Amnesty: Sensor Karya Seni Biasanya Terjadi di Negara Otoriter

by
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid saat ditemui di Gedung Bareskrim Polri, Rabu (28/8/2024).| Foto Kompas.com / Irfan Kamil

JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyesalkan ditundanya pameran lukisan Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia. Apalagi, kata dia, penundaan pameran itu lantaran adanya lima lukisan Yos Suprapto yang dipandang sensitif, yaitu mirip dengan Presiden Ke-7 RI, Joko Widodo.

“Saya langsung menyesalkan sekali penyensoran itu, karena negara telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Ketentuan Pasal 19 dari kovenan hak internasional tentang hak-hak sipil dan politik menjamin kemerdekaan berekspresi dari setiap orang, termasuk seniman,” kata Usman dalam diskusi bertajuk “Seni sebagai Medium Kritik Kekuasaan” di Cikini, Jakarta, Ahad (22/12/2024), seperti diberitakan KOMPAS.com

Usman mengatakan, medium seni merupakan kebebasan intelektual dan kebebasan artistik. Ia menjelaskan bahwa pemberedelan pameran karya seni biasanya hanya terjadi di negara-negara otoriter.

“Nah, biasanya penyensoran atau pemberedelan karya seni hanya terjadi di negara-negara otoriter, dengan alasan karena mengganggu stabilitas politik, norma agama, dan norma sosial ekonomi,” ujarnya.

Usman juga menyatakan, demokrasi di Indonesia sedang masuk dalam kategori yang belum baik. Hal ini, menurutnya, terlihat dari sempitnya ruang publik untuk menyampaikan kritik dan protes, merosotnya kebebasan partai politik untuk menjadi oposisi, serta integritas Pemilu yang diragukan.

“Nah, karena itu, peristiwa ini jangan sampai benar-benar merupakan tindakan untuk memperburuk lebih jauh keadaan demokrasi di Indonesia menjadi negara otoriter,” tuturnya.

Berdasarkan hal tersebut, Usman berharap Galeri Nasional Indonesia dan Kementerian Kebudayaan mengoreksi kebijakan sehingga lima lukisan yang diberedel tetap bisa ditampilkan dalam pameran lukisan Yos Suprapto.

“Jadi, saya berharap sekali Galeri Nasional dan Kementerian Kebudayaan mengubah dan mengoreksi kebijakannya, dengan membolehkan lima lukisan yang dilarang untuk kembali dipajang, dan pameran itu diperbolehkan untuk diakses oleh masyarakat hingga jadwal yang memang telah ditetapkan berakhir, yaitu 19 Januari 2025.” harapnya.

Baca Juga:  Peran Science dalam Mitigasi Bencana Mampu Minimalkan Kerugian

Sebelumnya, Pameran Tunggal Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” dijadwalkan berlangsung selama satu bulan pada 19 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025. Namun, Galeri Nasional mengumumkan penundaan pameran ini karena persoalan kurasi.

Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, membantah adanya penutupan paksa terhadap pameran tersebut.

“Tidak ada pembungkaman, tidak ada pemberedelan. Kita ini mendukung kebebasan ekspresi,” ujar Fadli Zon dalam pembukaan pameran 130 Tahun Pithecanthropus Erectus di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Jum’at (20/12/2024) malam.

Menurut Fadli Zon, penundaan pameran disebabkan ketidaksesuaian tema dengan lukisan yang dipamerkan. Seniman Yos Suprapto disebut memasang lukisan yang tidak disetujui oleh kurator.

“Ada tema yang mungkin motifnya politik, bahkan mungkin makian terhadap seseorang. Kemudian, ada juga yang telanjang, itu tidak pantas. Telanjang dengan memakai topi yang mempunyai identitas budaya tertentu,” kata Fadli Zon.

Fadli Zon juga menyebutkan, penggambaran obyek bertopi raja Jawa atau raja Mataram dapat memicu ketersinggungan dan masuk kategori SARA.

“Di dalam pameran itu, yang berkuasa sebenarnya kurator. Nah, kurator itu sudah bekerja sama dengan senimannya untuk memilih tema tentang kedaulatan pangan,”imbuh Fadli Zon.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *