BANDA ACEH — Penanews.co.id — Gelombang popularitas matcha kini melanda berbagai belahan dunia. Dari warung kopi artisan di Tokyo hingga kedai es krim trendi di New York, teh hijau bubuk asal Jepang ini mengalami lonjakan permintaan yang luar biasa. Didongkrak oleh tren gaya hidup sehat yang ramai dibicarakan di media sosial serta kembalinya arus wisatawan setelah pandemi, matcha kini menjadi barang yang semakin diburu, dan harganya pun meroket tajam.
Kenaikan konsumsi global ini memberi tekanan besar pada rantai pasokan. Matcha berasal dari daun teh tencha, yang dibudidayakan secara unik—tanaman sengaja dilindungi dari sinar matahari menjelang panen agar menghasilkan rasa umami khas.

Proses produksinya melibatkan serangkaian tahapan yang memakan banyak tenaga kerja, mulai dari pemetikan daun, pengukusan, pengeringan, hingga penggilingan menjadi bubuk halus. Sayangnya, Jepang saat ini menghadapi krisis jumlah petani teh, sementara permintaan terus meningkat.
Data dari Global Japanese Tea Association menunjukkan, harga daun tencha dalam lelang musim semi 2025 di Kyoto menembus angka JPY 8.235 per kilogram (sekitar Rp 823.500), naik drastis 170% dibanding tahun sebelumnya. Angka ini jauh mengungguli rekor sebelumnya pada 2016 yang tercatat di JPY 4.862/kg. Akibatnya, harga matcha eceran di Jepang dilaporkan telah naik dua kali lipat dalam setahun terakhir. Beberapa toko di Tokyo bahkan mulai membatasi jumlah pembelian demi menghindari aksi borong berlebihan.
Ekspor teh hijau Jepang pun ikut terdongkrak.
Kementerian Keuangan Jepang mencatat nilai ekspor teh hijau tahun lalu mencapai JPY 36,4 miliar (sekitar US$247 juta), naik empat kali lipat dari satu dekade lalu.
Dari total itu, sekitar 44% mengalir ke Amerika Serikat, sebagian besar dalam bentuk bubuk matcha. Popularitas matcha sebagai “superfood” kaya antioksidan jelas menjadi motor utamanya.
Namun, ancaman baru muncul dari perubahan iklim. Gelombang panas ekstrem musim panas ini berpotensi memangkas panen teh tahun depan, yang akan menekan pasokan lebih jauh.

Bagi pelaku usaha seperti kafe dan toko oleh-oleh, kekhawatiran harga melambung semakin nyata, meski matcha tetap menjadi suvenir favorit turis.
Industri besar ikut bergerak cepat. Ito En, produsen teh hijau botolan terbesar di dunia, membentuk divisi khusus matcha pada Mei 2025. Perusahaan ini berencana menaikkan harga produk berbasis matcha hingga 50-100% mulai September 2025, akibat kenaikan biaya bahan baku dan tenaga kerja.
Namun, mengonversi petani ke tencha bukan perkara mudah. Banyak yang khawatir tren matcha hanya sesaat, sehingga enggan mengambil risiko menanam komoditas yang lebih padat karya.
Pemerintah Jepang kini mempertimbangkan subsidi bagi petani agar mau memperluas lahan tencha. Sementara itu, sebagian pengusaha melihat edukasi konsumen sebagai jalan tengah: tidak semua hidangan matcha membutuhkan bubuk kualitas premium. Bahkan, ada yang mulai melirik alternatif tren baru seperti hojicha, teh Jepang dengan rasa lebih gurih dan rendah kafein.
Artikel ini sudah tayang di CNBC Indonesia dengan judul “Daun “Ajaib” Ini Jadi Emas Baru, Harga Selangit Karena Diburu Dunia







