BANDA ACEH — Dalam debat kedua calon gubernur dan wakil gubernur Aceh, topik hangat yang dibahas adalah kasus korupsi terkait proyek wastafel di Dinas Pendidikan Aceh. Kasus ini kembali mencuat seiring dimulainya persidangan di pengadilan.
Akademisi dari Universitas Abulyatama Aceh, Dr. Usman Lamreung, mengatakan bahwa persidangan ini membuka babak baru dalam pengungkapan korupsi, di mana banyak nama muncul sebagai dalang dan pihak yang terlibat.
Proses persidangan telah mengungkap struktur korupsi yang terencana dan dikelola dengan rapi, sehingga menarik perhatian media.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kepercayaan masyarakat terhadap calon pemimpin yang terlibat dalam kasus ini.
Banyak nama yang muncul dalam proses perencanaan, penganggaran, penunjukan langsung, hingga pelaksanaan yang menyebabkan proyek wastafel ini merugikan negara dan terindikasi korupsi.
Nama-nama yang disebutkan oleh saksi dalam persidangan, yang diduga berkolaborasi dalam kasus ini, seharusnya merasa malu dan bertanggung jawab, meskipun status keterlibatan mereka masih sebatas dugaan.
Bagaimana masyarakat bisa mempercayai calon pemimpin yang sering disebut sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam kasus korupsi? ungkap Usman dengan nada bertanya.
Terlebih lagi, Aceh adalah daerah yang menerapkan syariat Islam, di mana seharusnya calon pemimpin bebas dari segala tuduhan, termasuk dugaan korupsi, tambahnya
Seorang pemimpin yang akan mengemban amanah rakyat harus menunjukkan keteladanan, dan apabila seorang calon pemimpin masih terlibat atau disebut-sebut dalam dugaan korupsi wastafel, hal ini menjadi persoalan, jelasnya.
Ia memaparkan Calon pemimpin yang ingin dipercaya rakyat harus bebas dari jerat atau dugaan korupsi sebagai modal awal untuk membangun keyakinan dan kepercayaan publik.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya masyarakat memilih pemimpin yang tidak terbebani oleh masalah apa pun, termasuk dugaan korupsi, demi kemajuan Aceh sekarang dan di masa depan.[]