SEJARAH panjang Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya deteksi dini intelijen selalu berujung pada tragedi. Kerusuhan Mei 1998 menjadi pelajaran pahit bahwa provokasi massa yang tak terbaca mengakibatkan lebih dari 1.200 orang meninggal, 2.500 bangunan luluh lantak, dan kerugian ekonomi mencapai Rp2,5 triliun. Trauma itu membuat pemerintah bertekad menghindari kegagalan serupa dengan cara menggelontorkan anggaran raksasa bagi modernisasi intelijen. Sejak 2017 hingga 2025, dana ratusan triliun rupiah dialokasikan untuk material khusus atau matsus intelijen, mulai dari spyware kelas premium yang bisa menembus ponsel dan laptop siapa pun, perangkat lawful intercept untuk melacak akses komunikasi, hingga sistem digital terintegrasi yang diklaim mampu menjadi early warning system bagi negara.
Namun, investasi itu ternyata hanya menghasilkan kerapuhan baru. Saat unjuk rasa kolosal pecah pada 25 Agustus hingga 2 September 2025, semua instrumen penginderaan yang sudah dibekali teknologi mutakhir lumpuh. Aparat keamanan tak mampu membaca eskalasi sejak dini, tak bisa memutus pola provokasi, dan gagal melindungi warga dari kerusuhan. Korban jiwa dan luka-luka kembali berjatuhan, fasilitas negara maupun milik rakyat rusak, dan negara sekali lagi tampak buta di tengah krisis. Publik pun mempertanyakan, untuk siapa sebenarnya alat-alat intelijen digital yang dibeli dengan uang rakyat itu digunakan? Apakah benar untuk menjaga keamanan bangsa, atau justru menjadi alat oligarki guna membungkam kritik dan melanggengkan kekuasaan?
Ironi ini semakin terang ketika menilik catatan Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang delapan tahun terakhir. Audit berulang kali menemukan masalah serius dalam pengadaan peralatan khusus intelijen. Pada 2017, BPK melalui LHP No. 56/LHP/XVI/05/2017 menemukan 8.323 kasus ketidakpatuhan senilai Rp30,87 triliun, sebagian besar terkait pengadaan peralatan taktis tanpa spesifikasi jelas di Polri dan Kementerian Pertahanan. Setahun kemudian, muncul kasus pengadaan intelijen senilai Rp685 miliar tanpa tender. Pada 2019, BSSN menggelontorkan Rp420 miliar untuk infrastruktur siber, tetapi realisasinya minim. Tahun 2020, laporan semester pertama mencatat Rp19,4 triliun belanja bermasalah di Polri, Kemenhan, dan BSSN. Pada 2021, BIN menganggarkan lebih dari Rp1 triliun untuk alat intelijen digital, namun audit BPK hanya menyentuh administrasi karena dalih rahasia negara. Tahun 2022, Polri dan Kemenhan kembali tercatat membeli perangkat pengawasan Rp1,1 triliun melalui penunjukan langsung tanpa analisis kebutuhan memadai. Audit BSSN tahun 2023 mencatat belanja Rp310 miliar untuk alat deteksi ancaman digital tanpa hasil jelas. Hingga periode 2024-2025, Kejaksaan Agung menemukan total belanja intelijen sebesar Rp5,78 triliun yang dilakukan lewat penunjukan langsung maupun lelang tidak sesuai prosedur.
Rentetan kasus ini menyingkap pola yang konsisten: jargon rahasia negara dipakai sebagai tameng untuk menghalangi pengawasan publik, sementara praktik pengadaan dipenuhi penunjukan vendor yang dekat dengan elite politik. Alat-alat yang dibeli kerap tidak kompatibel dengan jaringan yang sudah ada, bahkan tidak terintegrasi lintas lembaga. Tidak sedikit peralatan berteknologi tinggi akhirnya hanya menjadi besi tua karena pimpinan lembaga tidak paham operasional, operator di lapangan tidak dilatih, dan doktrin integrasi tidak pernah dirumuskan. Di banyak kasus, vendor hanya menguasai informasi teknis umum, tanpa mengetahui detail operasional perangkat. Maka tidak mengherankan jika pada saat krisis, perangkat yang mestinya menjadi “mata dan telinga” negara malah tidak berfungsi.
- Reformasi Intelijen dan Krisis Akuntabilitas
Kegagalan deteksi dini pada unjuk rasa 2025 menandai kegagalan struktural dalam tata kelola intelijen digital. Negara telah mengeluarkan triliunan rupiah untuk membangun sistem peringatan dini, namun korban sipil tetap berjatuhan. Kegagalan ini tak bisa dilepaskan dari dua faktor utama yaitu korupsi dalam pengadaan dan inkompetensi dalam pemanfaatan. Kedua faktor ini saling mengunci, melahirkan kondisi di mana negara secara teknologi tampak canggih, tetapi secara operasional justru gagap.
Inilah saatnya Presiden Prabowo menegaskan sikap tegas. Reformasi intelijen harus dimulai dari audit kedaulatan digital yang substantif. BPK tidak boleh berhenti pada memeriksa kontrak di atas kertas, melainkan wajib menilai langsung perangkat yang dibeli, apakah berfungsi sesuai klaim, apakah kompatibel dengan sistem yang sudah ada, dan apakah benar-benar memberi manfaat bagi keamanan negara. Audit substantif ini perlu diperkuat oleh pembentukan satuan tugas independen yang memiliki mandat menguji kinerja perangkat intelijen, bukan sekadar kelengkapan administrasi.
Di sisi lain, pengadaan harus dikelola dengan prinsip transparansi. Publik berhak mengetahui judul paket, tujuan, dan manfaat belanja matsus. Penunjukan langsung harus dibatasi hanya untuk kondisi yang benar-benar darurat dan tidak bisa ditunda, sementara lelang kompetitif harus menjadi mekanisme utama agar proses berjalan akuntabel. Lebih penting lagi, setiap doktrin operasi teknologi harus diarahkan untuk melindungi warga, termasuk pengunjuk rasa damai, alih-alih digunakan untuk membungkam suara kritis.
Reformasi ini juga mensyaratkan keterlibatan publik. Transparansi bukan hanya soal angka di APBN, melainkan soal membangun kepercayaan masyarakat bahwa teknologi intelijen dipakai untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan penguasa. Tanpa kepercayaan itu, setiap pembelian perangkat intelijen akan selalu dicurigai sebagai proyek oligarki yang menggerogoti APBN.
Tragedi unjuk rasa 2025 memberi peringatan bahwa negara tidak boleh lagi berlindung di balik jargon rahasia negara untuk menutupi kelemahan sistemiknya. Uang rakyat yang digelontorkan untuk membangun sistem deteksi dini harus benar-benar kembali dalam bentuk rasa aman, bukan hanya ilusi bahwa negara “tahu segalanya”. Jika tidak, belanja raksasa intelijen hanya akan menjadi lembar baru dari buku panjang kegagalan negara yang membiarkan rakyat menjadi korban, sementara kekuasaan tetap aman di menara gadingnya.[]
Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
==============
Artikel ini merupakan opini penulis, semua isi diluar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis.





