Cahaya Kitab Kuning, Lentera Kebangkitan Islam

by

HARI ini, di Pesantren As’adiyah, Wajo, Sulawesi Selatan, terselenggara peristiwa besar yang luar biasa dan menggugah jiwa. Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Internasional 2025, yang secara resmi dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia, KH. Nasaruddin Umar.

MQK Internasional ini menjadi momentum yang bukan hanya berisi perlombaan membaca teks klasik, sekaligus menjadi tanda nyata kebangkitan Islam berbasis ilmu dan tradisi kitab kuning dan kitab putih.

Menag mengajak seluruh komponen pondok pesantren di Indonesia untuk menjadikan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional sebagai “anak tangga pertama” menuju kembali “The Golden Age of Islamic Civilization” (Zaman Keemasan Peradaban Islam). Mengingat kebangkitan kembali peradaban emas ini harus dimulai dari lingkungan pesantren.

Warisan Ilmu, Pilar Peradaban

“Mari kita bangun kembali masa kejayaan keilmuan Islam, seperti pada masa Baitul Hikmah di Baghdad, kebangkitan ini haruslah dimulai dari lingkungan pesantren,” ajak Menag membuka acara MQK Internasional, Kamis (2/10/25).

Zaman keemasan peradaban Islam, seperti yang pernah terjadi di Baghdad pada masa kepemimpinan Harun Al-Rasyid itu bisa tercapai karena adanya integrasi ilmu. Ulama pada masa itu tidak hanya mahir dalam kitab kuning (Ilmu Agama) saja, tetapi juga mahir dalam kitab putih (Ilmu Umum).

“Pondok pesantren tidak bisa hanya menguasai Kitab Kuning (Kitab Turats), tetapi harus menguasai Kitab Putih, katakanlah yang berbahasa Inggris, yang menyangkut masalah sosiologi, kitab-kitab politik, dan kitab-kitab sains”, tegasnya.

Kitab kuning adalah istilah khas pesantren di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, kitab kuning didefinisikan sebagai kitab keislaman berbahasa Arab atau bahasa lain yang menjadi rujukan dalam tradisi keilmuan Islam di pesantren.

Eksistensi kitab kuning sebagai sistem pengetahuan sudah ada sejak abad ke-1 hingga ke-2 Hijriyah dan terus berkembang hingga saat ini. Tradisi literasi keislaman ini tetap bertahan karena memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas dan mendalam.

Kitab kuning sangat erat kaitannya dengan pendidikan pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mensyaratkan adanya sumber dan rujukan otoritatif seperti Al-Qur’an dan Hadis. Kedua sumber utama itu dielaborasi secara lebih dalam oleh para ulama, menghasilkan karya-karya ijtihad yang disebut sebagai kitab kuning.

Dengan demikian, kitab kuning bukan sekadar teks klasik, melainkan warisan khazanah intelektual yang terus menghidupi tradisi keilmuan pesantren dan menjadi pondasi kebangkitan peradaban Islam masa kini dan mendatang. (www.kemenag.go.id)

Kitab kuning, dalam lembaran-lembarannya yang terkadang dianggap kuno, sejatinya menyimpan harta karun keilmuan Islam yang telah membentuk peradaban selama berabad-abad. Karena dari teks-teks itu, lahir ulama besar, pembaru, pemikir, dan penuntun umat. Mereka membaca bukan hanya dengan mata, melainkan dengan hati, pikiran, dan pengabdian.

Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) nasional dan internasional menjadi ikhtiar bersama untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam yang berakar kuat di pesantren. Dalam lomba ini, para santri membaca dan mengulas karya-karya para ulama klasik mulai dari ilmu fikih, tafsir, tauhid, tasawuf, nahwu, Sharaf, mantik. Semuanya itu bukan hanya sebagai teks mati, melainkan sebagai warisan hidup yang harus dipahami, dihidupi, dan dikontekstualisasikan.

Dari Wajo untuk Dunia Islam

Bukan tanpa makna MQK Internasional tahun ini diselenggarakan di Pesantren As’adiyah, salah satu pondok pesantren tertua dan terkemuka di kawasan timur Indonesia. Dari bumi Wajo yang penuh berkah, cahaya ilmu kembali dipancarkan ke seluruh penjuru Nusantara, hingga ke dunia internasional.

Pesantren As’adiyah bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan penjaga khazanah keilmuan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang selama ini menjadi ruh utama keberagamaan umat Islam Indonesia yang bercorak moderasi, keilmuan, dan keseimbangan antara syariat dan akhlak.

Mengingat pentingnya MQK sebagai sarana menjembatani generasi muda dengan khazanah keislaman klasik, ikhtiar membangun jembatan dialog antara warisan ulama terdahulu dengan tantangan zaman modern.

MQK bukan sekadar perlombaan, tapi cermin peradaban, bahwa umat Islam bisa bangkit tidak dengan meninggalkan tradisinya. Justru harus menggali kembali akar-akar keilmuannya. Dari pesantren, dengan kitab kuning di tangan santri, umat Islam menemukan kembali jati diri keilmuannya.

Kebangkitan Islam tidak bisa dibangun di atas kekosongan identitas, tapi harus berpijak pada keilmuan, pada pemahaman yang dalam, pada dialog lintas generasi. Di sinilah peran penting MQK sebagai ajang melatih generasi muda untuk membaca, memahami, dan memaknai warisan keilmuan Islam dalam semangat zaman.

Dari para santri yang hari ini tekun membaca kitab kuning, bisa jadi lahir ulama besar di masa depan. Dari pesantren yang terus mengkaji teks-teks klasik hari ini, boleh jadi muncul pemimpin peradaban Islam esok hari.

Termasuk dari ajang Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Internasional 2025 di As’adiyah ini, kita berharap akan tumbuh gelombang kebangkitan Islam yang berakar pada ilmu, akhlak dan tradisi.

Mari kita jaga dan rawat semangat ini. Sebab, dalam catatan sejarah yang tersimpan dalam kitab kuning, Islam pernah memimpin dunia. Dengan kekuatan dan ridha Allah, tidak ada yang mustahil. Asalkan terus dilatih dan didukung, para pecinta kitab kuning dari pesantren-pesantren Nusantara akan menjadi bagian penting dari kebangkitan Islam yang berwawasan ilmu dan penuh adab.

Penulis Rosihon Anwar (Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Artikel ini telah tayang di laman resmi Kemenag

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *