BANDA ACEH – penanews.co.id Mantan Gubernur Aceh Zaini Abdullah alias Abu Doto menginginkan Direktur Utama (Dirut) Bank Aceh harus orang Aceh dari kalangan internal Bank Aceh, yang sudah tahu pahitnya perjuangan membangun Bank Aceh menjadi bank syariah.
Hal itu disampaikan Abu Doto dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Forum Pimred di Banda Aceh, Rabu, 1 Maret 2022. Selain Abu Doto, FGD juga menghadirkan Prof Mukhlis Yunus dan anggota Komisi III DPRA Azhar Abdurrahman.
Menurut Abu Doto, ketika dirinya menjabat sebagai Gubernur Aceh pada 2012 – 2017 lalu, ia telah berusaha mengubah Bank Aceh dari bank konvensional menjadi bank syariah, karena Aceh merupakan daerah syariah, sehingga beberada bak daerah lainnya juga mengikuti jejak Bank Aceh untuk konversi ke syariah.
“Bagi saya yang memimpin Bank Aceh itu harus putra Aceh, agar tahu kepahitan yang kita rasakan untuk menuju bergerak ke depan. Tapi yang kita lihat daerah lain maju, daerah kita tidak. Ini tidak ada sangkut paut apa yang terjadi Indonesia. Melalui diskusi ini, diharapkan pimpinan Bank Aceh adalah orang Aceh. Kita berjuang walaupun tidak selalu menang, tapi kita doakan ini menang,” tegasnya.
Sementara itu Prof Mukhlis Yunus menilai Bank Aceh sebagai lembaga bisnis berhasil tidaknya ditentukan oleh siapa yang memimpinnya, kalau salah pemimpin tentu akan salah juga para pengikutnya. Sebagian terbesar keberhasilan sebuah perbankan atau pegiat bisnis ditentukan oleh siapa pemimpinnya.
Ia berharap Forum Pimred harus bisa memberikan masukan karena kemungkinan ada penggergajian informasi terkait seleksi Dirut Bank Aceh. Mungkin adanya sumbatan-sumbatan informasi yang tidak semua diketuhai dalam proses yang tidak tersampaikan kepada masyarakat.
“Kita setuju bahwa orang Aceh yang akan memimpin Bank Aceh, justru akan salah apabila Bank Aceh jika dipimpin orang luar, tentu mempunyai syarat. Syarat pertama, dunia perbankan ini bukan dunia persilatan, artinya diperlukan syarat-syarat minimum kompetensi tentang perbankan. Tidak hanya pada nyali bisnis, juga prospek ke depan apa yang sudah dipimpin. Olah karenanya teman-teman di sini mendiskusi bagaimana menjamin eksistensi Bank Aceh ke depan, baik dalam sosialitas maupun visi dan misinya,” jelasnya.
Mukhlis Yunus juga berharap agar Dirut Bank Aceh ke depan bisa menjadi agent of development, tidak cukup jika hanya mengandalkan pada kapasitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) konsumennya yang sekarang masih dominan, tapi juga harus lebih mengambil peran dalam penyaluran KUR dan memfasilitasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Aceh utuk bangkit melalui penyaluran pembiayaan.
Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi III DPRA, Azhar Abdurrahman yang juga anggota Pansus Badan Usaha Milik Aceh menjelaskan, dalam beberapa kali pertemuan pinyaknya selaku Pansus DPRA dengan dengan Komisaris Utama Bank Aceh, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), serta dengan Plt Dirut Bank Aceh, ditemukan beberapa masalah, seperti adanya intervensi dari Komisaris Utama terkait seleksi Dirut Bank Aceh.
“Komentar OJK waktu pertemuan itu, komisaris utama tidak ada wewenang untuk mengintervensi para operator teknis di tempat-tempat kerja, cukup di direksi. Maka terlihat makin lebar urusan campur aduk, semestinya bangun komunikasi beberapa sumber dana yang lebih besar untuk pembiayaan, UMKM, KUR. Maka psikologis Bank Aceh sudah masuk ke ranah local party,” ungkapnya.