SETIAP menjelang akhir tahun, Aceh kembali berhadapan dengan kenyataan pahit tentang lambannya serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Tahun 2025 pun tidak berbeda. Data Transparansi Tender Indonesia (TTI) per 18 November 2025 menunjukkan bahwa dari total APBA-P sebesar Rp11,117 triliun, hanya 68 persen yang telah terserap.
Artinya, sekitar Rp3,5 triliun masih mengendap dalam kas pemerintah, padahal waktu efektif menuju tutup tahun tinggal 50 hari kerja. Jika kecenderungan ini berlanjut, Aceh hampir pasti mencatat SILPA yang bahkan lebih besar dari tahun sebelumnya, sebuah ironi di tengah upaya pemerintah daerah menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
SILPA yang terus berulang, dari tahun ke tahun, menyiratkan lebih dari sekadar persoalan teknis perencanaan atau proses pengadaan yang terlambat.
Dalam studi tata kelola publik, SILPA adalah cermin paling jujur dari ketidakmampuan pemerintah mendistribusikan pembangunan. Namun di Aceh, fenomena ini telah berkembang menjadi budaya politik anggaran tersendiri. Sebagaimana sering terdengar di ruang publik, istilah SILPA bahkan diolah menjadi “Sisa Lebih untuk Pejabat Aceh”, kritik yang tentu terasa pedas, tetapi sekaligus menggambarkan kekecewaan publik terhadap pola pengelolaan anggaran yang seolah enggan beranjak dari praktik lama.
Di balik lambannya serapan, sering muncul cerita tentang tarik-menarik dalam penetapan fee, komitmen proyek, dan negosiasi rente lain yang berputar dalam lingkaran tertutup antara pemberi pekerjaan dan penerima proyek. Ketika tidak ada titik temu, eksekusi proyek pun terhambat. Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan anggaran Aceh tidak lagi berdiri pada masalah kapasitas birokrasi, melainkan terperangkap dalam ekonomi politik rente yang menggerogoti efektivitas belanja publik. Dalam literatur governance, fenomena semacam ini digolongkan sebagai bentuk state capture di tingkat operasional, yakni sebuah kondisi ketika prosedur dan instrumen negara digunakan bukan untuk pelayanan publik, tetapi untuk kepentingan privat dari segelintir aktor yang memiliki akses strategis ke proses pengambilan keputusan.
Masalahnya tidak berhenti di situ. Pengawasan yang seharusnya menjadi benteng terakhir tata kelola justru sering mandek. Dalam ekosistem korupsi yang bersifat sistemik, relasi antara birokrasi dan penegak hukum dapat menjadi kabur. Ketika aparat pengawasan internal maupun eksternal terindikasi memiliki kepentingan serupa dalam proyek-proyek APBA, maka ruang untuk menelusuri akar masalah menjadi semakin sempit. Lambatnya serapan yang pada dasarnya adalah kegagalan administratif berubah menjadi kegagalan struktural, yang tak hanya merugikan fiskal daerah, tetapi juga merusak integritas kelembagaan pemerintah. Di titik ini, SILPA tidak lagi dapat dipandang sebagai sesuatu yang lumrah, melainkan indikator melemahnya governansi publik yang seharusnya menjadi dasar bagi pembangunan Aceh.
Padahal, setiap rupiah yang tidak dibelanjakan memiliki konsekuensi sosial yang nyata. Aceh masih berada pada posisi yang tidak menguntungkan dalam statistik kemiskinan nasional, dengan angka yang berkutat di peringkat atas daerah termiskin di Sumatera. Ketika anggaran pembangunan infrastruktur tidak terserap, biaya transportasi dan logistik tetap tinggi, membuat produk lokal sulit bersaing. Ketika program pengentasan kemiskinan tertunda, kelompok rentan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan. Ketika anggaran pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial tidak tersalurkan tepat waktu, kualitas sumber daya manusia stagnan dan ketimpangan memburuk. Dalam perspektif ekonomi pembangunan, kegagalan belanja publik seperti ini menimbulkan opportunity loss yang nilainya jauh lebih besar daripada angka SILPA itu sendiri. Ia menghilangkan potensi pertumbuhan dan menghambat kemampuan masyarakat keluar dari perangkap kemiskinan.
Di tengah situasi tersebut, publik Aceh terus menyaksikan drama berulang, dimana serapan anggaran yang seret, proyek yang tidak selesai, disusul alasan teknis yang itu-itu saja. Namun di balik panggung, tarik-menarik rente tetap berlangsung. Hubungan antara birokrasi, kontraktor, dan aparat pengawas sering kali membentuk mata rantai yang sulit diputus. Tidak heran jika upaya pembenahan selalu berhenti pada retorika, sementara pola penganggaran dan eksekusi belanja daerah tak pernah mengalami perbaikan mendasar.
Karena itu, lambannya serapan APBA 2025 mestinya menjadi titik tolak untuk meninjau ulang seluruh tata kelola anggaran Aceh. Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa budaya SILPA bukan hanya persoalan kapasitas, tetapi persoalan keberanian memutus ekonomi politik rente yang telah mengakar lama. Pengawasan yang independen harus dipulihkan, transparansi pengadaan harus diperkuat, dan reformasi birokrasi harus menyentuh aktor-aktor yang selama ini menikmati keuntungan dari kelambanan anggaran. Tanpa itu semua, Aceh akan terus berada dalam lingkaran setan, dimana anggaran besar yang tidak pernah terasa manfaatnya bagi rakyat, kemiskinan yang tidak kunjung turun, dan akumulasi kekecewaan yang semakin menebal.
Pada akhirnya, APBA tidak lain adalah instrumen kepercayaan publik. Setiap SILPA adalah pesan kegagalan yang diterima masyarakat: bahwa hak mereka tertunda, pembangunan terhambat, dan harapan seolah tak pernah sampai pada kenyataan. Tahun 2025 semestinya menjadi momentum untuk memastikan bahwa drama tahunan ini berakhir. Tetapi jika pola lama terus dipertahankan, maka skenarionya tidak akan berubah: siapa pun pemainnya, rakyat Aceh tetap menjadi korban terakhir.[]
Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
%%%%%%%%%%%
Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis





