BERDOA merupakan inti dari ibadah, ekspresi paling jujur dari ketergantungan manusia kepada Allah SWT. Karena itu, cara berdoa tidak semata-mata diukur dari bentuk lahiriahnya, melainkan dari niat, adab, dan kesungguhan hati yang menyertainya.
Mengutip dari laman resmi Muhammadiyah, dalam konteks inilah muncul pertanyaan: apakah doa boleh dinyanyikan? Jawabannya, boleh, selama tujuan utamanya benar-benar untuk berdoa, bukan sekadar bernyanyi atau menampilkan keindahan suara. Ketika doa dilagukan, yang harus dijaga adalah ruh doa itu sendiri, yakni: penghambaan, ketundukan, dan harapan kepada Allah SWT.
Dalam tradisi Islam, melagukan doa bukanlah hal asing. Al-Qur’an sendiri dibaca dengan tartil dan keindahan suara, bukan untuk hiburan, melainkan agar makna dan kekhusyukan lebih meresap ke dalam jiwa. Pun demikian dengan adzan.
Namun, keindahan suara tidak boleh menggeser orientasi doa. Jika fokus berubah menjadi penampilan vokal atau estetika semata, maka substansi doa dikhawatirkan memudar. Prinsip ini ditegaskan secara sangat kuat oleh Rasulullah SAW dalam hadis yang menjadi kaidah agung dalam agama:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, jika doa ingin dinyanyikan, perlu dikuatkan niatnya dulu. Pun demikian agar niat itu kuat perlu diperhatikan adab-adab dalam berdoa. Adab ini bukan perintah mutlak yang menentukan sah atau tidaknya doa, melainkan anjuran agar doa lebih terarah, lebih khusyuk, dan lebih berkah.
Dalam buku Tuntunan Dzikir dan Doa Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah, dijelaskan bahwa terdapat empat adab utama dalam berdoa yang patut diperhatikan, termasuk ketika doa dilagukan.
Pertama, mengangkat kedua tangan
Mengangkat tangan ketika berdoa merupakan simbol ketundukan dan pengharapan seorang hamba. Rasulullah SAW menjelaskan makna mendalam dari adab ini dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Salman al-Farisi RA:
إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ فَيَرُدَّهُمَا صِفْرًا أَوْ قَالَ: خَائِبَتَيْنِ (رواه ابن ماجه)
“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pemalu lagi Maha Pemurah. Dia merasa malu kepada hamba-Nya yang menengadahkan kedua tangannya kepada-Nya, lalu Dia mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong atau hampa.” (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan bahwa mengangkat tangan bukan sekadar gerakan fisik, melainkan ekspresi harapan dan keyakinan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Memberi.
Kedua, dimulai dengan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW
Doa yang baik diawali dengan pengakuan atas keagungan Allah dan penghormatan kepada Rasul-Nya. Fudhalah bin Ubaid RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِمَحَامِدِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ يَدْعُو بَعْدُ بِمَا شَاءَ (رواه أبو داود)
“Apabila salah seorang di antara kalian berdoa, hendaklah ia memulai dengan memuji Tuhannya yang Maha Agung dan Maha Perkasa, kemudian bershalawat kepada Nabi SAW, lalu setelah itu berdoalah dengan apa yang dikehendakinya.” (HR. Abu Dawud).
Ketiga, berdoa dengan tadharru’
Tadharru’ yakni sikap merendahkan diri, penuh ketundukan, dan jauh dari kesan berlebih-lebihan. Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan:
اُدْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (الأعراف: 55)
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-A’raf [7]: 55).
Ayat ini sangat relevan dengan praktik melagukan doa. Melodi dan irama boleh ada, tetapi tidak boleh melampaui batas sehingga menghilangkan kekhusyukan atau berubah menjadi pertunjukan.
Keempat, menutup doa dengan hamdalah
Mengakhiri doa dengan pujian kepada Allah merupakan bentuk syukur dan pengakuan bahwa segala urusan kembali kepada-Nya. Al-Qur’an menggambarkan adab ini dengan indah:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (يونس: 10)
“Doa mereka di dalamnya ialah: ‘Subhanakallahumma’, dan penghormatan mereka ialah: ‘Salaam’. Dan penutup doa mereka ialah: ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.’” (QS. Yunus [10]: 10)
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa melagukan doa pada dasarnya dibolehkan, selama niatnya benar, adab-adabnya dijaga, dan orientasinya tetap kepada Allah SWT. Keindahan suara hanyalah sarana, bukan tujuan. Jika sarana itu membantu menghadirkan kekhusyukan dan ketundukan, maka ia bernilai ibadah.
Namun jika justru menggeser doa menjadi sekadar nyanyian, maka ruh ibadah itulah yang hilang. Pada akhirnya, doa yang baik dilagukan maupun tidak diterima bukan karena merdunya suara, tetapi karena tulusnya hati yang bersimpuh kepada Tuhan semesta alam.[]





