JAKARTA — Perayaan Imlek kini dianggap sebagai simbol kemerdekaan berekspresi bagi komunitas Tionghoa di Indonesia, setelah lama dilarang pada masa pemerintahan Soeharto. Namun, sejumlah Muslim Tionghoa masih merasakan dilema antara mempertahankan kebudayaan atau mengikuti ajaran Islam.
Melansir BBC News Indonesia berbincang dengan beberapa individu yang memilih sikap berbeda terkait perayaan Imlek. Salah satunya adalah Melinda, seorang mualaf yang mengalami tantangan dalam menjaga keseimbangan antara identitas budaya dan agama.
Melinda menceritakan kepada BB Pada 2017, saat Melinda pulang dari perayaan Imlek di sebuah kelenteng di Cikarang, Jawa Barat, seorang pejalan kaki bertanya kepadanya,
“Ke kelenteng kenapa pakai jilbab?” teriak seorang pejalan kaki kepada Melinda, saat dia hendak menyeberang pulang dari sebuah kelenteng di Cikarang, Jawa Barat, pada 2017 silam.
Melinda baru saja mengikuti perayaan Imlek bersama keluarganya yang keturunan China. Di antara keluarga besarnya, dia satu-satunya yang menjadi mualaf.
“Katanya ‘tahun baru, harapan baru’. Ternyata, tantangannya baru juga,” kata Melinda.
Melinda sudah bisa tertawa saat menceritakan kembali pengalaman tersebut kepada BBC News Indonesia pada awal Januari lalu.
Namun, saat itu terjadi, Melinda mengaku hampir tak bisa membendung emosi. Terlebih, teriakan orang asing itu dibumbui lontaran bernada rasis.
Melinda semakin sedih karena sanak saudaranya bukannya membesarkan hatinya, malah ikut mencibir.
“Kenapa harus pakai jilbab ke kelenteng, sih? Belum juga setahun [masuk] Islam,” kata Melinda menirukan ucapan salah satu saudaranya.
Situasi seperti ini memang kerap menghantui Muslim China yang menjadi “minoritas ganda” di Indonesia, menurut peneliti Universitas Malaysia, Hew Wai Weng.
Sebagai Muslim, kata Wai Weng, mereka menjadi minoritas di tengah komunitas China di Indonesia yang mayoritas memeluk agama Buddha dan Kristen.
Sebagai keturunan China, mereka juga menjadi minoritas dengan sejarah kelam diskriminasi di masa lalu.
Situasi semakin canggung karena sejarah gesekan antara Muslim dan non-Muslim di Indonesia, kata Wai Weng.
Wai Weng sudah belasan tahun fokus pada tema-tema seputar identitas Tionghoa Muslim di Malaysia dan Indonesia.
Ia juga menerbitkan sejumlah penelitian dan buku, salah satunya Ber-Islam ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia (2019).
Dalam buku itu, Wai Weng menuliskan bahwa jika terkait dengan Imlek, Muslim Tionghoa di Indonesia akhirnya terbagi menjadi tiga kelompok.
“Ada yang masih merayakan Imlek dengan semua tradisinya, ada yang masih Imlek walau tidak melakukan ritual yang tidak Islami, dan ada yang sama sekali tidak Imlek karena dianggap haram,” kata Wai Weng.
‘Imlek di kelenteng, doanya tetap ke Allah SWT’
Tak seperti biasanya, Melinda malah gelisah setelah salat subuh.
Hari itu, 28 Januari 2017, adalah Imlek pertama Melinda setelah menjadi mualaf pada November 2016.
Hari itu juga, Melinda memutuskan memakai hijab untuk pertama kalinya.
“Saya mau kasih lihat ke teman-teman, saya ikut Imlek, tapi tetap Muslim kok. Ke keluarga juga mau kasih lihat, saya sudah Islam, tapi tetap Imlek kok,” tutur Melinda.
Walau kurang puas dengan hasil pemasangan jilbabnya, Melinda memberanikan diri keluar dari kamar dengan jantung berdebar, tak keruan membayangkan reaksi keluarganya nanti.
Di dekat dapur, ibunya mencuri pandang kikuk, tapi kemudian langsung menyuruh Melinda mempersiapkan sesaji di altar leluhur keluarga.
Melinda pun mengikuti sembahyang leluhur seperti Imlek-Imlek sebelumnya.
Setelah santap siang bersama sanak saudara di rumah, mereka pergi ke kelenteng, melanjutkan tradisi turun-temurun keluarga.
“Saya ikut untuk menghormati leluhur saja. Kalau enggak ada mereka, saya enggak ada,” ucapnya.
“Di kelenteng juga saya bakar hio, tapi berdoanya ke Allah SWT. Karena kalau enggak ada Allah, saya juga enggak ada.”
Di sana, semua berjalan biasa saja. Namun, insiden sepulang dari kelenteng membuat Melinda menarik diri dari keluarga.
Dia tersinggung—bukan hanya pada pejalan kaki yang meneriakinya, tapi juga pada keluarganya yang malah mempertanyakan keputusannya memakai jilbab ke kelenteng.
Melinda akhirnya memutuskan pindah dari rumah dan kos di area dekat kantornya.
“Pulang kantor, saya sering ikut kajian di masjid dekat kos. Di situlah semakin dimantapkan kalau saya harusnya enggak ikut Imlek lagi,” kata Melinda.
Menurut Melinda, teman-teman Muslim biasanya mempermasalahkan Imlek karena dua hal.
Pertama, masih ada perdebatan mengenai Imlek sebenarnya tradisi agama Konghucu atau budaya semata.
Kedua, teman-temannya sering membahas hadis yang mengategorikan perayaan Imlek oleh orang Islam sebagai tasyabbuh, yakni larangan untuk meniru-niru kebiasaan kaum di luar Islam.
Melinda pun memutuskan tak ikut Imlek di tahun selanjutnya.
Namun, Melinda menyadari bahwa pandangan keluarganya terhadap Islam malah semakin buruk ketika dia tidak ikut Imlek.
Di tahun 2019, Melinda akhirnya memutuskan untuk kembali mengikuti Imlek “supaya nama Islam enggak jelek.”
“Saya pikir, Islam juga mengajarkan untuk hidup rukun dan menghormati orang tua, silaturahmi. Setelah itu, sama keluarga malah baik,” ucapnya.
Untuk memperkuat pengetahuan agamanya, Melinda juga masih mengikuti kajian di masjid, tapi pindah ke tempat yang ia anggap “lebih moderat”.
“Di tempat baru sih banyak mualaf yang masih Imlek karena itu sebenarnya budaya kan, bukan agama. Mau melestarikan budaya lah,” tutur Melinda.
Walau masih merayakan Imlek, kini Melinda tak lagi mengikuti ritual sembahyang leluhur.
Saat ke kelenteng, ia juga hanya menyalakan hio dan berdoa kepada Allah di altar paling depan kelenteng.
“Walau berdoanya di kelenteng, hati saya tetap ke Allah,” katanya.
Dihujat karena praktik yang diperdebatkan
Melinda bukan satu-satunya mualaf keturunan Tionghoa yang masih ke kelenteng.
Pengurus Kelenteng Bio Kwan Tee Koen di Karawang, Yanto, mengakui bahwa saat Imlek, ada saja mualaf yang datang ke kelenteng untuk mengingat leluhur.
Setibanya di lokasi, mereka biasanya berdoa di altar paling depan di kelenteng, yang biasa disebut sebagai “tuan rumah”.
“Dia enggak keliling ke semua [altar atau patung dewa],” ujar Yanto kepada BBC News Indonesia.
“Kalau dia mau pakai dupa, silakan. Mau secara Muslim [tidak pakai dupa], juga silakan.”
Mereka hanya segelintir Muslim Tionghoa yang masih mempertahankan praktik-praktik yang jadi perdebatan.
Satu penelitian menunjukkan Muslim di Indonesia yang melakukan ritual kontroversial biasanya melakukan negosiasi dengan diri sendiri untuk menyeimbangkan doktrin keagamaan dan konteks sosial.
Penelitian antropolog asal Irlandia, Andrew Beatty, itu dituangkan dalam buku yang bertajuk Varieties of Javanese Religion: An Antropological Account (1999).
Lebih dalam, Wai Weng mengatakan bahwa kebanyakan Muslim Tionghoa yang masih melakukan ritual adat selama Imlek biasanya memiliki afiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam yang memang mendorong pelestarian budaya.
