politik Pilkada Aceh 2024, ini hanya merupakan program dan rutinitas untuk yang digadang-gadang adanya demokrasi untuk memenuhi kepentingan politik Pemerintah Pusat. Mesti dipahami Aceh hanya sebuah daerah marginal atau “phery-phery”, jauh dari perhatian pusat kekuasaan, hanya saja diperhatikan pada saat diperlukan, seperti, saat Pemilihan Umum, pemanfaatan resources yang tersedia berlimpah dan bermacam ragam memiliki nilai ekonomi yang tinggi berada di Aceh untuk dieksploitasi. Karenanya dapat saja sebaiknya rakyat Aceh menjauhkan keinginan, harapan, ekspektasi akan adanya kejujuran dan keadilan tercipta untuk Aceh pada masa depan.

Karena Aceh saat ini hanya milik dan dikuasai oleh sekelompok orang dan partai politik serta para oligarki ekonomi-politik ingin memanfaatkan Aceh melalui elite politik dan pemerintahan. Mereka para elite Aceh dan pusat yang memiliki impian dan harapannya tersendiri dengan menggunakan topeng demokrasi politik Pilkada 2024.
—————-
Penulis adalah Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.