BANJIR dan longsor yang mengguncang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 bukanlah musibah alam yang terjadi secara kebetulan.
Ini adalah konsekuensi tak terhindarkan dari hubungan yang terganggu antara manusia dan alam, sekaligus cerminan dari cara pandang serta pendekatan penyelesaian masalah yang keliru – yang telah mengakar dalam tatanan kehidupan berbangsa dan berujung pada hilangnya ribuan nyawa, ribuan orang terluka, serta puluhan ribu jiwa terpaksa mengungsi.
Data korban yang dilaporkan sungguh menyayat hati dan menjadi bukti nyata kerusakan yang tak terhitung nilainya. Per tanggal 27 Desember 2025, total korban meninggal dunia mencapai 1.138 orang: 503 di Aceh, dengan 4.300 orang luka-luka dan 31 orang hilang.
Di Sumatera Utara, 371 orang tewas, 2.300 orang mengalami luka, dan 70 orang masih dalam proses pencarian.
Sementara di Sumatera Barat, 261 nyawa berpulang, 382 orang terluka, serta 72 orang belum ditemukan.
Angka-angka tersebut bukan sekadar catatan statistik yang bisa dibiarkan begitu saja atau dijadikan hiasan dalam laporan. Setiap angka mewakili kehidupan yang terpuruk, keluarga yang terpecah belah, dan komunitas yang harus meretas jalan untuk bangkit dari puing kehancuran.
Korban bukanlah tolok ukur kinerja pejabat dalam laporan tahunan. Di balik setiap angka ada anak-anak yang kehilangan sang pelindung, istri yang ditinggal suami, orang tua yang meratapi anaknya – bahkan generasi muda yang harapannya untuk membangun masa depan terpotong begitu saja.
Penyebab seluruh peristiwa ini bermula ketika pembukaan lahan yang berlebihan, penebangan hutan liar yang tak terkendali, dan pembangunan gegabah di kawasan rawan bencana menjadi faktor utama yang memperparah kerentanan wilayah kita.
Meskipun diakui bahwa faktor dinamika alam juga menjadi salah satu pemicu awal kejadian, namun jika dilihat dari tingkat kerusakan yang luar biasa, hal tersebut menunjukkan kegagalan sistem dalam mengelola lingkungan hidup. Kita tidak bisa lagi bersandar pada alasan “takdir” sebagai pelarian dari tanggung jawab bersama.
Sangat menyentuh ketika membaca puisi yang ditulis Rektor Universitas Islam Indonesia Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., yang bait-baitnya menusuk hati. Puisi tersebut dengan gamblang mengungkapkan kengerian dari apa yang disebut “kecerdasan” di negeri ini.
“Jika pintar menuntut kita percaya bahwa kayu gelondongan memang tumbang sendiri… bahwa sawit juga pohon karena punya daun hijau, cukup untuk mengganti nama hutan, meski akarnya tak lagi sudi menahan air,” demikian salah satu baitnya yang terus mengganjal benak kita hingga kini.
Puisi tersebut juga mengkritik sikap yang kerap curiga terhadap suara kritis, memandang bantuan asing sebagai ancaman terselubung, bahkan hingga mensyaratkan pajak untuk bantuan yang datang dari tangan saudara diaspora.
Ketika menteri tampil memanggul karung bantuan hanya sebagai aksi simbolis, sementara empati terhadap penderitaan orang lain dianggap hal yang tidak wajib; ketika ribuan korban bahkan dianggap terlalu sedikit untuk disebut sebagai bencana nasional – kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa sebenarnya makna kecerdasan yang sesungguhnya?
Dukungan material dan doa bagi korban memang penting, namun hal tersebut tidaklah cukup untuk mengubah keadaan. Momen sulit ini harus dijadikan titik balik yang menentukan arah perubahan. Kebijakan yang telah disusun harus ditegakkan dengan konsisten dan bertanggung jawab, bukan hanya menjadi janji kosong yang lenyap seiring berjalannya waktu.
Perlu terbangun sinergi yang kuat antara pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku usaha dalam tiga pilar utama perbaikan:
Pertama, pengurangan risiko bencana dengan memperkuat sistem peringatan dini yang handal serta menerapkan tata ruang wilayah yang tepat sasaran.
Kedua, pembangunan infrastruktur ramah bencana yang benar-benar mampu menahan dampak musibah, bukan sekadar untuk memenuhi target pembangunan semata.
Terakhir, restorasi lingkungan yang dilakukan secara serius dan berkelanjutan, bukan hanya menjadi kampanye publik yang lenyap begitu sorotan media berlalu.
Di negeri yang seringkali menghargai “kelihaian yang melawan akal sehat” sebagai bentuk kecerdasan, pilihan untuk “tetap bodoh” dalam puisi Fathul Wahid bukanlah tanda kelalaian atau ketidakmampuan.
Ini adalah bentuk perlawanan yang penuh makna terhadap kebohongan yang telah mengakar dalam sistem dan budaya kita, agar kita tidak pernah lupa untuk melihat kenyataan yang sebenarnya dan bertindak sesuai dengan hati nurani yang masih hidup dalam diri kita semua.
Berikut adalah puisi yang ditulis oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid dengan judul “Tetaplah Bodoh”, yang dibacakan pada 22 November 2025 di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM):
Tetaplah Bodoh
Tetaplah bodoh, kawan,
jika pintar menuntut kita percaya
bahwa kayu gelondongan memang tumbang sendiri,
kebetulan saja sebagian diberi nomor
agar tak tersesat pulang.
Tetaplah bodoh, kawan,
jika pintar mengharuskan kita sepakat
bahwa sawit juga pohon karena punya daun hijau,
cukup untuk mengganti nama hutan,
meski akarnya tak lagi sudi menahan air.
Tetaplah bodoh, kawan,
jika pintar berarti curiga pada suara kritis,
dianggap menggiring opini,
menganggap pemerintah tidak bekerja sempurna,
dan empati harus menunggu siaran media.
Tetaplah bodoh, kawan,
jika pintar mengajarkan bahwa bantuan asing
yang tak seberapa itu berbahaya,
bisa meruntuhkan martabat bangsa
yang konon berdiri tegak—tanpa bantuan siapa-siapa.
Tetaplah bodoh, kawan,
jika pintar mensyaratkan
bantuan bencana dari diaspora
perlu dipajaki dulu,
agar duka ikut menyumbang penerimaan negara.
Tetaplah bodoh, kawan,
jika pintar berarti setuju
cukup menteri memanggul karung bantuan,
sementara empati dianggap bonus,
tak wajib, apalagi tulus.
Tetaplah bodoh, kawan,
jika pintar menuntut kita percaya
bahwa ribuan korban hanyalah angka,
terlalu kecil untuk disebut bencana nasional,
hanya cukup jadi catatan kaki laporan tahunan.
Tetaplah bodoh, kawan,
jika pintar menganggap alih hutan ke sawit
adalah keniscayaan,
dan banjir selalu bisa kita titipkan
pada takdir—
agar tangan manusia tetap tampak tak ternoda.
Mari, tetap bodoh, kawan.
Sebab di negeri ini,
terlalu sering, yang disebut pintar
justru adalah kelihaihan
melawan akal sehat,
menyembunyikan fakta,
dan memperdayai sesama.
Kawan, mari, tetap bodoh.





