BANDA ACEH — Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini bertentangan dengan penjelasan sebelumnya yang menyatakan bahwa hanya barang mewah yang akan dikenakan PPN. Kini, barang kebutuhan sehari-hari juga akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi.
Kenaikan tarif PPN tersebut sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelumnya, tarif PPN di Indonesia adalah 11%, namun mulai 1 Januari 2025, tarif tersebut akan meningkat menjadi 12%.
Dengan adanya perubahan ini, akan mempengaruhi perubahan harga yang disebabkan oleh kenaikan tarif pajak tersebut.
Mengacu pada Pasal 4 Ayat 1 UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai, objek yang dikenakan PPN mencakup berbagai barang dan jasa, termasuk yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari sebagai berikut
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha
- Impor BKP
- Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
- Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
- Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
- Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP
- Ekspor JKP oleh PKP
Jenis barang sehari-hari yang dikenakan PPN 12%:
- Barang elektronik: tv, kulkas, smartphone
- Pakaian dan barang-barang fashion: pakaian, tas, sepatu
- Tanah dan bangunan
- Perabotan rumah tangga: kursi, meja, lemari
- Makanan dan minuman yang disajikan hotel, restoran, rumah makan, dan sejenisnya
- Makanan olahan yang diproduksi kemasan: snack dalam kemasan
- Kendaraan bermotor: motor, mobil
- Pulsa telekomunikasi
- Kosmetik dan Sabun
- Perkakas
- Uang, emas batangan, dan surat berharga
- Produk digital: layanan streaming film & musik, jasa online, penggunaan aplikasi, game
Jasa Kena PPN 12%
Adapun contoh jasa yang dikenakan pajak PPN 12% sebagai berikut:
* Jasa layanan jaringan internet: wifi
* Jasa boga atau catering
* Jasa penyediaan tempat parkir
* Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
* Jasa perhotelan
* Jasa pelayanan kesehatan medik
* Jasa tenaga kerja
* Jasa angkutan umum di darat, air, udara dalam dan luar negeri
* Jasa kesenian dan hiburan
* Jasa pendidikan
* Jasa keagamaan
* Jasa asuransi (kecuali jasa penunjang asuransi termasuk agen, penilai kerugian, dan konsultansi asuransi)
* Jasa pelayanan sosial
* Jasa keuangan
* Penyerahan listrik untuk perumahan dengan daya >6.600 watt juga dikenakan pajak PPN 12%
Buku Bebas PPN, Kecuali yang Mengandung Pornografi
Ilustrasi toko buku. (dok. mohamed_hassan/Pixabay/Tri Ayu Lutfiani)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan bahwa semua buku, baik cetak maupun digital, dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, pengecualian berlaku untuk buku yang melanggar hukum, seperti yang mengandung unsur diskriminasi, pornografi, atau bertentangan dengan Pancasila.
“Sesuai dengan PMK Nomor 5/PMK.010/2020, semua buku pelajaran umum, termasuk cetak dan digital, bebas dari PPN,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, dikutip Rabu (27/11/2024).
Dwi menambahkan, jika sebuah buku dianggap melanggar hukum, hal itu harus dibuktikan melalui keputusan pengadilan. “Tanpa putusan pengadilan, semua buku tetap bebas PPN,” tegasnya.
Buku yang Bebas PPN
Dalam Pasal 1 PMK 5/2020, buku didefinisikan sebagai karya tulis atau gambar yang diterbitkan dalam bentuk cetakan berjilid atau publikasi elektronik yang tidak berkala.
Pasal 2 aturan tersebut menjelaskan bahwa jenis buku yang bebas PPN mencakup:
- Buku pelajaran umum,
- Kitab suci, dan
- Buku pelajaran agama.
Buku pelajaran umum didefinisikan sebagai buku yang digunakan dalam pendidikan formal, seperti pendidikan umum, kejuruan, dan agama, sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017.
Buku lain yang mengandung unsur pendidikan juga termasuk dalam kategori ini, selama tidak melanggar nilai-nilai Pancasila atau memuat unsur negatif seperti diskriminasi, pornografi, kekerasan, dan ujaran kebencian.[]