PERNIKAHAN dalam Islam merupakan ikatan suci yang tidak hanya menyatukan dua insan, tetapi juga menyatukan dua keluarga besar dari kedua mempelai. Karenanya, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang dilaksanakan secara terbuka, disaksikan oleh banyak orang, dan dirayakan sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah swt.
Namun realitas yang terjadi di masyarakat seringkali berbeda. Tidak sedikit pernikahan yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dengan berbagai alasan, seperti masalah ekonomi, atau bahkan karena pernikahan tersebut tidak direstui oleh keluarga.
Ironisnya, pernikahan yang awalnya diharapkan membawa keberkahan justru berujung pada masalah yang lebih besar. Meski dari pernikahan semacam ini perjalanan keluarganya baik-baik saja, tetapi tidak sedikit pula yang mengalami masalah serius.
Salah satu contohnya adalah penelantaran istri dan anak karena pernikahan tidak tercatat secara resmi, sehingga hak-hak mereka tidak terlindungi secara hukum.
Oleh sebab itu, Islam menganjurkan agar pernikahan diumumkan dan disiarkan, hal ini tidak hanya demi menampakkan syiar, tetapi juga sebagai bentuk penjagaan hak-hak keluarga yang lahir dari akad tersebut.
Menyiarkan pernikahan dapat menguatkan statusnya secara syariat dan memudahkannya diakui secara hukum negara, sehingga rumah tangga yang dibangun berada di atas dasar yang jelas, kuat, dan terhindar dari berbagai fitnah serta kemudaratan sosial.
Berkaitan dengan hal ini, dalam salah satu riwayat yang berasal dari Sayyidah Aisyah, Rasulullah saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ. وَلْيُولِمْ أَحَدُكُمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya, “Umumkanlah pernikahan ini, selenggarakanlah di masjid-masjid, dan tabuhkanlah rebana padanya. Hendaklah salah seorang di antara kalian mengadakan walimah, meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (HR. Al-Baihaqi).
Hadits ini menjadi dalil kuat yang menganjurkan umat Islam untuk menyiarkan pernikahan. Rasulullah secara tegas memerintahkan untuk mengumumkan pernikahan, menyelenggarakannya di masjid, dan menabuh rebana sebagai bentuk suka cita. Tujuannya tidak lain selain untuk membedakan pernikahan yang sah dari hubungan terlarang lainnya.
Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Abdurrauf al-Munawi (wafat 1031 H) dalam salah satu karyanya, bahwa perintah mengumumkan pernikahan berarti menampakkannya sebagai bentuk kebahagiaan sekaligus untuk menjadi pembeda antara pernikahan dengan acara-acara lainnya.
Beliau juga menegaskan bahwa hadits ini merupakan larangan untuk melakukan pernikahan secara diam-diam,
أَعْلِنُوا النِّكَاحَ. أَيْ أظْهِرُوهُ إِظْهَارًا لِلسُّرُوْرِ وَفَرْقًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ غَيْرِهِ مِنَ الْمَآدِبِ، وَهَذَا نَهْيٌ عَنْ نِكَاحِ السِّرِّ
Artinya, “Umumkanlah pernikahan. Maksudnya, tampakkanlah pernikahan itu sebagai bentuk kebahagiaan sekaligus sebagai pembeda antara pernikahan dengan jamuan lainnya.
Dan (hadits) ini merupakan larangan dari pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.” (Faidhul Qadir Syarh Jami’is Shagir, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1415 H], jilid II, halaman 14).
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Najib al-Muthi’i (wafat 1407 H). Dalam salah satu karyanya ia menjelaskan bahwa momentum akad nikah memang sudah selayaknya diumumkan dan disyiarkan, bukan ditutupi atau disembunyikan.
