APRI Aceh Selatan : Kepemimpinan Mualem-Dekfad, Harapan Baru Wujudkan Legalisasi Pertambangan Rakyat

by

TAPAKTUAN – Setelah hampir 20 tahun MoU Helsinki ditandatangani dan sekitar 19 tahun UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh disahkan, namun provinsi Aceh masih saja berada dalam belenggu kemiskinan.

Ketua DPC Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal Qutni, dalam realisenya, Rabu (12/02) bertepatan dengan pelantikan Gubernur/Wagub Aceh 2025-2030, mengemukakan, dana otonomi khusus Aceh bisa saja akan berakhir pada tahun 2027 mendatang, tapi persoalan pertumbuhan perekonomian rakyat masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang begitu berat bagi Pemerintahan Aceh di masa mendatang.

“Salah satu persoalan selama ini yaitu belum maksimalnya pemerintah dalam memfasilitasi masyarakat untuk secara maksimal untuk terlibat langsung dalam mengelola sumber daya alam yang ada di Aceh termasuk di sektor pertambangan. Sehingga masyarakat Aceh selama ini hanya dibiarkan menjadi penonton di negerinya sendiri, walaupun daerah berjuluk negeri serambi Mekah itu begitu kaya akan berbagai potensi.”jelasnya.

Menurut Delky, banyak provinsi di Indonesia yang belum memiliki Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) padahal didalam UU Minerba secara jelas disebutkan bahwa Pemerintah harus memprioritaskan WPR untuk lokasi yang ada Pertambangan rakyat.

“Kita bisa lihat sendiri apa yang terjadi selama ini, tambang rakyat kerap diidentikkan dengan tambang ilegal walaupun tak jarang pula corporate/perusahaan yang justru melakukan pertambangan secara ilegal atau tak sesuai ketentuan. Sementara, di lain sisi pemerintah khususnya di Aceh terlihat belum memfasilitasi hadirnya WPR, sehingga masyarakat bisa mendapatkan izin pertambangan rakyat (IPR) dan beraktifitas secara legal,” ujarnya.

Selama ini menurut Delky, di Aceh ada pula isu yang menyebutkan bahwa penambang rakyat merusak lingkungan bahkan diidentikkan dengan merkuri. Padahal, jika pemerintah pro aktif maka penambangan rakyat bisa saja ‘zero merkuri’ baik itu dalam pengambilan emas dalam bentuk aluvial maupun emas primer.

Baca Juga:  Gelar Doktor UAH: Inspirasi Generasi Muda Indonesia untuk Raih Prestasi

“Dalam hal ini, seharusnya pemerintah harus memaksimalkan pembinaan melalui stakeholder terkait teknologi pengelolaan tambang emas yang ekonomis dan ramah lingkungan tanpa menggunakan merkuri,” jelasnya.

Tak hanya itu, pertimbangan lainnya yang selama ini muncul yakni pertambangan rakyat yang diidentikkan tidak bayar pajak/retribusi sehingga dikhawatirkan tidak menambah Pendapatan Asli Daerah(PAD), padahal realitanya selama ini yang kerap terjadi rakyat yang melakukan penambangan juga melakukan pembayaran upeti atau bisa dikatakan pungli kepada oknum-oknum tertentu.

“Sebenarnya sungguh miris jika masih ada presepsi yang menganggap bahwa tambang rakyat ibarat penjahat, sementara faktanya selama ini yang dilakukan pemerintah terutama di Aceh hanyalah sebatas penertiban tanpa pembinaan,” katanya.

Ketika pemerintah tidak memfalitasi izin pertambangan rakyat, menurut Ketua APRI Aceh Selatan ini, yang terjadi selama ini masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan tidak dapat bekerja dengan tenang, tidak adanya penanggung jawab jika terjadi kerusakan lingkungan, kerapnya terjadi pungli berupa upeti pengamanan yang menyebabkan hilangnya penerimaan daerah/negara dan hasil pertambangan tersebut kerap masuk pasar gelap.

“Sementara dampak positif dari legalisasi pertambangan rakyat yakni akan mampu membuka lapangan pekerjaan hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pengendalian lingkungan dan areal bekas tambang lebih mudah dilakukan, peningkatan asli daerah (PAD) serta penggunaan areal/lahan lebih efisien dimana jika 1 IPR 5-10 hektar maka 15 IPR maksimal hanya sekitar 100-150 Ha,” terangnya.

Delky juga menyebutkan, legalisasi pertambangan rakyat di Aceh akan jadi sumber pendapatan baru bagi daerah di tengah semakin menipisnya dari daerah ke pusat, terutama di Aceh.

“Jika dalam satu blok WPR dapat menyumbang Rp 500 juta – Rp 2 Milyar Rupiah pendapatan asli daerah pertahun, maka 20 blok WPR akan mampu menyumbangkan 10-40 milyar pertahun ke penerimaan daerah,” sebutnya.

Baca Juga:  Perseteruan Diinternal PA, Dinamika Politik di Aceh Semakin Dinamis

Mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) ini berharap, kepemimpinan Mualem-Dekfad menjadi harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk dapat meningkatkan kesejahteraan ekonominya dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk turut mengelola hasil alam di bumi Aceh tercinta melalui legalisasi pertambangan rakyat, sehingga tak ada lagi istilah ‘buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki’.

“Kita meyakini bahwa kecintaan presiden RI Prabowo Subianto terhadap rakyat dan negerinya, ditambah dengan itikad baik serta komitmen Mualem-Dekfad dalam memajukan Aceh dan mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah pondasi kuat dalam merealisasikan legalisasi pertambangan rakyat di bumi Aceh tercinta. Sehingga nantinya rakyat juga dapat lebih pro aktif dalam mengelola sumber daya alam yang ramah lingkungan serta berkontribusi untuk meningkatkan penerimaan daerah demi memaksimalkan capaian pembangunan,”pungkasnya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *