SIMEULU – Dua dekade lalu, puluhan ribu warga Pulau Simeulue selamat dari bencana gempa magnitudo 9,1 yang disusul tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Dari 78.000 penduduk Pulau Simeulue yang tinggal di pesisir, hanya 7 orang yang menjadi korban tsunami Aceh.
Laman Kompas.com menyebutkan, ribuan warga tersebut selamat berkat smong. sebuah syair yang mengungkap ciri-ciri bencana tsunami.
Mereka dipandu dengan syair tersebut untuk melakukan mitigasi bencana dengan mencari tempat yang lebih tinggi.
Cerita ini kemudian mengejutkan dunia. Pasalnya, warga Pulau Simeulue dapat melakukan mitigasi tanpa simulasi dengan berpegang pada kearifan lokal dan budaya tutur yang mereka yakini.
Lantas, apa itu smong?
Dilansir dari Dishub Aceh, smong adalah hempasan gelombang air laut. Kata “smong” berasal dari bahasa Devayan, bahasa asli Simeulue.
Secara historis, smong merupakan kearifan lokal yang dirangkai dari pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu saat menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami.
Smong berawal dari pengalaman pahit yang dialami warga Pulau Simeulue pada 1907. Saat itu, ombak besar menghantam pesisir Pulau Simeulue, terutama di Kecamatan Teupah Barat. Tsunami yang diawali dengan gempa magnitudo 7,6 tersebut menjadi mimpi buruk karena memakan banyak korban dan menimbulkan kehancuran parah. Ribuan nyawa melayang, bangunan rumah dan surau hancur, serta harta benda warga ikut lenyap tersapu ombak.
Jejak bencana hebat itu masih terlihat pada sebuah kuburan yang terletak di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat. Sejak saat itu, kata “smong” menjadi akrab di kalangan masyarakat Pulau Simeulue.
Kisah smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi. Nafi adalah budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisikan nasihat dan petuah kehidupan. Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda sebagai pelajaran.
Di berbagai kesempatan, cerita itu juga dibagikan kepada generasi muda, termasuk anak-anak, seperti pada saat memanen cengkih. Begitu juga di surau-surau setelah mengaji dan shalat Maghrib. Di rumah-rumah, para orangtua mendongengkan kisah smong sebagai pengantar tidur anak mereka.
Semua orang tua melakukan hal yang sama hingga akhirnya smong menjadi kearifan lokal masyarakat Simeulue yang diwariskan melalui banyak cara. Para tetua meyakini, suatu saat smong akan datang lagi, walaupun mereka sangat berharap agar kejadian itu tidak pernah terulang lagi.
Syair lagu tentang smong Kisah smong tertuang dalam syair lagu yang bercerita tentang smong karya Muhammad Riswan alias Moris, salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue.
Berikut bunyi dua bait syair tersebut: Enggel mon sao surito (Dengarlah sebuah cerita) Inang maso semonan (Pada zaman dahulu) Manoknop sao fano (Tenggelam satu desa) Uwi lah da sesewan (Begitulah mereka ceritakan) Unen ne alek linon (Diawali oleh gempa) Fesang bakat ne mali (Disusul ombak yang besar sekali) Manoknop sao hampong (Tenggelam seluruh negeri) Tibo-tibo mawi (Tiba-tiba saja).
Smong selamatkan ribuan nyawa Simeulue dari tsunami Aceh Berdasarkan dua bait syair di atas, pertanda bencana tsunami digambarkan dengan jelas, seperti diawali gempa dan disusul ombak yang besar sebelum akhirnya menenggelamkan sebuah desa.
Pertanda-pertanda tersebut juga terjadi pada tsunami Aceh 2004. Saai itu, gempa dengan magnitudo 9,1 hingga 9,3 terjadi di kawasan Aceh bagian barat pada 26 Desember 2004 pukul 07.50 WIB.
Diberitakan Kompas.com (3/8/2023), gempa tersebut disusul dengan air laut yang tiba-tiba menjadi surut. Garis pantai mundur hingga ratusan meter jauhnya. Tak seberapa lama, gelombang besar setinggi kurang lebih 30 meter menyapu pantai barat Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Diperkirakan, gelombang tsunami tersebut menyapu bersih daratan dengan kecepatan hampir 360 km per jam. Akibatnya, sekitar 500.000 orang kehilangan tempat tinggal dan lebih dari 230.000 jiwa melayang, berdasarkan data PBB pada 4 Januari 2005. Pada saat kejadian itu, warga Pulau Simeulue mungkin menjadi masyarakat yang paling tahu apa yang akan terjadi.
Dari kisah smong, mereka belajar dan mengerti apa yang harus dilakukan sebagai langkah mitigasi saat gempa terjadi, yakni dengan berlari ke tempat yang lebih tinggi.
Dikutip dari Kompas.com (2022), ada pula beberapa warga yang mengenali pertanda tsunami dari perilaku kerbaunya yang tiba-tiba berlari tidak tentu arah dan burung-burung yang tiba-tiba beterbangan. Para warga Simeulue kemudian melakukan mitigasi mandiri tanpa bantuan alat atau teknologi. Mereka hanya mengandalkan pertanda alam dan syair smong.