Tujuannya tidak lain selain agar pernikahan dapat dibedakan secara jelas dari perbuatan zina yang pada umumnya selalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dirahasiakan,
اَلْاِعْلاَنُ وَالْعَلَانِيَّةُ ضِدُّ الْاِسْرَارِ وَهُوَ إِظْهَارُ الشّيْءِ وَتَرْكُ إِخْفَاتِهِ لِيُخَالِفَ الزِّنَا الَّذِى عَادَتُهُ أَنْ يُسْتَسَرَّ بِهِ وَيُخْفَى
Artinya, “Pengumuman dan keterbukaan adalah lawan dari penyembunyian. Ia berarti menampakkan sesuatu dan tidak menyembunyikannya, agar (pernikahan) dapat dibedakan dari zina yang kebiasaannya dilakukan secara rahasia dan disembunyikan.” (Takmilatul Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Madinah: Maktabah as-Salafiyah, t.t], jilid XX, halaman 274).
Lebih luas dari beberapa penjelasan di atas, menurut Syekh Zakaria al-Anshari (wafat 925 H), anjuran menyiarkan pernikahan tidak hanya karena untuk menampakkan kebahagiaan atau membedakannya dari perbuatan maksiat, tetapi ada yang lebih penting darinya perihal nama baik dan hak-hak anak di masa depan. Setidaknya ada dua sebab penting dalam hal ini, yaitu:
Pertama, untuk menghilangkan kecurigaan (‘adamur raibah). Artinya, pernikahan yang diumumkan secara luas akan menghilangkan potensi fitnah dan keraguan di masyarakat. Ketika semua orang tahu bahwa dua individu telah menikah, maka tidak akan ada lagi bisik-bisik atau spekulasi yang tidak berdasar. Hal ini penting untuk menjaga nama baik kedua mempelai dan keluarga mereka.
Kedua, untuk kejelasan nasab anak. Dengan pernikahan yang diumumkan, status anak yang lahir dari pernikahan tersebut akan menjadi jelas dan tidak diperdebatkan. Tentu saja ini sangat penting karena akan memberikan kepastian hukum dan sosial bagi anak tersebut, serta melindungi hak-haknya di masa depan.
Dalam salah satu karyanya, Syekh Zakaria al-Anshari menjelaskan:
أعْلِنُوا النِّكَاحَ بَينَ النَّاس. وَفِيْهِ الْأَمْرُ بِإِظْهَارِ النِّكَاحِ وَهُوَ سُنَّةٌ لِيَشْتَهِرَ بَيْنَ النَّاسِ فَيَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ عَدَمُ الرَّيْبَةِ وَاشْتِهَارِ نَسَبِ الْوَلَدِ إِذَا وُجِدَ
Artinya, “Umumkanlah pernikahan di tengah masyarakat. Dalam hadits ini terdapat perintah untuk menampakkan pernikahan, dan hal itu merupakan sunnah agar ia dikenal oleh orang banyak. Dengan demikian, hilanglah kecurigaan serta jelaslah nasab anak apabila kelak dikaruniakan.” (Fathul Allam bi Syarhil I’lam bi Ahaditsil Ahkam, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2000 M, tahqiq: Syekh Adil Ahmad], halaman 515).
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menyiarkan pernikahan tidak hanya perkara adat atau tradisi sosial saja, tetapi bagian dari ajaran Islam yang membawa kemaslahatan besar bagi keluarga.
Islam tidak hanya mengatur akadnya agar sah, tetapi juga memperhatikan dampak sosial, kehormatan pasangan, serta masa depan anak yang lahir dari pernikahan tersebut, sekaligus menutup munculnya fitnah.
Oleh karena itu, setiap orang yang hendak membangun mahligai rumah tangga, sudah selayaknya menjadikan persiaran nikah sebagai prioritas meski dilaksanakan dengan sederhana, agar pernikahannya tidak hanya menyatukan kedua pasangan, tetapi juga menjadi momentum untuk menyebarkan kebaikan dan mempererat tali silaturahmi. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Artikel ini dikutip NU Online dengan judul Pentingnya Menyiarkan Pernikahan menurut Hadits dan Ulama