Lilik Sugianto Lie, misalnya, terbiasa merayakan Imlek ke kelenteng bersama keluarganya walau sudah memeluk Islam sejak kecil.
Ayah dan ibu Lilik sebenarnya beragama Buddha.
Namun, sejak kecil Lilik dirawat oleh seorang tokoh NU yang tinggal di sebelah rumah keluarganya di Kepanjen, Jawa Timur. Mbah, begitu Lilik memanggilnya.
“Ketika saya umur empat tahun, saya sudah mengaji, sudah diajari salat,” ujar Lilik saat berbincang dengan BBC News Indonesia.
“Tapi, nanti ketika hari Minggu, biasanya Mama ke kelenteng di Malang, ya diajak. Nanti sepulangnya dari situ, saya dimandikan sama Mbah untuk disucikan,” Lilik tergelak.
Tumbuh di lingkungan dengan beragam agama, Lilik tak pernah merasa canggung ketika harus melakukan tradisi Tionghoa saat Imlek, termasuk ke kelenteng.
Dalam buku Ber-Islam Ala Tionghoa, Wai Weng menuliskan bahwa keturunan China yang memiliki kedekatan hubungan dengan anggota keluarga non-Muslim memang cenderung menempatkan Imlek sebagai perayaan penting.
Hingga usianya kini menginjak 54 tahun, Lilik juga mengaku tak pernah meninggalkan Imlek sebagai upayanya menghormati leluhur.
“Saya juga tidak minta lahir dari suku bangsa apa. Tuhan sudah karuniai saya dan saya ditakdirkan jadi Muslim. Saya menikmati dan itu indah,” katanya.
Lilik pun tak ambil pusing ketika umat Muslim lain mengkritiknya karena menjalankan ritual yang dianggap “tidak Islami” seperti datang ke kelenteng.
“Sering saya dihujat. Setiap Imlek, saya [dikritik] ‘Enggak boleh, lho.’ Saya jawab, ‘Yang enggak boleh itu kamu. Saya berdarah China, ya kewajiban saya melestarikan budaya,’” kata Lilik.
Lilik mengaku dapat mempertahankan prinsipnya karena sejak kecil dia dikelilingi keluarga yang mengajarkannya cara membawa diri.
Mbah mengajarkan nilai-nilai Islam, sementara keluarganya menanamkan betapa penting melestarikan budaya Tionghoa.
Alhasil, dia dapat menjalankan perannya sebagai Muslim dan China secara seimbang dan tenang.
“Saya masih ingat pesan Papa saya, ‘Kita hidup di Indonesia. Kita orang Tionghoa, jadi kamu harus bisa membawa diri, beradaptasi, dan pelajari semua hal,’” tutur Lilik.
Walau jadi perdebatan, praktik semacam ini justru menunjukkan Indonesia sebagai negara yang toleran dan lebih terbuka ketimbang negara-negara mayoritas Muslim lainnya, menurut Wai Weng.
“Oke, dulu pernah ada sentimen anti-China di Indonesia dan pembatasan ekspresi Tionghoa. Namun, kalau terkait keragaman beragama dan praktiknya, Indonesia lebih fleksibel,” katanya.
“Di Indonesia, pribumi juga biasa ke kelenteng. Kalau di Malaysia, bisa masuk media sosial dan jadi masalah. Saya tidak pernah melihat perempuan pakai hijab masuk ke kelenteng di Malaysia.”
‘Saya sudah melek, Imlek tak lagi ke kelenteng’
Kisah Lilies Kurnia beradaptasi sebagai Muslim Tionghoa lebih berliku.
Lilies sebenarnya sudah menjadi mualaf sejak menikah pada 1997. Namun, ia baru mendalami agama Islam setelah bercerai dari suaminya pada 2006.
“Saya galau, jadi belajar agama. Ada yang bilang, enggak boleh lagi Imlek karena itu kan agama lain,” kata Lilies kepada BBC News Indonesia.
Lilies lantas memutuskan untuk tidak ikut Imlek hingga dua kali, yang membuatnya kian jauh dari keluarga. Citra Muslim di mata keluarganya semakin buruk.
Tambah galau, Lilies mencari jawaban ke Masjid Lautze, masjid dengan arsitektur China di Jakarta.
Di sana, ia bertemu dengan penasihat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Ali Karim Oei.
“Pak Ali bilang, ‘Imlek itu bukan perayaan agama. Itu budaya,’” tutur Lilies.
Seperti Melinda, Lilies akhirnya memutuskan untuk kembali ikut merayakan Imlek, walau tak lagi mengikuti tradisi yang dia sebut “non-Islami”, seperti ke kelenteng dan sembahyang leluhur.
“Saya sudah melek. Imlek ya tidak lagi ke kelenteng,” katanya.
Kebanyakan Muslim Tionghoa di Indonesia memilih untuk melakukan Imlek seperti Lilies, kata Wai Weng.
Organisasi Islam besar di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU), juga umumnya memperbolehkan Imlek, asal tak mengandung ritual yang non-Islami.
Lilies sendiri biasanya hanya makan malam bersama kedua anaknya di malam menjelang Imlek.
Di hari Imlek keesokan harinya, Lilies tidak melakukan sejumlah tradisi yang biasa dilakukan keturunan China lainnya.
“Saudara-saudara yang lain pasti sembahyang leluhur dulu di pagi hari, setelah itu kumpul-kumpul keluarga. Ya, kita ikut yang waktu kumpul saja,” ucap Lilies.
Saat kumpul keluarga itu, Lilies juga tak menyantap makanan yang mengandung babi.
“Biasanya keluarga juga sudah paham. Mereka kasih tahu, ‘Eh, itu haram. Jangan dimakan. Makan ini aja, sudah disiapkan.’ Jadi mereka baik kalau kita juga baik,” katanya.
“Kalau kumpul keluarga, enggak usah lah berdebat ini agama atau budaya. Dapat angpau kan enak. Mending kumpul-kumpul, ketawa-ketawa. Di Islam juga kan silaturahmi penting.”
Imlek, budaya atau agama?
Perdebatan bahwa Imlek sekadar praktik budaya atau perayaan agama Konghucu, kata Wai Weng, anehnya hanya terjadi di Indonesia.
“Di seluruh dunia, etnis Tionghoa melihat Imlek sebagai perayaan budaya, tetapi beberapa orang Tionghoa Indonesia menganggapnya sebagai festival keagamaan yang berkaitan dengan Konfusianisme,” ucapnya.
Menurut Wai Weng, sebagian umat Konghucu di Indonesia menganggap Imlek sebagai hari suci untuk memperingati kelahiran Konfusius.
“Sebagai seorang Tionghoa Malaysia, saya tidak pernah mendengar keterkaitan itu [Imlek dan kelahiran Konfusius] di Malaysia,” kata pria yang mulai melakukan riset di Indonesia pada awal 2010.
Peneliti lain, Chang Yau Hoon dari Singapore Management University, dalam salah satu makalahnya mengonfirmasi bahwa kebingungan ini memang hanya terjadi di Indonesia.
“Kaitan antara Imlek dan kelahiran Konfusius adalah salah satu elemen yang diadopsi Konghucu di Indonesia untuk melegitimasi Konfusianisme sebagai agama, walau kaitan itu tak diakui komunitas China di tempat lain,” tulisnya.
Perjalanan Konghucu hingga diakui sebagai agama di Indonesia memang sangat berliku dan penuh jejak diskriminasi.
Tahun 1965, pemerintah Indonesia sempat mengakui Konghucu sebagai agama, walau di berbagai belahan dunia lain, Konfusianisme dianggap sebagai pedoman etika atau filosofi.
Namun, dua tahun setelah tragedi 1965, Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi yang melarang perayaan keagamaan, kepercayaan, dan praktik budaya etnis Tionghoa secara terbuka.
Pada 1978, muncul surat edaran menteri dalam negeri yang menyebutkan pemerintah hanya mengakui lima agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Setahun berselang, sidang kabinet menyatakan Konfusianisme bukan agama. Setelah itu, status Konfusianisme tak pernah jelas, dianggap aliran kepercayaan atau bukan.
Selama sisa masa Orde Baru, warga keturunan China pun tak bebas berekspresi.
“Orang Konghucu kalau ibadah, ya harus izin. Tempatnya tertutup,” kata ibunda Melinda yang lahir pada 1962.
“Kalau saya, selama Orde Baru juga kalau Imlek di rumah saja. Enggak ada tuh barongsai di jalan. Mau bawa angpau juga diam-diam dimasukkan ke saku.”
Di Surabaya, seorang keturunan Tionghoa bernama Haryo juga pernah menyaksikan diskriminasi selama masa Orde Baru.
Haryo bercerita bahwa waktu masih di bangku sekolah menengah pertama, ia melihat teman perempuannya diskors dari sekolah karena membolos untuk merayakan Imlek di rumah.
“Hanya karena ingin merayakan tahun baru, dilarang. Itu menyedihkan sekali,” ucap Haryo kepada BBC News Indonesia.
Hingga akhirnya, rezim Orde Baru tumbang pada 1998.
Pemerintahan era Reformasi lantas berupaya menunjukkan komitmen untuk mengakhiri diskriminasi terhadap Tionghoa.
Pada 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden Soeharto yang melarang perayaan keagamaan, kepercayaan, dan praktik budaya etnis Tionghoa secara terbuka.
Konghucu kembali diakui sebagai agama di Indonesia.
Dalam bukunya, Yau Hoon menyebut Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) lantas menginisiasi proposal untuk meminta pemerintah mengakui Imlek sebagai libur nasional.
Pada Januari 2001, Gus Dur kemudian mengumumkan Imlek sebagai hari libur opsional.
Setahun kemudian, barulah Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Yau Hoon menganggap keputusan inilah yang memicu kebingungan.
Menurutnya, penetapan hari libur ini membuat Imlek seakan terkait dengan agama tertentu karena saat itu, “hanya perayaan keagamaan resmi yang ditetapkan sebagai hari libur nasional di Indonesia”.
Senada, penasihat PITI Jakarta, Ali Karim Oei, juga menganggap keputusan pemerintah waktu itu memicu kebingungan, apalagi banyak orang di Indonesia “kurang wawasan”.
“Jadi jelas bukan [perayaan] agama sebetulnya, tapi karena waktu zaman Gus Dur ada agama Konghucu ditanya hari rayanya apa, enggak ada. Ya, Imlek saja,” ujar Ali.
Segala perdebatan ini membuat Ali tak mau menggelar acara Imlek khusus di Masjid Lautze, masjid bergaya China yang berada di bawah naungan yayasan pimpinannya, Yayasan Haji Karim Oei.
Ali semakin enggan mengingat berbagai tafsiran hadis yang membuat perayaan Imlek menuai pro kontra di tengah umat Muslim.
“Islam kan bermacam-macam, jadi kalau masjid ini kan nanti pasti ada yang, ‘Ah, dasar China.’ Jadi kalau ada yang pro kontra, kita enggak bikin,” katanya.
Namun, Ali mempersilakan jika ada jemaahnya yang ingin merayakan Imlek dengan sanak saudara masing-masing.
“Intinya, Imlek kan budaya, jadi silakan. Kalau saya tidak merayakan lagi karena sudah tidak ada orang tua, tapi kalau ada yang mengundang, ya saya datang,” tutur Ali.
“Kalau di masjid, enggak lah.”
Ketika BBC News Indonesia berkunjung ke Masjid Lautze menjelang Imlek pun tak terlihat ornamen-ornamen khas perayaan Tahun Baru China.
Imlek di masjid
Pemandangan itu jauh berbeda dari keadaan di masjid bergaya China pertama di Indonesia, Masjid Cheng Ho.
Sejak dua pekan sebelum Imlek, masjid di Surabaya, Jawa Timur, itu sudah semarak.
Lampion merah berjajar di halaman depan masjid, menyambut warga sekitar yang ingin mengikuti rangkaian acara Imlek di Masjid Cheng Ho pada 18 Januari lalu.
Musik bertalu-talu mengiringi Barongsai menari.
Menjelang Imlek kali ini, masjid Cheng Ho membagikan angpau kepada 1.000 duafa.
Ketua Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia (YHMCHI), Abdullah Narawi, mengatakan bahwa mereka rutin menggelar perayaan Imlek seperti ini.
Ia menegaskan bahwa perayaan Imlek di masjid ini merupakan bentuk rasa syukur melewati tahun dengan tetap sehat.
“Dengan rasa syukur itulah kita mengundang para duafa dan anak yatim piatu. Kita juga melibatkan organisasi dan yayasan lainnya untuk bergabung,” katanya.
