KEMISKINAN di negeri ini seakan menjadi cerita panjang yang tak pernah selesai. Sejak bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan, rakyat belum benar-benar menikmati berkat dari tanah subur dan kekayaan alam yang melimpah. Di atas kertas, Indonesia mempunyai semua syarat untuk menjadi negara besar. Tapi faktanya, setelah delapan puluh tahun merdeka, terlalu banyak rakyat masih hidup dalam derita, terseok di lorong-lorong sempit dan kampung-kampung yang tak pernah tersentuh kebijakan.
Pergantian presiden, perubahan sistem, hingga rotasi elite tidak memberi perubahan berarti. Rakyat tetap berada di garis kemiskinan, seolah hanya menjadi penonton dari permainan politik yang seringkali tidak berpihak pada mereka. Ketika rakyat bersuara, mereka dicurigai. Ketika negara berlaku tak adil, alasannya selalu demi stabilitas. Ironi yang terus berulang dari masa ke masa.
Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi meninggalkan jejak yang bukan main beratnya, dimana korupsi makin besar, oligarki makin kuat, dan hukum sering kali melayani kekuasaan. Negara seperti dipertontonkan sebagai panggung yang dikendalikan kelompok kecil dari lingkaran Solo. Di tengah keadaan seperti itu, masyarakat menyambut Prabowo Subianto dengan secercah harapan. Mantan jenderal yang dikenal tegas ini dianggap mampu memutus rantai kepentingan dan memulihkan marwah negara.
Namun setahun berlalu, harapan itu perlahan retak. Prabowo terlihat gamang untuk berdiri tegak sebagai pemimpin. Ucapannya yang memuji Jokowi sebagai guru politik, hingga yel-yel “hidup Jokowi”, menjadi batu sandungan pertama. Yang lebih mengusik hati rakyat ialah ketika Prabowo tiba-tiba mengambil tanggung jawab atas utang proyek kereta Whoosh, padahal publik menganggap masalah itu tak lepas dari kebijakan era Jokowi.
Tuntutan masyarakat untuk mereformasi Polri juga tidak mendapat jawaban tegas. Alih-alih mengganti Kapolri atau mengambil langkah berani, Prabowo justru memberikan ruang istimewa kepada Listyo Sigit dalam Komisi Reformasi Polri. Keputusan ini membuat publik bertanya-tanya, apakah Prabowo sungguh memimpin negara ini, ataukah ia hanya berjalan di rel yang telah dibentangkan oleh kekuasaan lama?
Dari hari ke hari, kecurigaan publik kian tumbuh. Prabowo dianggap tidak cukup kuat untuk menolak cengkeraman dinasti politik yang telah lama bercokol. Banyak yang menilai bahwa negara ini seperti tetap dipimpin dua pusat kekuasaan: presiden yang menjabat, dan bayang-bayang presiden lama yang masih memegang kendali pada inner circle pemerintah.
Jika situasi ini terus berlanjut, Prabowo akan berhadapan dengan dua pilihan besar.
Pertama, ia harus menunjukkan keberanian sejati sebagai pemimpin bangsa. Artinya, membuka kembali persoalan-persoalan besar yang diduga terjadi di era Jokowi, dan meminta pertanggungjawaban secara terang benderang. Negara tidak boleh terus diam terhadap kerugian publik dan dugaan penyimpangan hukum.
Kedua, jika Prabowo memilih bertahan dalam sikap kompromi dan enggan memutus warisan kekuasaan lama, gelombang ketidakpuasan rakyat bisa berubah menjadi tekanan besar yang menuntutnya mundur. Tidak ada presiden yang bisa bertahan lama jika kehilangan kepercayaan publik.
Pada akhirnya, bangsa ini membutuhkan keberanian politik. Mengadili Jokowi bukan semata soal masa lalu, tetapi soal memulihkan keadilan. Dan keberanian itu akan menjadi tolok ukur apakah Prabowo mampu menjadi pemimpin yang berdiri di atas kepentingan rakyat, ataukah hanya menjadi penerus bayang-bayang kekuasaan yang tidak pernah benar-benar berakhir.
Indonesia hari ini sedang menunggu. Menunggu apakah presiden yang dipilih rakyat mampu menegakkan keadilan, atau justru membiarkan negeri ini tetap tersandera oleh kepentingan segelintir elite.[]
Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
%%%%%%%%%%%
Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis






Akhirnya rakyat jadi bertanya tanya apakah betul KPU yg mengatur kemenangan Pak Prabowo 2024 yg lalu seperti dugaan masyarakat bahwa thn 2019 pak Prabowo harus nya menang namun di curangi oleh Jokowi??! Wallahu alam!!