“Barang siapa berpuasa Ramadan, kemudian diikuti dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim).
Syawal merupakan bulan kesepuluh dalam almanak Hijriyah, terletak di antara bulan Ramadhan dan Dzulqaidah.
Bulan Syawal menjadi momentum awal setelah puasa. Pada bulan Ramadhan, umat Islam mengerjakan ibadah puasa wajib sebulan penuh, Sunnah utama mengerjakan shalat Tarawih, membaca Al-Quran, memperbanyak sedekah hingga menunaikan zakat fitrah.
Maka, umat Islam juga dianjurkan untuk menjaga dan meningkatkan ibadah di bulan-bulan setelahnya.
Secara etimologi, arti kata Syawal adalah Peningkatan. Secara makna kata, Syawal adalah peningkatan sehingga bulan Syawal dapat kita maknai dengan bulan peningkatan, peningkatan ibadah, peningkatan kualitas Amal dan peningkatan kinerja.
Syawal menjadi penentu bagi umat Islam setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa Ramadan. Bukan sekadar pergantian bulan dalam kalender hijriah, Syawal menyimpan makna spiritual yang mendalam yaitu kembali ke fitrah.
Frasa ini tidak hanya menjadi omongan tahunan, tetapi mengandung pesan pembaruan diri yang patut direnungkan secara serius oleh setiap Muslim.
Bulan Syawal adalah babak lanjutan setelah Ramadan. Umat Islam di ingatkan untuk terus merawat kebiasaan baik yang telah dibina selama puasa, seperti Tadabbur Al-Qur’an, memperbanyak sedekah, menahan amarah, serta menjaga lisan. Syawal, dalam artian lain, adalah waktu untuk membuktikan komitmen.
Apakah amalan yang dilakukan selama Ramadan hanya bersifat musiman, atau benar-benar bertransformasi menjadi karakter.
Salah satu bentuk keberlanjutan spiritual itu adalah anjuran berpuasa enam hari di bulan Syawal. Hadis yang kita sebutkan di atas menunjukkan bahwa amalan setelah Ramadan sangat menentukan kualitas puasa seseorang. Syawal menjadi pengukur sejauh mana Ramadan membekas dalam jiwa.
Banyak yang beranggapan Syawal sebagai garis finish dari rangkaian ibadah Ramadan. Padahal, Syawal seharusnya menjadi titik awal. Ibarat pemain bola yang telah berlatih keras selama sebulan, Syawal adalah saatnya untuk menerapkan hasil latihan itu dalam kehidupan nyata. Kembali ke fitrah bukan berarti kembali ke nol, melainkan melanjutkan latihan hidup dengan semangat baru yang lebih bersih, lebih bijaksana, dan lebih bertakwa.
Makna Syawal juga terwujud dalam dimensi sosial yang sangat kental. Adat geutanyoe saling memaafkan, saling mengunjungi sanak kerabat, dan berbagi kebahagiaan kepada sesama mencerminkan nilai-nilai fitrah manusia sebagai hamba sosial.
Lebaran bukan sekadar ajang makan sie meugang, mie caluek, melainkan momen penting untuk merajut kembali tali persaudaraan yang mungkin sempat terburai oleh perbedaan pandangan, konflik kepentingan, atau ketersinggungan perasaan.
Kembali ke fitrah adalah tujuan besar Ramadan dan point awal kehidupan baru di bulan Syawal. Namun tantangan sesungguhnya justru muncul setelahnya. Dunia kembali menggusik, rutinitas kembali menjerat, dan birahi nafsu kembali memuncah.
Di sinilah pentingnya muraqabah (pengawasan diri), muhasabah (evaluasi diri), dan istiqamah (konsistensi) agar fitrah yang telah diraih tidak kembali tercemar.
Fitrah bukan berarti bebas dari ujian, melainkan ada pangkal spiritual untuk menghadapi ujian tersebut dengan lebih siap. Maka, mari jadikan Syawal sebagai momentum untuk mengokohkan iman, merawat kasih sayang, merawat amal, merawat nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
Makna Syawal mengingatkan kita bahwa kemenangan sejati bukan hanya berhasil menahan lapar dan dahaga, melainkan juga mampu merningkatkan kebaikan amal dan memperbaiki diri secara terus-menerus.
Kembali ke fitrah berarti kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang original jujur, amanah, sabar, dan penuh kasih sayang. Jika Ramadan adalah madrasah ruhani, maka Syawal adalah kelulusannya. Dan kelulusan sejati adalah ketika seseorang mampu merawat kebaikan yang telah dikerjakan itu sepanjang tahun.
Nasrum Minallah wa fathun qarib.
Ditulis oleh Juhaimi Bakri
Lamlhom, 11 Syawal 1446 H .