Ketua PITI Jatim, Haryanto Satryo, mengatakan perayaan Imlek secara terbuka di Masjid Cheng Ho menitikberatkan pada silaturahmi.
“Yang datang pun tidak hanya orang Tionghoa. Sesama saudara, sesama famili, kita berkumpul, makan, ramai-ramai. Bercengkerama, mempererat tali persaudaraan,” ujar Haryanto.
Berdasarkan pengamatan Wai Weng, Masjid Cheng Ho hanya satu dari sedikit masjid yang masih menggelar perayaan Imlek.
Menurutnya, pergerakan Muslim Tionghoa di Jawa Timur, terutama Surabaya, memang lebih luwes ketimbang di Jakarta. Sejak lama, PITI Jatim juga lebih aktif ketimbang PITI Jakarta.
“Alasan PITI Jawa Timur lebih berhasil di antaranya adalah jaraknya yang jauh dari Jakarta, yang membuatnya lolos dari kontrol negara, khususnya selama rezim Orde Baru,” ucap Wai Weng.
Takut tasyabbuh
Ketika keturunan Tionghoa lain bersiap silaturahmi saat Imlek, Hans Ahmad Yamin Tajudin malah sibuk mencari cara agar tak bertemu saudara-saudaranya.
“Setelah ketemu sama orang tua, temani sebentar, lalu berusaha untuk kabur. Pergi ke mana, gitu,” tutur Hans kepada BBC News Indonesia.
Hans tak lagi merayakan Imlek setelah menjadi mualaf pada 2022.
“Sebagai Muslim, saya meyakini bahwa perayaan seorang Muslim cuma tiga, yaitu Idulfitri, Idul Adha, dan Yaumul Jumu’ah [hari Jumat],” ujarnya.
Selain itu, Hans juga menganggap Imlek sebagai tasyabbuh, karena menyerupai kaum tertentu.
Jika tamu sudah terlanjur datang sebelum Hans kabur, dia akan bersiasat.
“Kalau dia bilang, ‘Kiong hi’, misalnya. Secara harfiah ucapan itu artinya selamat. Kalau diucapkan begitu, ya saya balas saja, ‘Alhamdullilah,’” ucap Hans.
Hans pun akan menjamu mereka dengan baik, tapi tak menyuguhkan hidangan khas Imlek.
“Kalau harus kasih angpau ke anak kecil juga bisa diakalin. Biasanya saya suruh istri cari amplop kecil yang warna emas, misalnya, jadi enggak Imlek banget,” ujar Hans.
Agar keluarganya paham, Hans biasanya memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai Islam yang ia pegang ketika sedang berkumpul bersama sanak-saudaranya.
Hans tak memungkiri, kesalahpahaman soal agama menjadi hal tak terhindarkan dalam keluarganya.
“Tapi, orang tua seperti itu enggak bisa disalahkan juga. Mereka sudah hidup puluhan tahun di bawah diskriminasi,” tutur Hans.
Hans sendiri berupaya agar pandangan keluarganya terhadap Islam bisa pulih, dengan melakukan silaturahmi secara rutin.
“Silaturahmi itu enggak hanya waktu Imlek saja,” katanya.
Seperti dituliskan Wai Weng dalam bukunya, pada akhirnya umat Muslim Tionghoa akan “menemukan kebenaran versi mereka” untuk melegitimasi keputusan mereka merayakan Imlek atau tidak.
“Tergantung pada pengalaman hidup mereka, pengaruh keluarga, dan pertimbangan praktis lainnya,” tutur Wai Weng.
Lilies sendiri mengaku akan tetap merayakan Imlek, walau tak lagi mengikuti tradisi-tradisi yang dianggap tidak “Islami”.
Sementara itu, Lilik dan Melinda akan tetap merayakan Tahun Baru China dengan tradisi yang sudah disesuaikan, seperti berdoa tanpa hio di kelenteng.
“Saya menjadi jati diri saya sendiri. Saya tidak bisa membuang marga saya. Mau bagaimana pun, bapak saya keturunan Tionghoa,” tutur Lilik.
“Saya pesan ke anak saya, nanti saatnya Mami sudah enggak ada, kalian teruskan. Sincia [tahun baru China] harus tetap silaturahmi.” Ungkapnya []
Sumber dikutip BBC