Banda Aceh: Antrean BBM, Listrik Padam, Harga Sembako Mahal dan Bencana Tata Kelola

by
Dr. Safwan Nurdin, SE, M.Si, Pengamat Ekonomi Publik dan Wakil Ketua Pengurus Forum Pengurangan Resiko Bencana Aceh

DALAM beberapa pekan terakhir, Banda Aceh berada dalam situasi yang janggal dan memprihatinkan. Ketika sejumlah kabupaten di Aceh berjibaku melawan banjir dan longsor yang menyiksa – bencana alam yang mengganggu kehidupan dan perekonomian – ibu kota provinsi yang relatif aman dari dampak geologis maupun hidrologis justru terjerembap dalam krisis layanan publik yang semakin parah. Antrean BBM mengular berjam-jam di setiap SPBU, listrik padam tanpa pemberitahuan berkali-kali sehari, LPG menjadi langka seperti permata, transportasi publik tersendat, dan harga kebutuhan pokok meningkat tajam di semua pasar.

Ironisnya, semua ini terjadi bukan karena kekerasan alam yang tak terduga, melainkan karena apa yang para ahli sebut sebagai bencana tata kelola. Pakar kebencanaan Anthony Oliver-Smith (2016) pernah menegaskan bahwa “bencana tidak hanya disebabkan oleh alam, tetapi oleh struktur sosial dan kegagalan institusi” – dan kenyataan di Banda Aceh saat ini adalah bukti nyata dari pernyataan itu.

Dalam logika manajemen pemerintahan yang sehat, daerah yang tidak terdampak bencana langsung seperti banjir dan longsor yang parah seharusnya menjadi pusat penyangga bagi daerah-daerah yang sedang kesulitan. Ia harus memastikan distribusi logistik tetap stabil, menjaga pelayanan dasar berjalan lancar, dan menopang kebutuhan sandang, pangan, dan obat-obatan bagi wilayah yang terkena dampak.

Hal ini sesuai dengan teori disaster governance yang dikemukakan Tierney (2014), yang menyatakan bahwa daerah yang aman harus berfungsi sebagai titik tumpu untuk meminimalkan dampak bencana di wilayah lain. Namun, Banda Aceh sebagai pusat pemerintah Provinsi justru “tenggelam” oleh bencana tata kelolanya sendiri – atau yang para ahli kebencanaan sebut sebagai constructed disaster: bencana yang diciptakan oleh kekurangan kemampuan dan tanggung jawab institusi.

Gambaran krisis yang terjadi di Banda Aceh adalah benar-benar mencengangkan. Di berbagai SPBU yang tersebar di kota, antrean kendaraan untuk membeli BBM memanjang hingga ratusan meter. Warga, baik pengemudi motor maupun mobil, menghabiskan waktu 2 hingga 4 jam hanya untuk memperoleh beberapa liter solar atau pertalite – kuantitas yang bahkan tidak cukup untuk melakukan perjalanan sehari-hari.

Pada saat yang sama, listrik padam datang tanpa peringatan, mengganggu segala kegiatan: pekerjaan rumah tangga yang terhenti karena tidak ada daya untuk memasak atau mencuci, anak-anak yang sulit belajar karena gelap, pekerjaan digital yang terganggu sehingga banyak pekerja kehilangan produktivitas, dan operasional usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terhenti total. LPG, baik jenis 3 kg maupun 12 kg, juga ikut menghilang dari pasaran – dan ketika ada yang tersedia, harganya melambung tinggi.

Harga sembako seperti beras, minyak goreng, telur, dan daging juga meningkat tajam di semua pasar, membuat beban ekonomi rumah tangga semakin berat.

Dengan kata lain, seluruh hak dasar warga kota – akses air bersih, penerangan, mobilitas, rasa aman, dan stabilitas harga – ikut terampas tanpa pamit.

Pertanyaannya sederhana tetapi menohok: di manakah pemimpin kota ini? Banda Aceh tampak berjalan seperti kota tanpa nakhoda – terombang-ambing dalam gelap kegelapan, tanpa arah, tanpa penjelasan, dan tanpa tindakan yang tegas.

Ketidaknyaman yang dialami warga Banda Aceh menunjukan bahwa sedang terjadi bencana tata kelola yang parah di Pemerintah Kota Banda Aceh – lembaga yang semestinya hadir untuk menjamin layanan publik minimal. Ketika listrik padam dan BBM langka, semua externalities negatif (dampak buruk yang tidak terhitung) membesar dengan cepat: UMKM kehilangan omzet karena tidak bisa beroperasi, rumah tangga menanggung biaya tambahan untuk menyewa genset atau membeli LPG yang mahal, rasa aman hilang saat malam gelap sehingga kejahatan cenderung meningkat, anak-anak kehilangan hak belajar karena tidak ada penerangan, dan perekonomian kota melambat signifikan. Semua ini menunjukan bahwa pemerintah kota tidak berfungsi sebagai manajer yang bertanggung jawab, melainkan hanya sebagai pengamat yang pasif. Menurut ekonom publik Joseph Stiglitz, kondisi seperti ini adalah contoh dari “government failure that distorts welfare and social efficiency” – kegagalan pemerintah yang menyebabkan terganggunya kesejahteraan masyarakat dan menurunnya efisiensi sosial.

Kota Banda Aceh seharusnya menjadi etalase kesiapsiagaan bencana bagi seluruh provinsi. Ia harus menjadi pusat dukungan yang kuat untuk daerah lain yang mengalami bencana alam, memberikan logistik, tenaga, dan keahlian. Namun, sebaliknya, Banda Aceh sendiri mengalami dampak bencana yang beban beratnya dipikul oleh warganya. Pengendara menghabiskan waktu produktif yang seharusnya digunakan untuk bekerja atau belajar hanya untuk mengantre BBM. Transportasi publik dan logistik terganggu, membuat barang-barang penting sulit sampai ke tujuan.

Kondisi ini tidak hanya menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga menciptakan kesan kuat bahwa Banda Aceh saat ini kekurangan pemimpin yang kompeten dalam menghadapi situasi krisis.

Padahal, sejatinya kapasitas dan kompetensi pemimpin itu diuji bukan pada hari-hari biasa, melainkan pada saat bencana melanda.

Antrean BBM, pemadaman listrik yang terus-menerus, kelangkaan gas LPG, dan peningkatan harga kebutuhan pokok yang drastis adalah indikator jelas bahwa tata kelola pemerintahan Kota Banda Aceh sangat lemah di tengah situasi yang membutuhkan tindakan cepat.

Pemerintah seharusnya melakukan langkah-langkah strategis yang mampu menenangkan masyarakat: menetapkan jadwal pemulihan pemadaman listrik yang jelas, memastikan ketersedian Gas LPG dan distribusi yang adil kepada masyarakat, menjamin ketersedian sembako, dan melakukan pengendalian harga kebutuhan pokok di pasar-pasar Banda Aceh. Langkah-langkah sederhana ini adalah standar minimal yang harus dipenuhi oleh setiap pemerintah.

Tetapi justru standar minimal itulah yang tidak terlihat hari-hari ini. Di sinilah relevansi pandangan Amartya Sen, yang menyatakan bahwa krisis bukan hanya soal ketiadaan pasokan, tetapi ketiadaan kapasitas negara dalam mengatur distribusi dan berkomunikasi dengan publik.

Kelangkaan barang-barang penting di Banda Aceh sering kali bukan karena barang itu tidak ada, melainkan karena pemerintah yang tidak hadir dan tidak bertindak.

Semestinya kota ini menjadi simbol kepiawaian dalam memberikan layanan public dalam situasi bencana. Banda Aceh telah mendapatkan pelajaran berharga menyangkut kebencanaan dari Tsunami Aceh puluhan tahun yang silam – bencana yang menghancurkan sebagian besar kota tetapi membuat warga dan pemerintah belajar tentang ketangguhan dan kesiapsiagaan.

Kini, kondisinya memprihatinkan: gelap saat malam tiba, macet karena antrean BBM yang panjang, sunyi dari penjelasan resmi pemerintah, dan penuh keluhan warga yang merasa ditinggalkan dan tidak dihargai.

Krisis ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa Banda Aceh membutuhkan pemimpin yang hadir – bukan sekadar menjabat di kursi.

Pemimpin yang mampu mengelola krisis dengan cerdas, bukan hanya menyalahkan keadaan luar. Pemimpin yang bekerja keras untuk memecahkan masalah, bukan hanya membiarkan kota berjalan dengan autopilot. Para pakar kebencanaan selalu menegaskan bahwa kepemimpinan diuji pada saat krisis, dan Ronald Heifetz menyebut krisis sebagai adaptif challenge – tantangan yang menguji kapasitas inovasi, ketegasan, dan kemampuan merespon cepat.

Untuk meredam dampak situasi bencana, pemerintah seharusnya melakukan langkah-langkah minimal seperti: pengambilan keputusan cepat dan berbasis data, komunikasi harian yang transparan dengan masyarakat, koordinasi intensif dengan Pertamina, PLN, dan distributor logistik, pengendalian harga pasar yang tegas, manajemen lalu lintas untuk mencegah antrean mengular, dan pemulihan layanan yang jelas dan terukur. Ketiadaan langkah-langkah minimal ini memperlihatkan bahwa Pemerintah Kota Banda Aceh bukan kekurangan solusi, tetapi kekurangan kepemimpinan yang kompeten dan inovatif.

Kota Banda Aceh pernah menjadi simbol ketangguhan pasca-tsunami. Dunia belajar dari Banda Aceh tentang bagaimana komunitas bisa bangkit dari kehancuran yang total dan membangun kembali kehidupannya dengan semangat yang kuat. Tetapi kini, Banda Aceh justru seperti kota yang hilang arah – bergerak tanpa tujuan, tanpa penjelasan, tanpa rasa kehadiran negara yang melindungi dan melayani.

Antrian BBM, krisis listrik dan LPG, serta mahalnya harga sembako ini adalah alarm yang tidak bisa diabaikan lagi. Banda Aceh butuh pemimpin yang hadir, yang bekerja, yang memahami bahwa dalam tata kelola publik, kehadiran adalah kebijakan yang paling dasar yang mampu mengatasi persoalan yang dihadapi warga.

Karena kota tanpa bencana alam tetapi penuh antrean, gelap, kelangkaan, dan harga mahal bukanlah kota yang kekurangan anggaran atau kekurangan pasokan. Itu adalah kota yang menderita karena kepemimpinan lemah dalam tata kelola – dan bencana tata kelola inilah yang sesungguhnya harus dipulihkan terlebih dahulu dalam pelayanan publik untuk mengurangi risiko akibat bencana apa pun di masa depan.

Penulis Dr. Safwan Nurdin, SE, M.Si, (Pengamat Ekonomi Publik dan Wakil Ketua Pengurus Forum Pengurangan Resiko Bencana Aceh)

%%%%%%%%%%%

Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *