Dari Lumbung Padi Jadi Lahan Properti, Ironi 80 Tahun Indonesia Merdeka

by

DESA Paku Haji di pesisir Tangerang dulu dikenal sebagai lumbung padi bagi Jawa Barat dan Banten. Hamparan sawah hijau yang membentang luas menjadi sumber kehidupan para petani untuk mampu menghidupi keluarga, membiayai sekolah anak-anak, dan melahirkan generasi penerus bangsa. Kini, pemandangan itu berubah.

Para petani yang dulu bersemangat menyongsong hari, kini hanya duduk termangu dengan tatapan kosong. Sawah mereka tergusur, digantikan oleh perumahan mewah, pabrik, dan pusat perbelanjaan yang lahir dari keserakahan penguasa daerah yang tunduk pada kepentingan oligarki demi fee pembangunan.

Setiap tahun, Indonesia kehilangan sekitar 96.512 hektare lahan sawah produktif. Lahan ini bukan hilang untuk pembangunan infrastruktur vital, melainkan untuk proyek properti milik cukong dan oligarki. Padahal, sawah adalah penopang hidup rakyat. Akibatnya, petani terjepit oleh minimnya lahan, mahalnya pupuk, maraknya pupuk palsu, hingga rantai pasok yang dikuasai kartel dan tengkulak. Ironis, Indonesia yang pernah dijuluki “macan agraris Asia Tenggara” kini harus mengimpor 4,52 juta ton beras per tahun dari negara yang dulu belajar bercocok tanam dari kita.

Jika tren ini dibiarkan, diperkirakan pada 2035 lahan pertanian Indonesia hanya tersisa 6,5 juta hektare. Inilah bentuk penjualan kedaulatan pangan: mengganti lahan subur denganb properti yang nilainya hanya sesaat. Pemerintah memang mencoba program perbaikan, seperti food estate di Kalimantan Tengah, namun tanpa perencanaan matang, proyek ini berakhir mengecewakan. Lahan gambut yang dikonversi tanpa studi kelayakan, sistem irigasi amburadul, dan target produksi yang hanya sebatas mimpi membuat hasilnya jauh dari harapan.

Alih-alih belajar dari kegagalan, pemerintah mengulang pola yang sama di Papua dan Sumatera Utara. Di Papua, proyek ini bahkan berpotensi menimbulkan konflik karena menggusur lahan ulayat dan adat yang memiliki ikatan sejarah serta spiritual kuat bagi masyarakat setempat. Persoalan irigasi pun kembali mengancam kegagalan.

Program “Pertanian 4.0” yang digembar-gemborkan, lengkap dengan drone, IoT, dan AI, tampak modern namun terputus dari realitas. Sebagian besar petani berusia di atas 50 tahun dengan pendidikan SD, sehingga sulit beradaptasi dengan teknologi canggih tanpa pendampingan intensif.

Di sisi lain, harga beras yang mahal tidak berbanding lurus dengan pendapatan petani. Dari harga jual Rp 12.000–15.000/kg di konsumen, petani hanya menerima sekitar Rp 5.000/kg gabah. Tengkulak, pabrik, dan distributor mengambil porsi keuntungan terbesar, sementara petani tetap berada di titik terlemah.

Menjelang 80 tahun kemerdekaan, sudah saatnya pembangunan pertanian tidak hanya berorientasi pada swasembada beras, tetapi juga diversifikasi pangan. Padi bukan satu-satunya komoditas yang dapat menopang ketahanan ekonomi nasional. Namun, fakta pahit tetap sama: sejak 1945 hingga hari ini, kehidupan petani Indonesia nyaris tak berubah, tetap miskin, tersisih, dan jauh dari sejahtera.[]

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

============={

Artikel ini bersifat opini, seluruh isi diluar tanggungjawab redaksi,. sepenuhnya jadi tanggungjawab penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *