Fenomenal!. Jepang Berani Bayar untuk Barang Langka dari Laut Indonesia Rp 16 Juta per Kg

by

JAKARTA — Indonesia terus memainkan peran penting dalam perdagangan global sirip hiu, meskipun industri ini diwarnai kontroversi dan tekanan konservasi yang semakin ketat.

Pada tahun 2024, nilai ekspor sirip hiu Indonesia dengan kode HS 03039200 mencapai US$1,63 juta, dengan Jepang sebagai importir terbesar, menyerap lebih dari separuhnya senilai US$837,61 ribu.

Data menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, Jepang telah mengimpor sirip hiu dari Indonesia senilai lebih dari US$2 juta. Hal ini mencerminkan tingginya permintaan global terhadap produk tersebut, meskipun isu konservasi dan perlindungan hiu semakin gencar disuarakan.


Shark fins are seen during their drying process at Kalibaru district in Jakarta, Indonesia, July 10, 2018. | Foto REUTERS/Beawiharta


Di Jepang, sirip hiu bukan sekadar bahan pangan, melainkan bagian dari tradisi kuliner yang telah berakar selama ratusan tahun. Sup sirip hiu dianggap sebagai simbol kemewahan, kesehatan, dan keberuntungan, sehingga sering disajikan dalam acara-acara penting seperti pernikahan dan perjamuan bisnis.

Selain Jepang, Thailand, Hong Kong, dan Singapura juga menjadi pasar utama bagi sirip hiu Indonesia. Thailand dan Hong Kong memiliki permintaan kuat untuk restoran tradisional dan obat herbal, sementara Singapura berperan sebagai pusat distribusi yang mengalirkan produk tersebut ke berbagai negara Asia, termasuk China.

Sirip hiu asal Indonesia dikenal memiliki kualitas unggul, dengan ukuran lebih besar dan tebal dibandingkan produk dari negara lain. Hal ini membuatnya lebih diminati di pasar internasional.

Meski demikian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memberlakukan regulasi ketat untuk melindungi beberapa spesies hiu. Beberapa spesies, seperti hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis), hiu martil (Sphyrna spp.), dan hiu tikus (Alopias spp.), masuk dalam daftar Appendiks II CITES, yang berarti perdagangannya harus diawasi secara ketat untuk mencegah ancaman terhadap populasi di alam.

Indonesia masih mengizinkan ekspor sirip hiu dari spesies yang tidak termasuk dalam kategori dilindungi. Namun, upaya konservasi dan pengawasan terus ditingkatkan untuk memastikan perdagangan ini tidak mengancam keberlanjutan ekosistem laut.


Industri sirip hiu tetap menjadi sumber pendapatan penting bagi nelayan dan pelaku usaha di Indonesia. Namun, tekanan dari komunitas internasional dan organisasi konservasi terus meningkat, menuntut praktik perdagangan yang lebih bertanggung jawab.Dengan regulasi yang semakin ketat dan kesadaran global akan pentingnya menjaga kelestarian hiu, masa depan industri ini di Indonesia akan sangat bergantung pada keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan upaya konservasi.

Baca Juga:  Terhitug 1 Januari 2025, Pemerintah Jual BBM Campuran Minyak Sawit
A worker holds a shark to collect its fins at Kalibaru district in Jakarta, Indonesia, July 10, 2018. REUTERS/BeawihartaFoto: REUTERS/Beawiharta
A worker holds a shark to collect its fins at Kalibaru district in Jakarta, Indonesia, July 10, 2018. REUTERS/Beawiharta

Harga sirip hiu di pasar internasional bervariasi tergantung kualitas dan ukuran. Di Jepang, harga sirip hiu kering berkualitas tinggi bisa mencapai US$600-US$1.000 per kilogram, sementara di Hong Kong, harga rata-rata berkisar US$400-US$800 per kilogram.
Bila dirupiahkan harga sirip hiu di Jepang mencapai Rp 9.720.00- 16.320.000 per kg.

Meskipun permintaan masih tinggi, ekspor sirip hiu RI berada di bawah pengawasan ketat. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 61 Tahun 2018 dan No. 44 Tahun 2019 membatasi eksploitasi beberapa spesies hiu, terutama yang masuk dalam daftar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Indonesia juga telah berkomitmen untuk mengelola pemanfaatan hiu secara lebih berkelanjutan. Regulasi ini mengatur perlindungan penuh bagi spesies tertentu, pembatasan kuota tangkap, serta penerapan sistem perizinan ekspor yang lebih ketat. Namun, di lapangan, tantangan masih besar, terutama terkait praktik penangkapan yang tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan baik.

Di satu sisi, permintaan sirip hiu tetap kuat, terutama dari Jepang dan negara-negara Asia Tenggara. Namun, di sisi lain, tekanan konservasi semakin membatasi ruang gerak perdagangan ini.

China dan Uni Eropa mulai menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap produk berbasis hiu, yang berpotensi mengurangi pasar ekspor di masa depan. Jika Indonesia ingin mempertahankan perannya dalam perdagangan ini, strategi keberlanjutan dan kepatuhan terhadap regulasi internasional akan menjadi kunci utama.

Untuk saat ini, sirip hiu RI masih “menari di ombak regulasi,” terus mencari celah untuk bertahan di tengah arus yang semakin deras. Tapi pertanyaannya, seberapa lama industri ini bisa bertahan sebelum akhirnya terseret arus regulasi yang lebih ketat

(Sumber CNBC Indonesia )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *