DI tengah duka yang mendalam akibat bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Indonesia, Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin, menyerukan sebuah ajakan yang menggugah dan tergolong berani yakni ajakan “tobat nasuha”.
Sebuah ajakan yang ditujukan kepada para pemangku kebijakan, khususnya Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, untuk merenungkan kembali arah kebijakan yang selama ini ditempuh pada Kementerian tersebut.
Cak Imin, dengan nada prihatin, mengajak para koleganya di kabinet untuk melakukan evaluasi total terhadap seluruh kebijakan yang berkaitan dengan alam. Sebuah evaluasi yang diharapkan dapat menjadi kunci untuk mencegah terulangnya bencana alam di negeri ini.
Ia bahkan menyinggung tentang kiamat yang bisa saja terjadi akibat kelalaian manusia dalam menjaga alam. Sebuah peringatan keras yang disampaikan dengan bahasa yang khas Nahdaliyin —Nahdlatul Ulama (NU), “taubatan nasuha”.
Namun, di balik ajakan yang tulus tersebut, muncul sebuah pertanyaan besar yang menggelayuti benak kita, apakah pemerintah kini sudahbenar-benar sadar akan kegagalan mereka dalam menangani bencana ini? Apakah seruan tobat nasuha ini akan benar-benar menjadi momentum untuk perubahan yang signifikan, ataukah hanya sekadar retorika kosong yang menghiasi panggung politik?
Bencana di Sumatera bukanlah sebuah kejutan yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Alam memang memiliki peran dalam setiap kejadian alam, namun ulah manusia yang serakah dan tidak bertanggung jawab telah memperparah keadaan.
Deforestasi yang merajalela, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, dan eksploitasi sumber daya alam yang membabi buta telah meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana banjir dan longsor.
Ironisnya, pemerintah, sebagai pihak yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab, terkesan gagal dalam mengantisipasi dan menangani bencana ini. Respons yang lambat, koordinasi yang kurang efektif, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana menjadi catatan kelam dalam penanganan bencana di Sumatera.
Ajakan Cak Imin untuk melakukan tobat nasuha dan evaluasi total kebijakan adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, kita tidak bisa hanya terpaku pada kata-kata manis dan janji-janji indah. Kita perlu melihat tindakan nyata dan perubahan yang signifikan dari pemerintah.
Apakah mereka akan berani mengakui kegagalannya dan mengambil tanggung jawab penuh, ataukah hanya akan terus mencari kambing hitam dan memberikan alasan yang tidak masuk akal?
Sejarah telah mencatat banyak contoh kegagalan pemerintah dalam menangani bencana. Janji-janji untuk melakukan perubahan dan perbaikan selalu diucapkan dengan lantang, namun pada akhirnya, semuanya hanya menjadi angin lalu. Kita tidak bisa hanya mengandalkan tobat nasuha dan doa-doa yang dipanjatkan, kita perlu tindakan nyata dan perubahan yang mendasar.
Pemerintah harus berani mengakui gagal dalam mengambil tanggung jawab penuh atas apa yang terjadi.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, semestinya harus melakukan evaluasi total terhadap seluruh kebijakan yang berkaitan dengan alam dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah terulangnya bencana serupa di masa depan.
Pemerintan harus memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan rakyat di atas segala-galanya, bukan hanya kepentingan ekonomi dan politik segelintir orang.
Ajakan Cak Imin untuk melakukan tobat nasuha mungkin terdengar terlambat, namun masih ada secercah harapan. Kita masih memiliki waktu untuk melihat apakah pemerintah benar-benar serius dalam melakukan perubahan yang signifikan.
Namun, kita tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu. Kita harus terus mengawasi dan mengkritisi setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan hanya menjadi penonton yang pasif.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan retorika kosong dan doa-doa yang dipanjatkan. Kita perlu aksi nyata dan perubahan yang mendasar untuk mencegah bencana serupa terjadi di masa depan. Hanya dengan begitu, kita bisa mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan lebih aman, makmur dan sejahtera yang berkeadilan bagi seluruh rakyat (Burhanuddin)



