JAKARTA — Kementerian pendidikan dasar menengah (Kemendikdasmen) beberapa waktu lalu mewacanakan bakal mengembalikan penjurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Jurusan (di SMA) akan kita hidupkan lagi. Jadi nanti akan ada jurusan lagi. IPA, IPS, dan Bahasa,” kata Mu’ti Menteri Pendidikan Dasar dan Mengengah (Mendikdasmen) dikutip, Jumat (11/4/2025).

Atas wacana tersebut beberapa guru berharap rencana pengembalian jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA segera dibatalkan oleh pemerintah.
Hal itu dikarenakan saat ini di SMA sudah memiliki beberapa hal yang hampir mirip dengan sistem penjurusan.
Keinginan pembatalan itu disampaikan guru BK dan wakil Kepala Seksi (Wakasek) Kesiswaan SMA Santa Maria 1 Kota Bandung, Cicilia dan guru BK dan Wakasek kurikulum SMA Ignatius Slamet Riyadi Residen, Karawang, Hastari.
Mereka menilai sistem tanpa jurusan sangat menyiapkan murid untuk lanjut ke perguruan tinggi dan dunia profesional kelak.
“Anak-anak yang masuk ke kelas yang mereka minati, mereka memilih karena kesadaran sesuai rencana studi mereka. Meskipun tidak semua anak cemerlang di mapel tersebut tapi punya kemauan untuk belajar,” ujar Hastari.
Menurut Hastari, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyiapkan murid agar dapat memilih mata pelajaran yang tepat. Salah satunya mengajak murid memahami regulasi yang ada.
Hastari menjelaskan, setiap murid di sekolahnya pasti paham soal Peraturan Menteri Nomor 345/M/2022 mengenai Mata Pelajaran Pendukung Program Studi dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi.
Dalam peraturan tersebut, tercantum lengkap mata pelajaran pendukung yang perlu diambil murid sesuai dengan program studi yang ingin diambil di tingkat perguruan tinggi.
“Ketentuan itu hanya untuk yang daftar PTN non-tes. Tapi saya mengajak murid, baik yang mau masuk PTN jalur tes, swasta, atau luar negeri, semua harus paham. Dari situ murid jadi paham kompetensi dasar apa yang perlu mereka miliki. Jadi kami menjamin, nggak ada anak kami yang nggak belajar biologi dan atau kimia lalu mendaftar Fakultas Kedokteran,” beber dia.
Meski demikian, Hastari mengaku sebenarnya cukup kewalahan mengatur jadwal kelas dengan sistem ini. Namun, semua terbayarkan karena murid lebih menikmati proses belajarnya.
Sama dengan Hastari, Cicilia mengatakan, banyak kegiatan pembelajaran yang dikaitkan dengan persiapan anak mengenal minat dan bakatnya.
Menurut Cicilia, proses untuk sampai murid mengenal minat dan bakatnya tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua kali kegiatan melainkan berkelanjutan.
Cicilia mengatakan, butuh komitmen yang kuat dari guru untuk mendampingi murid.
“Memakan waktu, tenaga dan pikiran tapi itu resiko kami. Pendampingan enggak berhenti ketika mereka sudah memilih mata pelajaran tertentu tapi berkelanjutan sampai murid lulus dan kuliah,” jelas Cicilia.
Tak bisa hanya karena alasan akan ada TKA
Sementara itu, Perhimpunan Guru dan Pendidikan (P2G) mereka menilai penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa tidak relevan diadakan jika hanya didasarkan dengan pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA).
Menurut P2G tanpa penjurusan itu siswa masih tetap bisa ikut TKA meski menggunakan sistem peminatan seperti saat ini.
“Kalau sudah ada TKA ya sebenarnya penjurusan udah enggak relevan lagi secara otomatis,” kata Koordinator Nasional (Koornas) P2G Satriwan Salim kepada Kompas.com, Sabtu (12/4/2025).
Satriwan menjelaskan, jika siswa ingin ikut TKA, bisa melakukan peminatan pada kelas 11.
Lalu, saat ingin ikut TKA tinggal memilih mata pelajaran yang sesuai dengan peminatan di perguruan tinggi. Oleh karena itu, Satriwan merasa tidak perlu lagi penjurusan di SMA diadakan.
“Anak kelas 9 misal ambil pilihan mapel dengan formula Kurikulum Merdeka hingga saat ini Biologi, Kimia, Bahasa Inggris, Sosiologi. Dia ingin ambil jurusan Kedokteran. Ya pada saat TKA mapel pilihan yang diteskan Biologi dan Kimia, sudah pasti itu,” terang dia.
Kendati demikian, jika penjurusan kembali diterapkan Satriwan menilai guru tidak akan kesulitan melakukan implementasinya karena sudah punya pengalaman penerapan sebelumnya.
Namun, Satriwan menyayangkan perubahan kebijakan dari awalnya tidak ada penjurusan lalu kembali diadakan kembali menunjukkan pemerintah tidak konsisten. Serta memilih mengganti kebijakan dengan kebijakan lain yang memiliki esensi sama.
“P2G melihat ini adalah bentuk diskontinuitas dalam implementasi kebijakan pendidikan nasional ya. Jadi memang ada kesannya gitu ya pendidikan kita ini kebijakannya itu, maju mundur, maju mundur persoalannya masih hal yang sama. Padahal secara substansi masih sama gitu kan ya atau ganti program padahal secara esensi juga masih sama dengan yang sebelumnya,” tuturnya.
Satriwan menilai, seharusnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah harus membuat kebijakan pendidikan sesuai dengan peta jalan pendidikan Indonesia 2025-2045.
Segera dikaji ulang
Karena banyaknya respons dari masyarakat, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengatakan, Presiden Prabowo Subianto telah memintanya mengkaji ulang rencana pengembalian jurusan IPA, IPS, Bahasa di SMA.
Presiden Prabowo juga memintanya untuk berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno dalam beberapa hari ke depan.
Nantinya hasil koordinasi terkait pengadaan kembali penjurusan di tingkat SMA tersebut akan disampaikan langsung ke Presiden Prabowo Subianto.
“InsyaAllah dalam waktu beberapa hari ke depan kita akan bicara dengan Menko PMK dan hasilnya bagaimana, kami sampaikan kepada Pak Presiden,” jelas Mu’ti.
Sumber Kompas.com
