JAKARTA – Ironi hukum kembali terjadi. Djuyamto, hakim yang baru saja meraih gelar doktor di Universitas Sebelas Maret (UNS) pada 31 Januari 2025, ditangkap Kejaksaan Agung karena diduga terlibat dalam kasus suap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Yang mengejutkan, disertasi Djuyamto yang berjudul “Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif” justru menyoroti pentingnya peran hakim dalam menegakkan keadilan secara aktif, termasuk menetapkan tersangka baru berdasarkan fakta persidangan.

“Sebagai hakim, hati nurani saya terusik,” ujar Djuyamto kala itu, saat mempertahankan disertasinya di hadapan para Guru Besar FH UNS. Namun, pernyataan itu kini justru menjadi ironi pahit.
Djuyamto diamankan dalam operasi tangkap tangan (OTT) Kejagung pada Sabtu (12/4) dan Minggu (13/4), bersama sejumlah pejabat peradilan lainnya, yaitu Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta, Hakim Agam Syarif Baharudin, Hakim Ali Muhtarom, Panitera Muda Perdata Wahyu Gunawan, serta dua advokat, Marceila Santoso dan Aryanto.
Mereka diduga menerima suap terkait penanganan perkara di PN Jakarta Selatan.
Rahmad Sukendar: Sudah Jadi Rahasia Umum, Hanya Tinggal Siapa yang Tertangkap

Ketua Umum LSM BPI KPNPA RI, Rahmad Sukendar, menilai bahwa kasus ini bagaikan fenomena gunung es dari bobroknya sistem peradilan di Indonesia.
“Praktik mafia peradilan seperti ini sudah jadi rahasia umum. Permainan antara hakim, panitera, dan para pihak beracara sering terjadi di pengadilan. Yang tertangkap ini cuma lagi apes, sementara yang lain masih bebas melakukan praktik serupa,” ujar Rahmad dengan nada geram.
Ia menegaskan bahwa sistem pengawasan internal di lembaga peradilan sangat lemah, bahkan cenderung tidak berjalan.
“Di mana fungsi waskat (pengawasan melekat) dan wasrik (pengawasan dan pemeriksaan)? Kalau institusi hanya diam, maka penegakan hukum hanya jadi panggung sandiwara. Publik muak dengan kemunafikan semacam ini,” tambahnya.
Menurut Rahmad, kasus Djuyamto menjadi bukti bahwa gelar akademik tinggi tidak menjamin integritas seseorang.
“Bicara soal hati nurani di depan Guru Besar, tapi di balik layar justru jual-beli perkara. Ini bukan sekadar ironi, ini penghinaan terhadap akal sehat bangsa,” tegasnya.
Harapan Publik untuk Reformasi Peradilan
Kasus ini menjadi ujian besar bagi Kejagung dan Mahkamah Agung untuk menertibkan jajarannya. Masyarakat berharap agar penegakan hukum tidak tebang pilih, serta reformasi peradilan benar-benar dijalankan secara menyeluruh—bukan sekadar jargon belaka.
(Red)
