YOGYAKARTA – Penanews.co.id – Di tengah maraknya unggahan doa di media sosial (Medsos), Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengingatkan agar ibadah tersebut tetap dijaga dari sikap pamer dan kehilangan makna spiritualnya.
Topik adab berdoa di Messos ini di bahas dalam Pengajian Tarjih yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Rabu (8/10) oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid, Ali Yusuf,
Dalam ceramahnya, ia menguraikan pandangan Islam mengenai doa yang diunggah di platform seperti WhatsApp, Facebook, dan Twitter, dengan memisahkan doa dalam dua dimensi: khusus dan umum.
Ali Yusuf memulai dengan menegaskan bahwa doa merupakan ibadah, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi dari Nu’man bin Basyir, “Ad-dua hual-ibadah” (Doa adalah ibadah). Ia menjelaskan bahwa berdoa tidak hanya mendatangkan pahala sebagai ibadah, tetapi juga menjadi sarana permohonan kepada Allah yang berpotensi dikabulkan.
Namun, ia menekankan pentingnya mematuhi adab dan syarat berdoa, seperti beriman kepada Allah, memohon langsung tanpa perantara, memiliki keyakinan akan dikabulkan, disertai usaha nyata, serta memilih waktu-waktu mustajab, seperti pada hari Jumat, saat berpuasa, sepertiga malam terakhir, atau antara azan dan iqamah.
Dalam konteks doa di media sosial, Ali Yusuf membedakan doa dalam dimensi khusus dan umum. Doa dalam dimensi khusus terikat pada aturan syariat, seperti mengawali doa dengan memuji Allah, membaca selawat, mengangkat tangan, dan dilakukan dengan khusyuk serta tadaru (kerendahan hati).
Ia mempertanyakan apakah doa yang diunggah di media sosial memenuhi adab ini, misalnya, apakah doa tersebut dibaca sambil menghadap kiblat atau hanya sekadar tulisan tanpa kekhusyukan. Ia mengingatkan bahwa doa sebagai ibadah harus dijaga dari sikap pamer atau riya, yang dapat mengurangi keikhlasan.
Ali Yusuf juga menyoroti bahwa doa dalam dimensi khusus bersifat rahasia antara hamba dan Allah. Mengunggah doa yang mengandung keluh kesah atau aib pribadi, seperti pengakuan dosa, dianggap tidak tepat.
Ia merujuk pada hadis dari Abu Hurairah, “Tidaklah Allah menutupi aib seseorang di dunia melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat,” dan hadis lain yang menyebutkan bahwa dosa umat akan diampuni kecuali bagi mereka yang menampakkannya secara terang-terangan (mujahirun). Mengunggah doa yang membuka aib dapat menghilangkan keberkahan doa dan menyerupai kesombongan.
Sebaliknya, doa dalam dimensi umum diperbolehkan dengan tujuan positif, seperti pembelajaran, dakwah, dan silaturahim. Ali Yusuf mencontohkan doa-doa yang diunggah untuk mengedukasi masyarakat, seperti doa harian dengan sumber dalil yang jelas, misalnya doa makan, tidur, atau memohon kesehatan. Doa semacam ini dapat menjadi sarana pembelajaran, terutama bagi generasi muda yang aktif di media sosial.
Selain itu, doa untuk tujuan dakwah, seperti memotivasi kebaikan atau mengajak simpati terhadap mereka yang tertimpa musibah, juga dianggap positif. Contohnya, mengunggah doa untuk kesembuhan seseorang atau kelancaran operasi, yang dapat menggugah solidaritas umat.
Doa dalam dimensi silaturahim juga diperbolehkan, seperti mendoakan saudara tanpa sepengetahuannya, yang menurut hadis riwayat Muslim dari Abu Darda, akan diamini malaikat. Ali Yusuf menekankan bahwa doa semacam ini mencerminkan amal saleh dan memperkuat hubungan sosial, selama tidak membuka aib atau bersifat pamer.
Ali Yusuf menutup ceramahnya dengan pesan bahwa berdoa di media sosial tidak sepenuhnya salah, tetapi harus dilakukan dengan bijak. Doa dalam dimensi khusus harus tetap rahasia dan mematuhi adab syariat, sementara doa dalam dimensi umum dapat diunggah dengan niat positif, seperti pembelajaran, dakwah, atau silaturahim.
Ia mengajak jemaah untuk memilah doa yang pantas diunggah agar tidak kehilangan kekhusyukan dan keikhlasan, serta tetap menjaga hubungan pribadi dengan Allah sebagai esensi utama berdoa.[]
Artikel ini sudah tayang di Muhammadiyah.or.id





