BANDA ACEH – Delegasi Bangsa Moro dari Filipina mengunjungi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh untuk mempelajari pengembangan pariwisata religi di daerah tersebut. Kedatangan mereka dipicu oleh keinginan untuk mencontoh keberhasilan Aceh dalam mengembangkan sektor pariwisata.
Kunjungan ini diterima langsung oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal, beserta sejumlah pejabat terkait, di ruang rapat Disbudpar Aceh pada Kamis, 5 November 2024.
Dalam pertemuan tersebut, Almuniza menyampaikan bahwa kunjungan wisatawan ke Aceh mengalami peningkatan pesat berkat berbagai event yang digelar di daerah ini.
Selain itu, kedua belah pihak saling memperkenalkan potensi pariwisata masing-masing. Almuniza juga menceritakan sejarah Aceh, termasuk masa konflik panjang yang dialami wilayah ini, yang berakhir dengan perjanjian damai yang diteken di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Pasca-konflik, Aceh dipimpin oleh gubernur yang berasal dari calon independen maupun partai politik lokal, dan memiliki sejumlah kekhususan, salah satunya diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh dan qanun, tambah Almuniza
Selain diperbolehkan membentuk partai politik lokal yang tidak terdapat di daerah lain di Indonesia, Aceh juga diizinkan menerapkan aturan syariat Islam. “Berbicara tentang pariwisata dan kebudayaan salah satu yang menjadikan Aceh tertarik di mata wisatawan pertama adalah sejarah, budaya dan alamnya,” kata Almuniza.
Menurutnya, jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke Aceh tahun ini sudah mencapai 9 juta orang karena banyaknya even nasional yang digelar. Kunjungan turis memberi dampak ekonomi terutama bagi mereka yang berada di lokasi wisata.
Almuniza menyebutkan, bahwa turis Eropa yang melancong ke sini pasti akan mengikuti budaya Aceh. Kebanyakan mereka berasal dari Malaysia yang berziarah ke makam-makam ulama.
Dia melanjutkan, bahwa Aceh punya adat namanya pemulia jame. Karena itu, cara menikmati keindahan alam berbeda dengan daerah lainnya. “Di sini sangat nyaman dan aman. Karena itu, siapapun yang datang tidak pernah ada isu wisatawan kehilangan barang bawaan,” ujar Almuniza.
Member Of The Parlieament Filipina, Atty Suharto M. Amblodto, menyebutkan, Aceh dengan Bangsa Moro memiliki banyak kesamaan, baik dari sejarah terkait dengan perdamaian dan lain sebagainya. Di sana ada Moro Islamic Liberation Front (MILF), kelompok militan Islam yang berjuang untuk pembangunan daerah otonomi Islam di Filipina, sama halnya seperti Gerakan Aceh Merdeka.
“Peristiwa tersebut dimulai dengan langkah kecil untuk mendapatkan pemerintah seperti otonomi. Pada tahun 1987 hak-hak Bangsa Moro sudah mulai dimasukkan ke dalam konstitusi Pemerintahan Filipina,” kata Atty Suharto.
Atty menjelaskan, tourism dan perkembangan ekonomi sangat penting. Hal tersebut juga menjadi alasan untuk melakukan kunjungan kerja ke Aceh, terlebih daerah berjulukan ‘Serambi Mekkah’ ini dikenal dengan syariat Islam dan otonomi khususnya.
“Kami ingin belajar di Aceh dan kita percaya bisa mendapatkan informasi terkait penerapan pariwisata religi di Aceh, karena sebanyak 70-80 persen di Moro adalah penduduk Islam karena pada tahun 1939 kedatangan Islam sudah ada di Filipina,” ungkapnya.
Salah satu peserta delegasi Filipina juga mengaku sangat takjub dengan Aceh yang berkembang dengan begitu pesat. Pasalnya 10 tahun yang lalu, ia mengunjung Aceh belum seperti sekarang ini.
“Saya tak menyangka kondisi Aceh saat ini berkembangnya sangat luar biasa dan saya angat cinta dengan kuliner dan budaya Aceh,” ucapnya.[]