PEMIMPIN ITU, ….?

by

Oleh. Juhaimi Bakri

“Leiden is lijden!”. Memimpin adalah Menderita. Begitulah bunyi pepatah kuno Belanda yang dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul “Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita” (Prisma No 8, Agustus 1977).

Khanduri demokrasi usai digelar. Sudah melewati berbagai masalah, Komisi Independen Pemilu (KIP) telah menetapkan pemimpin pilihan rakyat tentu saja dengan tidak melupakan sedikit pun campur tangan Tuhan, dan kini mereka yang terpilih telah dan akan dilantik, sehingga punya kewenangan hak menempatkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur. Bupati dan Wakil Bupati demikian pula dengan Walikota dan Wakilnya.

Adat duniawi bagi mereka yang memenangkan pertarungan Khanduri Politik memperebutkan jabatan publik sebagai pemimpin dalam persepsi awam segera tergambar memperoleh buncah-buncah kenikmatan hidup. Mereka akan mendapatkan berbagai fasilitas sebagai pejabat negara, pundi-pundi rezeki bakal menjulang, dan status sosial menjadi warga negara yang terhormat pun digenggamnya. Akan tetapi jika dicermati dari sudut pandang agama ada makna yang dalam, saat seseorang itu menduduki jabatan publik. Ketika jabatan publik itu melekat, sebenarnya mereka telah memegang amanah sebagai seorang pemimpin.

Al Quran mengambarkan dalam surat An Nisa ayat, 58 tentang pemimpin itu harus berlaku amanah “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Kesedian berlaku amanah bagi seorang pemimpin harus direalisasikan dengan tanggung jawab saat menjalankan kepemimpinannya.

Tanggung jawab yang dimaksud adalah mampu melaksanakan tugas dengan baik, sehingga di bawah kepemimpinannya daerah menjadi lebih dan aman, masyarakat merasa dilindungi, dan wilayah menjadi lebih maju. pemimpin yang amanah lebih mengutamakan kepentingan umum dibanding dengan kepentingkan pribadi. Maksudnya adalah seorang pemimpin amanah akan berani melakukan tindakan tidak popular dan punya kesadaran seperti ungkapan di atas bahwa “Leiden is lijden!”. Memimpin adalah Menderita. Tidak ada pemimpin hebat yang lahir di zona nyaman. Tidak ada pencapaian hebat yang tumbuh dari zona nyaman. Bahkan seorang nakhoda tangguh terlahir dari hempasan gelombang besar.

Idealnya seorang pemimpin disamping harus belajar dari sejarah kehancuran dan kegagalan di masa lalu, juga harus belajar dari para tokoh pemimpin yang berhasil dan selamat dalam kepemimpinannya. Sebab dari pengalaman nyata diberbagai tingkat kepemimpinan, menjadi pemimpin disamping merupakan satu kehormatan (Tasyrif) menjadi pemimpin harus sadar sebagai beban berat (Taklif), Sehingga tidak salah jika ada ungkapan dari pepatah kuno Belanda ‘Leiden is lijden” itu..

Baca Juga:  Kodam IM Gelar Operasi Bibir Sumbing Gratis bagi Masyarakat Kurang mampu

Meski kalimat sederhana namun sarat makna. Menjadi pemimpin kok menderita? Tentu jika sadar ketika memimpin akan menderita sebab harus mengorbankan waktu, harta, tenaga, pikiran demi rakyat yang dipimpinnya. Dia juga menderita karena turut merasakan penderitaan rakyatnya, mulai kemiskinan, pengangguran, sakit, gizi buruk, rumah yang tidak layak huni, sampai merasakan menderita jika rakyatnya masih bergelimang dengan kemaksiatan. Maka sangat ironis jika ada pemimpin yang masih hobi pesta , hidup mewah, merasa bahagia di atas penderitaan rakyatnya. Jika memahami hakikat dari seorang pemimpi.

Para pemimpin harus ingat, tak ada kemajuan bangsa tanpa pengorbanan kepemimpinan. Tak ada kemajuan tanpa keteguhan akhlak yang sempurna. Pilihan-pilihan kebijakan politik dan ekonomi harus dijejakkan pada kesanggupan para pemimpin mengorbankan kepentingan egosentrismenya demi memuliakan nilai-nilai moral kebangsaan, prinsip-prinsip yang penting bagi orang banyak. Barometer akhlak akan mengalahkan pencitraan, populisme, seolah-seolah membela kepentingan rakyat, tapi mengorbankan rakyat yang lain.

Rasulullah Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya, “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (Bukhari dan Muslim).

Ada pesan Nabi kepada sahabat Abu Dzar berlaku juga untuk kita semua, dan lebih khusus bagi orang yang sudah terpilih sebagai. Pesan utama yang dapat kita teladani adalah pentingnya memiliki sikap amanah, amanah artinya dapat dipercaya dan menjalankan kewajibannya dengan baik tanpa melakukan penyimpangan. Harus disadari menjadi pemimpin adalah menjadi pelayan umat (sayyidul qoumi khodimuhum), sehingga mengutamakan kepentingan semua rakyatnya tanpa membedakan dengan diatas kepentingan keluarga, partai dan golongannya.

Kemudian pesan dari kisah Abu Dzar al Ghifari yang kedua adalah, meraih jabatan kekuasaan harus dengan jalan yang benar, bersaing secara sportif, tidak curang, tidak licik. Dengan kata lain, meraih jabatan jangan hanya bermodal finansial tanpa dimbangi dengan modal akhlak. Hal ini yang selalu menjadi polemik disaat musim pemilihan, dari masalah mahar politik sampai politik uang.

Baca Juga:  Nihil Kader PDIP di Seleksi Menteri Prabowo dan Peluang Gabung Koalisi

Namun terlepas dari terpenuhinya syarat politik dan administratif harus juga diikuti perubahan paradigma yang seharusnya dimiliki oleh semua para pemimpin terpilih yaitu kesadaran nurani bahwa menjadi pemimpin adalah amanat yang akan dimintai pertanggungjawaban bukan hanya di dunia tapi di akherat nanti. Dan ungkapan “Leiden is lijden!”. Memimpin adalah Menderita , kiranya bukan hanya ungkapan tapi sebuah pijar kehati-hatian.Maka berhati-hatilah …!

Lamlhom, 14 Februari 2025Wallahua’lam.————————— ——————

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.