BANDA ACEH – Penanews.co.id – Terungkapnya kasus pembakaran Dayah Babul Maghfirah Aceh Besar oleh seorang santri, yang dipicu oleh tindakan bullying, telah menarik perhatian Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali atau Abu Sibreh, mengimbau seluruh lembaga pendidikan, khususnya pondok pesantren, untuk membuka ruang curhat bagi para santri. Imbauan ini disampaikan menyusul terungkapnya motif pembakaran pesantren di Aceh Besar, di mana pelaku merupakan seorang santri yang sering menjadi korban bullying.
Abu Sibreh menekankan pentingnya pesantren menyediakan waktu secara berkala bagi santri dan santriwati untuk menyampaikan keluh kesah serta permasalahan yang mereka hadapi.
“Kita berharap agar setiap lembaga pendidikan, terutama pondok pesantren, membuka kesempatan bagi santri (wati) untuk menyampaikan keluh kesah secara periodik. Dengan demikian, setiap permasalahan mereka dapat tertampung dan memberikan kepuasan dalam diri mereka,” ujar Abu Sibreh, Jumat (7/11/2025).
Menurut Abu Sibreh, menampung permasalahan para santri sangatlah penting. Jika tidak tertampung dengan baik, hal ini dapat memicu tindakan yang merugikan orang lain, bahkan diri sendiri.
Lebih lanjut, Abu Sibreh menyoroti bahwa perbedaan latar belakang santri, seperti budaya, etnis, bahasa, dan kondisi ekonomi, dapat menjadi pemicu terjadinya bullying di lingkungan pesantren.
“Akibat belum tertampungnya masalah mereka dengan teman-teman, proses belajar, dan lingkungan belajar, kami khawatir mereka mengambil kesimpulan sendiri yang bisa merugikan orang lain, bahkan menjadi malapetaka bagi mereka sendiri,” jelasnya.
Abu Sibreh mengakui bahwa sistem pengawasan di pesantren selama ini sudah berjalan untuk mengawasi keseharian para santri, termasuk perilaku yang mengarah kepada perundungan.
Namun, ia menekankan perlunya penguatan mental bagi para santri agar siap menghadapi tekanan dalam proses belajar.
“Anak-anak usia santri, jika masuk ke lembaga lain yang memiliki latihan berat, tidak akan ada masalah karena telah dipersiapkan mentalnya dengan matang selama di pesantren,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Joko Heri Purwono, dalam konferensi pers, menyampaikan bahwa penyidik telah memeriksa 10 orang saksi, termasuk tiga orang pengasuh, lima orang santri, seorang penjaga dayah, serta orang tua pelaku pembakaran dayah.
Barang bukti yang diamankan oleh penyidik berupa satu helai jaket warna hitam dan rekaman CCTV.
Kapolresta menjelaskan bahwa kejadian terjadi pada hari Jumat (31/10/2025) sekitar pukul 03.00 WIB. Api pertama kali terlihat oleh seorang santri.
“Saksi melihat api telah menyala dan membakar lantai dua gedung asrama putra yang merupakan bangunan kosong. Kemudian saksi membangunkan semua santri yang berada di lantai satu untuk segera keluar dari dalam asrama karena konstruksi lantai dua terbuat dari kayu dan triplek, sehingga api mudah membesar dan membakar seluruh gedung asrama beserta barang-barang milik para santri, serta api menjalar ke bangunan kantin dan salah satu rumah milik pembina Yayasan,” ujar Kapolresta.
Api berhasil dipadamkan oleh petugas pemadam kebakaran dibantu para santri dan warga setempat. Kerugian diperkirakan mencapai Rp2 miliar.
Berdasarkan olah tempat kejadian perkara, didapatkan beberapa bukti petunjuk seperti rekaman CCTV dan pakaian milik pelaku, yang akhirnya mengarah kepada terduga pelaku.
Dari hasil pemeriksaan, seorang santri di dayah tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Pelaku mengaku sengaja membakar gedung asrama putra Dayah Babul Maghfirah menggunakan korek api untuk membakar kabel di lantai dua gedung asrama putra.
“Pelaku mengaku sering mengalami tindakan bullying oleh beberapa temannya, yang menyebabkan pelaku merasa tertekan secara mental sehingga timbul niat untuk membakar gedung asrama dengan tujuan agar semua barang-barang milik teman-temannya yang selama ini sering melakukan bullying terhadap dirinya habis terbakar,” kata KBP Joko.
Pelaku dijerat dengan Pasal 187 KUHP dengan ancaman kurungan penjara selama 15 tahun. Karena pelaku masih di bawah umur, penanganan perkaranya sesuai dengan ketentuan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan selama proses penyidikan pelaku akan ditahan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Banda Aceh, pungkas Kapolresta Banda Aceh.[]





