Nikah Siri Menurut Aisyiyah Bertentangan dengan Syariat dan Ancam Hak Keluarga

by
Ilustrasi

YOGYAKARTA — Penanews.co.id  – Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Siti Aisyah, mengatakan bahwa pernikahan siri bertentangan dengan syariat yang berdampak pada keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Hal itu disampaikan Siti Aisyah dalam acara Gerakan Subuh Mengaji  Minggu ke tiga yang lalu, dikutip darinlaman resmi Muhammadiyah, Senin (29/12/2025)

Ia menegaskan bahwa pencatatan perkawinan bukan sekadar urusan administratif negara, melainkan kewajiban syariat demi menjaga kemaslahatan keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Meskipun perkawinan katanya merupakan urusan privat antara laki-laki dan perempuan, dampaknya tidak pernah berhenti pada ranah personal. Perkawinan selalu bersinggungan dengan lingkungan sosial, status hukum, serta perlindungan hak-hak suami, istri, dan anak di hadapan negara.

“Ketika perkawinan dirahasiakan dan tidak dicatatkan, masyarakat tidak mengetahui status seseorang, apakah ia sudah terikat sebagai suami istri atau tidak. Ini berdampak langsung pada kedudukan hukum, terutama bagi perempuan dan anak,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa kewajiban pencatatan perkawinan di Indonesia telah diatur sejak lama melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, hingga kini praktik nikah siri masih marak terjadi dan bahkan berkembang menjadi fenomena sosial yang mengkhawatirkan.

Siti Aisyah mengungkapkan temuannya di lapangan, termasuk adanya biro jasa nikah siri yang secara terbuka menawarkan layanan melalui media sosial. Ironisnya, biaya jasa tersebut justru lebih mahal dibandingkan pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA). Padahal, pencatatan perkawinan resmi tidak memerlukan perantara dan telah difasilitasi oleh negara.

Menurutnya, ada beragam faktor yang mendorong orang melakukan nikah siri, mulai dari alasan ekonomi, ketakutan kehilangan tunjangan, hingga dalih persiapan walimatul urusy. Ia mencontohkan kasus seorang aparatur sipil negara perempuan yang memilih nikah siri karena khawatir kehilangan hak pensiun, meskipun secara substansi telah memiliki pasangan sah.

“Alasan-alasan seperti ini menunjukkan bahwa nikah siri seringkali bukan soal agama, tetapi soal menghindari konsekuensi hukum dan tanggung jawab,” Ketua Organisasi Perempuan Otonom Muhammadiyah itu.

Lebih lanjut, Siti Aisyah menyoroti data yang menunjukkan penurunan angka pencatatan perkawinan di kalangan generasi muda. Ia mengutip pernyataan Kementerian Agama bahwa pada 2025 diperkirakan terdapat jutaan perkawinan yang tidak tercatat secara resmi. Fenomena ini, menurutnya, menjadi ancaman serius bagi ketertiban hukum dan perlindungan keluarga.

Dalam perspektif keislaman, ia menjelaskan bahwa Muhammadiyah telah menetapkan kewajiban pencatatan perkawinan melalui berbagai keputusan, mulai dari fatwa Majelis Tarjih hingga keputusan Munas Tarjih ke-28 tahun 2014. Keputusan tersebut menegaskan bahwa bagi warga Muhammadiyah, mencatatkan perkawinan adalah kewajiban syariat yang mengikat seluruh anggota.

Ia memaparkan lima landasan utama kewajiban pencatatan perkawinan, yakni perintah mengumumkan pernikahan (i‘lanun nikah), qiyas dengan perintah pencatatan utang piutang dalam Al-Qur’an, kesaksian formal oleh negara, pertimbangan kemaslahatan umum (maslahah mursalah), serta ijma dan ketaatan kepada ulil amri.

“Jika utang piutang saja diperintahkan untuk dicatat, maka akad nikah yang merupakan mitsaqan ghalizhan, perjanjian yang sangat kuat dan sakral, tentu lebih layak untuk dicatat,” jelasnya.

Siti Aisyah menekankan bahwa pencatatan perkawinan memberikan perlindungan hukum yang nyata, terutama terkait hak nafkah, warisan, status perdata anak, hingga penyelesaian sengketa rumah tangga. Tanpa pencatatan, perempuan dan anak berada pada posisi paling rentan, termasuk kehilangan hak waris dan jaminan hukum ketika terjadi perceraian atau kematian pasangan.

Ia juga menyinggung fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan bahwa nikah siri memang sah secara rukun dan syarat, tetapi haram apabila menimbulkan mudarat. Menurutnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa nikah siri hampir selalu membawa dampak negatif, sehingga pencatatan perkawinan menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar.

Menutup pemaparannya, Siti Aisyah mengajak seluruh kader ‘Aisyiyah untuk aktif melakukan edukasi dan pendampingan di masyarakat, terutama bagi kelompok rentan dan wilayah marginal. Ia mencontohkan keberhasilan pendampingan isbat nikah bagi pasangan lanjut usia yang puluhan tahun hidup tanpa akta nikah.

“Pencatatan perkawinan adalah bagian dari perlindungan keluarga dan wujud tanggung jawab keagamaan. Ini bukan semata urusan negara, tetapi amanah syariat yang harus kita jaga bersama,” pungkasnya.[]

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *