Pengamat; UOB dan Awan Gelap Kepercayaan Perbankan

by

DALAM dunia perbankan, dua prinsip yang menjadi fondasi utama adalah Prudent Banking Principle (prinsip kehati-hatian) dan Fiduciary Relation Principle (hubungan berbasis kepercayaan). Bank bukan hanya tempat menyimpan uang, melainkan institusi yang beroperasi dengan legitimasi sosial dimana publik menitipkan aset mereka, sementara bank mengelola dengan amanah. Begitu salah satu prinsip ini runtuh, yang hancur bukan sekadar rekening seorang nasabah, melainkan kepercayaan publik pada sistem keuangan nasional.

Kasus dugaan penggelapan aset nasabah oleh PT Bank UOB Indonesia bukanlah perkara kecil. Berdasarkan laporan, seorang nasabah kehilangan sertifikat hak guna bangunan (SHGB No 81) seluas 17.220 meter persegi dengan nilai lebih dari Rp 87 miliar akibat ulah seorang pejabat bank yang diduga memanipulasi proses kredit. Modusnya klasik namun fatal: nasabah diminta menunjukkan sertifikat sebagai bukti bonafiditas kredit, namun dokumen itu justru ditahan dan digunakan tanpa adanya perjanjian kredit resmi. Lebih jauh, sertifikat tersebut bahkan diajukan ke BPN oleh pihak bank pada 2024 tanpa seizin pemiliknya.

Dugaan tindak pidana yang menyeret nama pimpinan UOB dan bahkan oknum penegak hukum menunjukkan persoalan yang lebih besar dengan adanya kejahatan perbankan terorganisir yang berkelindan dengan moral hazard aparat hukum. Dalam literatur keuangan, inilah titik di mana sistemik risk mulai berakar. Kasus semacam ini tidak hanya melukai korban langsung, melainkan juga mengguncang pilar kepercayaan yang menopang dunia perbankan.

Menurut data OJK, sepanjang 2023 terdapat lebih dari 10.000 pengaduan nasabah perbankan yang masuk, mayoritas terkait transparansi informasi, biaya tersembunyi, hingga penyalahgunaan aset agunan. Indonesia memang belum menghadapi krisis perbankan seperti 1998, namun kasus-kasus mikro semacam ini adalah bara dalam sekam. Sekali kepercayaan publik tercederai, dampaknya bisa menjalar menjadi rush money dan instabilitas keuangan nasional.

OJK sebagai regulator tentu tidak bisa bersembunyi di balik retorika. Undang-Undang OJK No. 21 Tahun 2011 memberikan mandat tegas dengan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Apalagi, UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 secara eksplisit menegaskan tanggung jawab pelaku usaha jasa keuangan atas kerugian konsumen akibat layanannya. Dalam perspektif hukum, kasus UOB ini seharusnya memicu sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha bila terbukti.

Dalam literatur ekonomi kelembagaan, Douglass North mengingatkan bahwa pembangunan ekonomi tidak mungkin berlangsung dalam institusi yang rapuh. Hukum dan aturan main yang tidak ditegakkan hanya melahirkan oligarki finansial yang memperkaya segelintir, sambil menindas banyak orang. Bank yang semestinya menjadi motor ekonomi justru bertransformasi menjadi predator keuangan.

Ironisnya, kasus ini muncul di tengah ambisi pemerintah mendorong literasi dan inklusi keuangan nasional yang ditargetkan mencapai 90% pada 2029. Bagaimana masyarakat mau percaya pada bank jika justru aset mereka bisa digelapkan oleh pejabat bank sendiri? Bagaimana publik bisa yakin pada hukum bila penegaknya diduga bermain mata dengan pelaku?

OJK tidak boleh ragu. Jika terbukti, penutupan Bank UOB Indonesia adalah langkah niscaya. Bukan sekadar untuk menghukum satu institusi, melainkan sebagai pesan moral bahwa kepercayaan publik lebih tinggi nilainya daripada izin usaha sebuah bank. Lebih dari itu, langkah tegas akan mengembalikan martabat hukum, sekaligus membuktikan bahwa negara hadir di pihak rakyat.

Jika OJK dan aparat hukum gagal bertindak, maka yang runtuh bukan hanya kredibilitas perbankan, melainkan juga legitimasi negara di mata rakyat. Dan ketika rakyat kehilangan kepercayaan, sesungguhnya kita sedang menabur benih krisis keuangan baru.[]

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

=========

Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *