DI tengah gencarnya Presiden Prabowo Subianto mendorong Program Indonesia Pintar sebagai salah satu pilar utama menuju Indonesia Emas 2045, semestinya seluruh pemerintah daerah bergerak selaras, memperkuat fondasi pendidikan sejak usia dini. Namun realitas di Kota Tangerang memperlihatkan paradoks, dimana prestasi nasional justru hadir dari ruang-ruang kecil yang dibangun warga dengan keringat dan pengorbanan, sementara institusi resmi yang seharusnya menopang, justru absen pada momen krusial.
Selama lebih dari lima belas tahun, Ita Budiarti merawat mimpi besar dari sebuah sudut Kunciran Pinang terkait PAUD Sekolah Islam Jayawinata. Di sebuah kota yang berkembang pesat dengan infrastruktur modern, lembaga ini tumbuh bukan karena bantuan penuh pemerintah, tetapi melalui ketulusan, keteguhan, dan kepercayaan bahwa pendidikan adalah jalan martabat. Dan kerja panjang itu berbuah. PAUD Jayawinata terpilih sebagai satu dari hanya 40 PAUD di Indonesia yang ditetapkan Kementerian Pendidikan sebagai PAUD Model Deep Learning, sebuah predikat elite yang diberikan kepada lembaga yang mampu melampaui standar, memadukan kreativitas, inovasi pedagogis, dan visi masa depan anak-anak bangsa.
Namun di balik bendera prestasi yang berkibar itu, terdapat cerita getir tentang ketidakhadiran negara di tempat ia seharusnya hadir paling awal yaitu pendidikan dasar. Ketika Kemendikdas mengundang seluruh pemerintah daerah untuk mendampingi proses verifikasi PAUD model tersebut, 39 daerah lain hadir melalui dinas pendidikan masing-masing. Hanya satu yang tidak hadir yaitu Dinas Pendidikan Kota Tangerang. Kota dengan slogan Ahlakul Karimah itu justru absen pada panggung di mana sebuah institusi pendidikan di wilayahnya sedang diuji dan dinilai oleh negara.
Ketidakhadiran itu bukan sekadar soal administrasi atau miskomunikasi. Dalam konteks tata kelola pendidikan, ia menunjukkan retaknya kesadaran birokrasi tentang urgensi pendidikan anak usia dini. Riset Bank Dunia (2023) menegaskan bahwa kualitas PAUD menentukan hingga 60 persen kesiapan anak memasuki pendidikan dasar. Laporan UNESCO mencatat bahwa kesenjangan dukungan dari pemerintah daerah merupakan salah satu faktor utama stagnasi kualitas PAUD di Indonesia. Maka ketika sebuah PAUD di Kota Tangerang justru menjadi model nasional, ketidakhadiran pemerintah daerah bukan hanya ironi, ia adalah potret kegagalan memahami mandat pembangunan manusia.
Saat media mencoba mengonfirmasi kepada Walikota Tangerang mengenai alasan ketidakhadiran dinas pendidikan pada undangan resmi kementerian, tidak ada jawaban yang diberikan. Diam dalam isu publik bukanlah kebijakan; ia adalah bentuk pengingkaran tanggung jawab. Di negara yang sedang menginvestasikan masa depan pada penguatan pendidikan dasar, sikap ini sulit dibaca sebagai hal lain selain krisis empati dan krisis tata kelola.
Filsuf pendidikan John Dewey pernah menyatakan bahwa negara yang gagal memelihara pendidikan anak usia dini sedang menyiapkan krisis jangka panjang bagi bangsanya sendiri. Pendidikan usia dini bukan hanya ruang bermain, tetapi titik awal pembentukan kemampuan literasi dasar, kecakapan berhitung, kemampuan berpikir kritis, serta nilai-nilai karakter seperti empati dan tanggung jawab. Ini adalah pondasi dari human capital yang akan menentukan daya saing bangsa. Maka ketika sebuah pemerintahan daerah tidak memperlihatkan dukungan terhadap lembaga yang telah diakui nasional, pertanyaan yang muncul bukan sekadar “mengapa tidak hadir”, tetapi “bagaimana sesungguhnya prioritas pendidikan daerah ini?”
Dalam konteks komitmen nasional, sikap Dinas Pendidikan Kota Tangerang juga dapat dibaca sebagai bentuk insubordinasi terhadap agenda besar negara. Presiden Prabowo telah menegaskan bahwa pemerataan dan penguatan pendidikan dasar adalah prioritas nasional.
Ketidakselarasan pemerintah daerah terhadap arah kebijakan pusat pada sektor fundamental seperti PAUD menimbulkan kekhawatiran mengenai koordinasi, kepatuhan birokrasi, dan kualitas pelayanan publik.
Lebih jauh lagi, perlakuan diskriminatif terhadap PAUD Jayawinata bukan hanya melukai lembaga, melainkan mereduksi spirit warganya. Di kota-kota besar, tempat di mana kesenjangan sosial terus melebar, lembaga-lembaga PAUD berbasis komunitas seperti Jayawinata adalah jangkar sosial. Ketika negara, melalui dinas pendidikannya tidak hadir, maka yang dipertaruhkan bukan hanya prestasi lembaga, tetapi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Kota Tangerang membutuhkan refleksi serius. Pendidikan bukan sekadar urusan anggaran atau angka partisipasi sekolah. Ia adalah amanah sejarah, penentu masa depan, dan pondasi moral bagi generasi yang kelak memimpin negeri. Saat sebuah PAUD lokal mampu menembus panggung nasional, pemerintahan daerah mestinya hadir sebagai mitra, bukan penonton apalagi pihak yang mengabaikan.
Sebab keberhasilan kecil tidak lahir dari keajaiban. Ia lahir dari kerja keras warga, idealisme pendidik, dan dukungan negara. Dan ketika salah satu unsur absen, terutama unsur negara, maka yang muncul adalah krisis kepedulian, krisis orientasi, dan pada akhirnya krisis kepercayaan.
Indonesia Emas tidak mungkin lahir dari kebijakan besar jika pemerintah daerah gagal menjaga hal paling sederhana: hadir untuk sekolah yang sedang berjuang membesarkan anak-anak bangsanya. Kota Tangerang memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Pertanyaannya, apakah ada kemauan untuk berubah?
Penulis : Sri Radjasa, MBA (Pemerhati Intelijen)
%%%%%%%%%%%%
Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis





