PENETAPAN hak asuh anak pasca perceraian merupakan salah satu isu paling krusial dalam perkara keluarga. Putusan mengenai siapa yang berhak mengasuh anak tidak hanya menyangkut hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga berdampak langsung pada masa depan anak.
Maka, pengadilan dituntut untuk bersikap cermat, objektif, dan menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama.
Dalam praktik peradilan, anak yang masih di bawah umur pada umumnya ditempatkan di bawah pengasuhan ibu dengan pertimbangan kedekatan emosional dan kebutuhan pengasuhan sehari-hari.
Namun, dinamika kehidupan pasca perceraian dapat berubah, sehingga menimbulkan pertanyaan hukum, apakah hak asuh anak yang telah diberikan kepada ibu dapat dialihkan kepada ayah?
Pengaturan mengenai hak asuh anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Islam.
Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa meskipun perkawinan putus, ayah dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya.
Dalam KHI, anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun pada prinsipnya berada dalam pengasuhan ibu.
Namun ketentuan tersebut, tidak bersifat absolut. Prinsip utama yang digunakan pengadilan adalah kepentingan terbaik bagi anak (*the best interest of the child*), sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 26 dan Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak.
Hak asuh anak yang telah diputus berada pada ibu dapat dialihkan kepada ayah apabila terdapat alasan hukum yang kuat dan terbukti di persidangan.
Beberapa kondisi yang dapat menjadi dasar pengalihan hak asuh antara lain apabila ibu melakukan kekerasan fisik atau psikis terhadap anak, menelantarkan anak, memiliki perilaku yang membahayakan keselamatan atau perkembangan moral anak, atau tidak mampu menjalankan fungsi pengasuhan secara layak.
Selain faktor perilaku, perubahan kondisi objektif setelah putusan perceraian juga dapat menjadi dasar permohonan pengalihan hak asuh. Misalnya, apabila ibu mengalami gangguan kesehatan serius, gangguan kejiwaan, atau kondisi psikologis yang berdampak negatif terhadap pola pengasuhan, maka ayah dapat mengajukan permohonan ke pengadilan.
Secara yuridis, hak asuh anak tidak dapat dipahami sebagai hak kepemilikan atas anak, melainkan sebagai amanah pengasuhan yang dapat dievaluasi kembali oleh negara melalui pengadilan.
Pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan kewajiban orang tua untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Apabila kewajiban tersebut tidak dijalankan dengan baik, negara berwenang melakukan intervensi demi melindungi kepentingan anak.
Lebih lanjut, Pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur bahwa negara, pemerintah, dan lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berada dalam situasi tertentu, termasuk anak yang mengalami perlakuan salah atau penelantaran.
Ketentuan ini, memberikan landasan hukum bagi pengadilan untuk mengalihkan hak asuh apabila pengasuhan oleh ibu terbukti tidak lagi menjamin keselamatan dan kesejahteraan anak.
Dalam perkara hak asuh, hakim memiliki peran strategis sebagai penjaga kepentingan anak. Hakim tidak hanya menilai aspek normatif, tetapi juga mempertimbangkan aspek psikologis dan sosial anak.
Pemeriksaan perkara hak asuh sering kali melibatkan keterangan ahli, seperti psikolog atau pekerja sosial, untuk menilai kondisi emosional dan kebutuhan perkembangan anak.
Hakim juga dapat mempertimbangkan pendapat anak, terutama apabila anak telah cukup usia dan memiliki kematangan psikologis.
Pendekatan ini, sejalan dengan prinsip perlindungan anak yang menempatkan anak sebagai subjek hukum yang suaranya patut didengar, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan terbaiknya.
Dalam praktik peradilan, pengalihan hak asuh tidak dilakukan secara otomatis. Ayah sebagai pemohon wajib membuktikan dalil permohonannya dengan alat bukti yang sah menurut hukum acara, seperti keterangan saksi, bukti surat, serta keterangan ahli.
Yurisprudensi Mahkamah Agung menunjukkan bahwa pertimbangan utama hakim adalah stabilitas emosional anak, lingkungan pengasuhan, serta komitmen orang tua terhadap pemenuhan hak anak.
Kasus-kasus perceraian figur publik yang ramai diberitakan di media, pada prinsipnya tunduk pada kaidah hukum yang sama. Popularitas para pihak tidak menjadi dasar pertimbangan hakim. Pengadilan tetap menilai fakta persidangan secara objektif dan berorientasi pada perlindungan hak anak.[]
Sumber marinews.mahkamahagung.go.id





