BANDA ACEH – Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menyatakan bahwa keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan pada 29 Oktober 2024, yang meminta KIP untuk menetapkan pasangan calon bupati dan wakil bupati Aceh Tamiang, Hamdan Sati dan Febriadi, sebagai peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, dianggap terlambat. KIP menilai putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Putusan PTTUN tersebut mengacu pada konstruksi ketentuan yang ada di Pasal 154 ayat 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Melansir serambiindonesia.com, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KIP Aceh, Ahmad Mirza Safwandiengatakan berdasarkan konstruksi Pasal 154 ayat 12, pembentuk undang-undang menentukan bahwa kewajiban pelaksanaan dan penyelenggaraan dibatasi sebelum 30 hari pemungutan suara.
“Di situ disebutkan bahwa KIP atau KPU berkewajiban untuk melaksanakan putusan. Tetapi dari konstruksi pasal 154 ayat 12 ini, pembentuk undang-undang di situ menentukan kewajiban pelaksanaan dan penyelenggaraan dibatasi sepanjang sebelum 30 hari pemungutan suara,” ungkap Ahmad Mirza Safwandi, Kamis (31/10/2024).
Ahmad Mirza menambahkan bahwa sebagai lembaga yang bersifat tetap dan hierarkis, pihaknya telah melakukan konsultasi dan supervisi terhadap KIP Aceh Tamiang terkait sengketa tata usaha negara tersebut.
Ia juga menjelaskan bahwa putusan PTTUN Medan yang diucapkan pada 29 Oktober 2024 memberikan jarak 28 hari antara pemungutan suara dan putusan tersebut, sehingga KIP menilai bahwa keputusan itu tidak dapat dilaksanakan.
“Artinya ini memang sudah di bawah 30 hari. Sedangkan pembatasan dari undang-undang bisa laksanakan itu 30 hari ke atas. Ini kita sampaikan juga kepada teman-teman KIP Aceh Tamiang bahwa ada kewajiban kita untuk melaksanakan kewajiban perundang-undangan,” jelasnya.
Di sisi lain, kata Mirza, sebagai penyelenggara pihaknya juga dituntut harus mematuhi peraturan DKPP nomor 2 tahun 2017. Di mana penyelenggara wajib berintegritas dan wajib menjaga profesionalisme.
“Makna profesionalisme adalah bagaimana setiap kebijakan dari penyelenggara ini bersesuaian dengan sifat dan berkepastian hukum. Berkepastian hukum, maka di sini kita juga harus melaksanakan sesuatu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
“Kalau kita lihat dari norma pasal 154 ayat 12 ini tidak bisa kita laksanakan (putusan PTTUN). Sedangkan kehendak daripada putusan itu adalah untuk menetapkan pasangan calon tersebut yang posisinya sebagai penggugat. Jadi yang mengizinkan dan tidak mengizinkan posisi putusan tersebut adalah pasal 154 ayat 12 ini,” ungkapnya.
Dia mengatakan, jika tetap menjalankan putusan PTTUN Medan tersebut, maka pelaksanaan Pilkada di Aceh Tamiang berpotensi tidak akan dilaksanakan tepat waktu. Sementara dalam Undang-Undang Pilkada disebutkan bahwa proses penyelenggaraan Pilkada harus dilaksanakan tepat waktu, dan bakal ada konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan tepat waktu.
“Pertanyaannya, kalau ini dilaksanakan apakah penyelenggaraan Pilkada itu tepat waktu atau tidak. Jawabannya tidak tepat waktu. Nah, ada konsekuensi ketika Pilkada itu tidak dilaksanakan tepat waktu. Ada implikasi yuridisnya, pasal 193 huruf a ayat 2 disebutkan bahwa ketika KIP kabupaten dan kota tidak melaksanakan sebagaimana ketentuan di pasal 14, punya konsekuensi pidana,” pungkasnya. Bunyi lengkap Pasal 154 ayat 12 itu adalah, “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta pemilihan sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.”
Di sisi lain, KIP Aceh Tamiang belum bersedia memberikan komentar. “Nanti setelah pleno,” kata Ketua KIP Tamiang, Rita Afrianti kepada Serambi, Kamis (31/10/2024)[]