Antara Lelucon dan Pelecehan: Batas yang Sering Dilanggar

by
Ns. Akrima Sabila, S.Kep (Anggota Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) | Foto dok pribadi

PERNAHKAH kamu mendengar candaan seperti “Eh, keramas ya? Habis ngapain sih semalam?” Atau “jangan tegang banget dong, nanti dada nya makin kelihatan”.
Bagaimana reaksimu jika mendengar candaan seperti itu? Malu? Risih? Atau malah ikut tertawa?

Kita semua percaya bahwa candaan dapat mencairkan suasana. Ketika sedang berada di dalam sebuah forum diskusi, terkadang perlu adanya candaan-candaan kecil agar suasana tidak terlalu tegang dan membosankan. Namun apa jadinya jika candaan tersebut malah menyasar pada anggota tubuh seseorang? Bukankah hal ini terdengar berlebihan? Atau mengarah pada pelecehan?

Fenomena ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, bahkan berkali-kali di berbagai forum diskusi. Di seminar, pelatihan, tongkrongan, maupun dalam ranah pekerjaan. Ironisnya, semua orang tertawa. Pelecehan seksual yang berbalut candaan sering kali dianggap sebagai hal yang normal, biasanya pelaku akan berdalih dengan kalimat ‘kan cuma bercanda’, dan korban yang merasa tidak nyaman akan dianggap terlalu ‘baperan’. Ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual masih dianggap sebagai hal yang bisa “dimaklumi” selama dibungkus dengan selera humor. Padahal, candaan seperti itu bukanlah bentuk keakraban atau lucu-lucuan, melainkan bentuk pelecehan verbal yang merendahkan martabat seseorang.

Selain itu, pelecehan seksual secara verbal sering kali pula dilontarkan oleh kaum laki-laki dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai objek. Payudara dan alat kelamin menjadi sasaran paling empuk untuk membuat suasana menjadi riuh, contoh : “saya senang rekam jantung kalau pasiennya perempuan”. Dengan candaan yang seperti ini biasanya peserta di ruangan tersebut akan tertawa terbahak-bahak, namun banyak yang tidak menyadari bahwa di balik tawa tersebut tersimpan rasa malu, tidak nyaman bahkan trauma bagi sebagian orang.
Tetapi, siapa yang akan peduli? “Kan cuma bercanda”

Budaya “patriarki”, seksisme yang dinormalisasi dan pandangan bahwa korban “terlalu sensitif” sering kali membuat pelaku bebas dari tanggung jawab. Korban tidak memiliki tempat untuk mengadu, tidak diberi ruang untuk menyampaikan rasa ketidaknyamanannya. Baik laki-laki maupun perempuan akan menganggap korban terlalu berlebihan. Sehingga mata rantai dari pelecehan seksual secara verbal tidak akan pernah terputus sampai kapan pun. Padahal, pelecehan verbal adalah bentuk kekerasan yang nyata. Ia menanamkan rasa takut, terhina, malu, cemas, dan trauma yang bisa bertahan lama.

Data spesifik mengenai kasus pelecehan seksual secara verbal seringkali tidak terpusat dalam satu laporan tunggal, namun beberapa temuan menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi. Sebuah survei yang dilakukan oleh koalisi yang terdiri dari Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFDG), dan Change.org Indonesia mengadakan Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilaksanakan secara nasional pada akhir tahun 2018 dengan menjaring sebanyak 62.000 responden menunjukkan hasil bahwa mayoritas korban mengaku mengalami pelecehan secara verbal seperti komentar atas tubuh (60%), fisik seperti disentuh (24%) dan visual seperti main mata (15%). Angka ini mungkin hanya sebagian kecil dari seluruh data yang pernah dicatat. Tetapi, apakah hal ini pantas disepelekan?
Tentu jawabannya tidak.

Kita perlu menyadari bahwa segala hal yang besar selalu berasal dari sesuatu yang kecil. Pelecehan verbal merupakan pintu masuk menuju pelecehan yang lebih parah. Jika dibiarkan pelaku akan memiliki “izin” untuk melangkah lebih jauh, dari kata-kata ke tindakan fisik.

Selain itu, pelecehan verbal yang selalu dibiarkan akan meningkatkan stigma bahwa perempuan atau kelompok tertentu bisa dijadikan sebagai bahan ejekan, sehingga hal ini menjadi penghambat terciptanya lingkungan yang menghormati kesetaraan dan menghargai martabat setiap individu.

Lantas, apa yang harus dilakukan?

Langkah pertama untuk mengatasi hal ini adalah dengan membangun kesadaran masyarakat bahwa ucapan melecehkan dan menggoda secara vulgar bukanlah bentuk humor. Edukasi di lingkungan pendidikan, pekerjaan maupun di media sosial penting dilakukan agar setiap orang memahami batasan antara bercanda dan melecehkan sehingga mereka tidak menjadi pelaku atau seorang yang akan menyalahkan korban.

Selain itu, penting juga bagi korban untuk bersikap berani dan tegas. Menyampaikan rasa ketidaknyaman karena ucapan seseorang adalah bentuk dari melindungi diri sendiri dan juga orang lain. Perlindungan psikologis juga merupakan faktor utama yang harus diberikan agar korban merasa aman, memiliki ruang untuk berlindung serta pulih dari keadaan.

Pada akhirnya, upaya untuk menghentikan pelecehan verbal harus dimulai dari perubahan budaya. Tidak menjadikan tubuh orang lain sebagai bahan hiburan adalah bentuk dari menghormati orang lain. Bersikap berani dan tegas adalah cara untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Diam berarti membiarkan, bergerak artinya menghentikan. Membangun lingkungan yang aman dapat dimulai dari hal paling kecil yaitu memiliki prinsip bahwa budaya bercanda yang sehat tidak seharusnya menjadikan tubuh seseorang sebagai hiburan.

Penulis: Ns. Akrima Sabila, S.Kep (Anggota Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A)

%%%%%%%%

Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi diluar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *