KEBIJAKAN terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang memangkas izin impor BBM dari satu tahun menjadi enam bulan dengan evaluasi triwulan, menimbulkan persoalan serius dalam tata kelola energi nasional. Regulasi ini tampak sederhana, tetapi dampaknya justru mengguncang pasar. SPBU swasta asing seperti Shell, BP, dan Vivo kehabisan kuota impor lebih cepat, hingga stok menipis dan sebagian jaringan berhenti beroperasi. Padahal data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi BBM Indonesia pada 2024 mencapai 1,6 juta barel per hari, sementara produksi domestik stagnan di kisaran 600 ribu barel per hari. Defisit sekitar 1 juta barel per hari ini jelas hanya bisa ditutupi impor. Mengurangi akses impor swasta tanpa menambah produksi dalam negeri sama saja menutup jalur alternatif pasokan di tengah krisis kebutuhan.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia kemudian menawarkan solusi agar SPBU swasta membeli base fuel dari Pertamina. Namun laporan lapangan justru menunjukkan masalah baru. Vivo membatalkan pembelian karena kandungan etanol dalam base fuel Pertamina mencapai 3,5 persen, tidak sesuai spesifikasi. BP-AKR menunggu dokumen asal impor yang tak kunjung jelas. Dengan demikian, tawaran “beli dari Pertamina” bukanlah jalan keluar, melainkan paksaan untuk tunduk pada dominasi korporasi negara yang mutu produknya sendiri dipertanyakan. Dalam konteks politik ekonomi, kondisi ini disebut sebagai state capture, dimana kebijakan publik tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan dikuasai oleh kepentingan institusi dominan. Pertamina bukan sekadar operator, melainkan juga regulator de facto yang mengendalikan pasar sekaligus mengabaikan transparansi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengingatkan bahwa potensi korupsi di sektor impor BBM mencapai triliunan rupiah setiap tahun akibat lemahnya tata kelola.
Kisah Petrobras di Brasil menjadi cermin betapa berbahayanya praktik seperti ini. Skandal Lava Jato yang membongkar suap, mark-up proyek, dan kongkalikong elite politik dengan manajemen Petrobras menghancurkan kepercayaan publik, menjatuhkan nilai pasar hingga lebih dari 40 persen, menakut-nakuti investor asing, memicu inflasi, dan bahkan mengguncang stabilitas politik hingga Presiden Dilma Rousseff lengser. Pola yang sama dapat terjadi di Indonesia bila Pertamina terus dibiarkan menguasai tanpa pengawasan ketat. BBM oplosan, etanol tak sesuai, serta monopoli pasokan adalah tanda-tanda awal yang seharusnya jadi alarm keras.
Dampaknya nyata bagi masyarakat. Setiap SPBU rata-rata mempekerjakan 30 sampai 50 orang. Dengan ratusan SPBU asing berhenti beroperasi, ribuan pekerja terancam kehilangan pendapatan. Bagi konsumen, kelangkaan BBM berarti antrean panjang di pompa, biaya transportasi yang meroket, dan inflasi pangan yang tak terhindarkan. Bank Indonesia mencatat inflasi energi menyumbang 13 sampai 15 persen terhadap inflasi umum pada 2024. Gangguan distribusi BBM, sekecil apapun, langsung menekan daya beli rakyat kecil.
Kebijakan ESDM terkait impor BBM lebih tampak sebagai upaya menjaga rente birokrasi dan monopoli korporasi ketimbang melayani kepentingan publik. Presiden Prabowo harus turun tangan, bukan hanya untuk menenangkan pasar, melainkan merombak total tata kelola energi. Transparansi, persaingan sehat, dan pemisahan fungsi bisnis dan pengawasan adalah agenda yang tak bisa ditunda. Belajar dari tragedi Petrobras, kita tahu bahwa membiarkan korupsi institusional dalam BUMN energi hanya akan menyeret ekonomi nasional ke dalam krisis kepercayaan. Bila pemerintah tetap membiarkan Pertamina menguasai tanpa reformasi, maka rakyatlah yang akan menanggung beban, dari harga transportasi hingga biaya hidup sehari-hari. Energi seharusnya menjadi urat nadi pembangunan, bukan sumber rente bagi segelintir elite.[]
Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
=========
Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis





