MALANG – Penanews.co.id – Pagi yang cerah seolah membawa hembusan angin dari Serambi Mekkah. Di Asrama Putri Aceh Pocut Baren, Perum Bukit Hijau, Kota Malang, aroma rempah Aceh menyeruak, berpadu dengan lantunan shalawat yang lembut mengisi udara. Suasana religius dan nostalgia kampung halaman pun menyelimuti acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H yang digelar oleh Keluarga Tanah Rencong (KTR) Malang Raya.
Dengan tema “Meraih Cinta Allah dengan Mengikuti Sunnah Rasul-Nya”, acara ini menjadi lebih dari sekadar peringatan — ia adalah perjumpaan hati di tanah perantauan. Para tamu disambut alunan shalawat dan senyum hangat khas Aceh, menciptakan nuansa yang seolah membawa mereka pulang sejenak ke tanah kelahiran.
Tepat pukul 08.30 WIB, acara dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an oleh perwakilan mahasiswa Aceh. Suasana hening penuh khidmat, sebelum kemudian dilanjutkan sambutan oleh Hildawati selaku Ketua Panitia dan Salahuddin Salam, Ketua KTR Malang Raya.

Dalam tausiyahnya, Ustadz Hendra Ubay membimbing jamaah merenungi makna sejati cinta kepada Rasulullah SAW. Ia mengajak hadirin untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga meneladani — menjadikan sunnah Nabi sebagai jalan hidup dalam keseharian.
Tak berhenti di situ, semangat kepedulian juga dihidupkan melalui pembagian bantuan dan tali asih kepada anak yatim piatu. Satu demi satu tangan kecil menerima bingkisan dengan wajah penuh senyum, menjadi simbol kasih dan keberkahan di hari yang penuh makna itu.
Menjalin Asa, Menguatkan Saudara
Hildawati menuturkan bahwa kegiatan ini adalah bagian dari komitmen KTR Malang Raya dalam memperkuat persaudaraan di tanah rantau.
“Melibatkan mahasiswa Aceh dalam persiapan acara adalah bentuk latihan kepemimpinan dan tanggung jawab sosial bagi mereka,” ujarnya.
Sejak berdiri tahun 1998, KTR Malang Raya terus menjadi rumah bagi warga Aceh di Malang, Batu, dan Kabupaten Malang. Dengan lebih dari 90 kepala keluarga, 200 mahasiswa, serta puluhan alumni, komunitas ini tidak hanya menjadi tempat berkumpul, tetapi juga tempat berbagi — baik dalam suka maupun duka.
Kami selalu berusaha hadir untuk saling membantu, terutama bagi keluarga atau mahasiswa yang menghadapi kesulitan. Inilah makna sesungguhnya dari ‘tanah rencong di perantauan’,” tutur Salahuddin Salam.
Rasa Kampung Halaman di Setiap Suapan
Bagian paling ditunggu pun tiba: jamuan makan khas Aceh dengan tradisi idang — makan bersama dalam barisan panjang. Nasi minyak (bu minyeuk) disajikan dalam daun pisang (bu kulah)membawa aroma wangi yang menggoda.
Di atas meja panjang, tersaji aneka kuliner khas Tanah Rencong: daging masak putih, keumamah, udang balado, sambal teri tempe, asam udang (sambal ganja), pacri nanas, tauco buncis, telur asin, hingga emping belinjo. Sebagai penutup, kopi Arabika Gayo yang harum, ditemani beulukat kuah tuhe — ketan gurih dengan kuah srikaya dan kolak pisang yang lembut di lidah.
“Beulukat kuah tuhe adalah hidangan wajib setiap Maulid di Aceh,” cerita Rizki Amelia, ketua panitia. “Bagi kami, menghadirkannya di sini seperti membawa sepotong Aceh ke tengah Malang.”
Dan benar saja — setiap suapan membawa kenangan, setiap tawa menyiratkan kerinduan.
Di Asrama Pocut Baren pagi itu, Aceh seolah pulang ke Malang






