Ahli Sebut Banjir di Aceh Berpotensi Terulang Lagi karena Kelemahan Tata Kelola

by
Polisi Tetapkan Satu Korporasi jadi Tersangka Kasus Kayu Gelondongan Banjir Sumatra | Foto Istimewa

BANDA ACEH – Penanews.co.id – Peristiwa banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dinilai mencerminkan persoalan dalam sistem perizinan yang belum sepenuhnya memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) di wilayah sub daerah aliran sungai (DAS).

Penurunan kapasitas D3TLH tersebut terjadi seiring maraknya pemberian izin usaha yang sebagian besar berbasis pada eksploitasi sumber daya alam.

Mengutip pernyataan Guru Besar Teknik Sipil dan Lingkungan IPB University, Chusnul Arif, di kompas.com edisi Selasa (30/12/2025, ia menilai situasi ini menunjukkan arah kebijakan pemerintah yang masih kurang menempatkan aspek keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas utama.

Kondisi tersebut diperparah oleh lemahnya sistem tatakelola, termasuk belum maksimalnya pelaksanaan audit ekologis dan verifikasi AMDAL di lapangan, serta tidak adanya upaya restorasi ekosistem yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Pembangunan ekonomi bercorak kapitalistik yang berbanding terbalik dengan keberlanjutan lingkungan, memang akar masalah dari bencana banjir bandang di Sumatera.

Di sisi lain, terjadi privatisasi ruang publik yang menghilangkan akses publik terhadap tanah dan air. Penguasaan tanah dan air untuk usaha ekstraktif tersebut memperparah kerentanan masyarakat terhadap bencana.

“Menyalahkan alam, siklon tropis Senyar yang (memicu) hujan yang ekstrem, padahal ada kelemahan dari tata kelola yang sifatnya sistemik,” ujar Chusnul Arif, dalam webinar, Sabtu (27/12/2025). Menurut Arif, penanganan pasca bencana di Indonesia masih terkesan ‘pemadam kebakaran’, yang baru bergerak saat banjir datang ketimbang melakukan berbagai pencegahan. Imbasnya, ketika terjadi banjir, maka tersingkap kegagalan struktural dalam memitigasi bencana.

“Bagaimana pembangunan seringkali mengabaikan topografi, mengabaikan ekosistem lokal, saat sudah terjadi (bencana), baru sekarang ramai-ramai. (Berita-berita) Menhut (Menteri Kehutanan) akan mencabut izin usaha sudah mulai keluar lagi. Ini benar-benar atau cuma lipsync,” tutur Arif.

Ia menilai, respon pemerintah terhadap bencana banjir di Sumatera hanya sebatas aksi-reaksi belaka, tanpa adanya upaya memperbaiki kelemahan tata kelola yang sistemik.

Selain itu, penyaluran bantuan masih sering terhambat birokrasi yang terkadang kaku. Koordinasi kementerian/lembaga dalam penanganan pasca bencana masih kurang baik, termasuk antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang tampak seolah saling “pamer”.

Gelondongan kayu

Senada, Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU), Muhammad Basyuni mengatakan, kasus korban banjir bandang di Aceh Tamiang yang meninggal dunia di dalam mobil menunjukkan tidak adanya edukasi tanggap bencana.

“Mereka berpikir lari ke atas, ternyata mereka malah meninggalnya di dalam mobil, karena tidak mengerti bahwa di hulunya juga rusak, apalagi di hilirnya,” ucapnya.

Tumpukan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menjadi bukti nyata degradasi fungsi hutan.

Tumpukan kayu gelondongan kemungkinan dapat terseret banjir akibat erosi yang parah, aktivitas pembalakan liar berskala besar, penebangan kayu secara legal, atau praktik pencucian kayu (wood laundering).

Menurut Basyuni, tumpukan kayu gelondongan sebenarnya indikator awal kerusakan ekosistem yang sistemik dan tak terbantahkan.

Bahkan, banyak ditemukan kayu gelondongan dari pohon endemik di Tapanuli, yang menunjukkan adanya rantai pasok ilegal secara terorganisir.

“Harusnya sungai itu membawa air yang jernih ya, ternyata membawa material-material yang tidak pernah dibayangkan oleh masyarakat ya, seperti pasir, batu, kayu-kayu gelondongan itu banyak yang rapi-rapi,” ujar Basyuni dilansir kompas.com, Selasa (30/12/2025).

Kata dia, hutan di dalam DAS berfungsi untuk mengatur tata air. Kanopi pepohonan di hutan bisa menahan hingga 35 persen air hujan agar tidak langsung jatuh jatuh ke tanah. Dari segi porositas, akar pohon dapat menyerap puluhan hingga ribuan liter air.

Kalau hutan di dalam DAS sudah melampaui titik kritis dan belum ada upaya pemulihan, maka ke depannya curah hujan ekstrem akibat siklon tropis akan kembali menyebabkan banjir bandang.

“Kalau hulunya (hutan dalam DAS) tidak diperbaiki, nanti jika terjadi siklon baru, ada cuaca ekstrem, maka akan terjadi yang seperti ini (banjir bandang), bahkan (bisa) lebih parah lagi, ketika hulunya tidka dipulihkan,” tutur Basyuni.

Solusi

Sebagai solusi penanganan pasca bencana di Sumatera, Arif menawarkan paradigma tata kelola berkelanjutan. Untuk menstabilkan fungsi ekologis DAS, pemerintah perlu melakukan beberapa intervensi kebijakan.

Pertama, moratorum aktivitas ekstratif di hulu DAS Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.

Kedua, penetapan DAS sebagai unit pengelolaan utama dalam semua rencana pembangunan daerah.

Ketiga, restorasi secara masif melalui gerakan reboisasi yang terstruktur, terutama di daerah hulu.

Selain itu, pemerintah harus melakukan penegakan hukum dan akuntabilitas untuk memastikan kejelasan tanggung jawab dan pemulihan.

Menurutnya, pemerintah dapat melakukan investigasi spasial berbasis citra tutupan ahan untuk menentukan tanggung jawab legal perusahaan yang terlibat deforestasi.

Lalu, pemerintah perlu memastikan skema ganti rugi dan pemulihan ekologis yang wajib ditanggung oleh perushaaan terkait.

Terakhir, pemerintah harus menginternalisasi etika pembangunan berbasis environmental, social, and governance (ESG) yang berkelanjutan. Yaitu, dengan mengevaluasi kebijakan yang mendorong eksploitasi berlebihan melalui menggeser orientasi pembangunan kapitalistik, menjadi model berkeadilan ekologis.[]

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *