Dana Otsus Untuk Siapa ?

by
Dr. Taufiq A. Rahim

PADA saat ini ada yang merasa bergembira serta bertepuk tangan dan dada, karena rencana Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) disetujui untuk dilakukan Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas). Sehingga sebahagian elite politik Aceh merasa bangga, senang serta bersuka ria, karena yang ada dalam pikiran nalar dan “otaknya” adalah, Dana Otonomi Khusus (Otsus) diperpanjang lagi. Maka peluang memanfaatkan bancakan dana otsus untuk berpotensi serta cenderung memperkaya diri, menambah pundi-pundi pendapatan/kekayaan melalui praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi sangat besar dan menggairahkan untuk dilaksanakan.

​Pada dasarnya, yang dikehendaki dari derivasi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005, adalah kewenangan politik Aceh yang paling prinsipil adalah, melalui Self Determination (Mengatur Dirinya Sendiri), dengan pelaksanaan Cleans Governances and Good Government. Ini mesti dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen, sehingga Aceh secara keseluruhan, baik kehidupan rakyatnya, ekonomi, politik, sosial, kebudayaan serta berbagai kehidupan antar sektor dan wilayah akan keadilan, keharmonisan, kemakmuran serta kesejahteraan. Maka tidak lagi berlaku ketimpangan dengan memanfaatkan sumber daya alam (resources) dan sumber daya ekonomi (economics resources) yang bervariatif ada di Aceh.

Dalam turunan UUPA dan Qanun Aceh saat ini bahwa, pembagian hasil sumber daya alam (resources) dan sumber daya ekonomi itu 30% (Aceh) serta 70% (Pusat), ini wewenangnya realistis diatur serta ditetapkan dan diatur oleh Pemerintah Pusat Jakarta.

Makanya, kewenangan ini telah dilanggar dan Aceh sudah dikhianati serta dibohongi atau dibodohi tidak sesuai lagi dengan Perjanjian Damai MoU Helsinki 2005. Sehingga tidak mengherankan dan nyata bahwa rakyat Aceh itu termiskin di Sumatra dan berada pada urutan ke 6 secara nasional.

​Dengan demikian, secara realitas integrasi dengan Indonesia dalam Perjanjian Damai Aceh Tahun 2005, ini sia-sia belaka, karena wewenangnya untuk mengatur kekayaan alam dan ekonominya kembali dikhianati dengan narasi kekuasaan politik yang diciptakan secara sentralistik serta neo-colonialism. Praktik pengkhianatan ini telah berulang lagi, dari sekian kali perjanjian, harapan serta keinginan bersama yang dipaksanakan agar berintegrasi politik Aceh dengan Pemerintah Pusat Jakarta sejak Kemerdekaan Tahun 1945, dimana Aceh sebagai pilar dan bumper pendukung utama Indonesia Merdeka, berlaku berulang kali dengan Ikrar Lamteh dan MoU Helsinki.

​Karena itu, momen 20 tahun Perjanjian Damai Aceh pada tahun 2025, ternyata ada sekelompok orang, elite politik masih berharap banyak terhadap Revisi UUPA merupakan derivasi MoU Helsinki, demikian menggebu-gebu harus direvisi.

Hal yang sangat memprihatinkan adalah, bukan persoalan mendasar kewenangan politik Aceh yang salah satunya adalah Self Determination yang harus diperjuangkan secara konsisten dan bertanggung jawab, termasuk wewenang politik, ekonomi, sosial, budaya, antar sektor dan wilayah dan lain sebagainya, sehingga dapat menciptakan serta membangun kehidupan yang bermartabat dan berkeadilan untuk Aceh.

Mirisnya hanya berfikir tentang perpanjangan Dana Otsus yang dapat digunakan untuk uang/dana bancakan kekayaan serta berpotensi melakukan KKN, yang secara realsitis selama Dana Otsus sekali tidak pro-rakyat Aceh untuk berbagai program dan proyeknya. Karena yang diperjuangkan adalah untuk program dan proyek pengadaan barang dan jasa sebagai hasrat atau nafsu ekonomi politik “trias politica” (eksekutif, legislatif, yudikatif), para pejabat, kelompoknya, elite birokrasi yang memanfaatkan Dana Otsus tersebut untuk kepentingan ekonomi-politiknya.

​Dengan demikian, bahwa jelas-jelas selama ini sejak Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK-RI), Nomor 26 PMK.07/2008, sampai dengan tahun 2025 telah lebih sekitar Rp 110 triliun Dana Otsus tersebut digunakan dan diberikan. Namun demikian, sampai dengan saat ini rakyat saat ini hanya menikmati Dana Otsus sekitar 10%, jkadi Dana Otusus bukan untuk rakyat Aceh.

Hal ini membuktuikan secara kuantitatif statistic error term pemanfaatan Dana Otsus sekitar 90%. Maka serara realistis serta analogi keuangan serta kebijakan politik anggaran belanja publik, yang diterapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) bahwa, Dana Otsus gagal memperbaiki kehidupan serta dapat mernciptakan perbaikan kehidupan, kemakmuran serta kesejahteraan bagi rakyat Aceh.

Dengan demikian, saat ini jelas bahwa Dana Otsus telah menciptakan jebakan politik (political trap), ketergantungan politik (political interdependent) dan memiliki kemungkinan besar Aceh bergantung kepada Pemerintah Pusat Jakarta, dengan otoritarianisme dan neo-colonialisme gaya baru, dari kebijakan politik anggaran dana tersebut.

Penulis : Dr. Taufiq A.Rahim Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

=========

Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi diluar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *