DI tengah bencana besar yang melanda Sumatera dan Aceh dengan korban jiwa, kerusakan fisik, dan gangguan layanan publik yang masif, muncul pertanyaan serius mengenai mengapa informasi awal mengenai eskalasi bencana sampai terlambat diterima Presiden. Di ruang publik, muncul persepsi bahwa Presiden Prabowo lamban merespons situasi, bukan karena abai, tetapi karena informasi yang masuk ke lingkaran inti Istana tidak menggambarkan realitas lapangan secara utuh.
Pernyataan pejabat BNPB yang sempat menyebut bahwa situasi “tidak besar, hanya media sosial yang membesarkan,” menjadi contoh problem struktural dalam tata kelola informasi kebencanaan di Indonesia. Dalam sistem birokrasi modern, misinformasi internal jauh lebih berbahaya daripada disinformasi publik. Kesalahan asesmen tidak hanya menunda respons negara; menentukan apakah sebuah pemerintahan dinilai sigap atau gagal membaca urgensi.
Masalahnya, ini bukan peristiwa tunggal. Pada kerusuhan besar Agustus 2025 yang sempat mengguncang stabilitas nasional, publik kembali melihat pola yang sama: Presiden tampak lambat merespons. Belakangan terungkap bahwa laporan awal mengenai potensi eskalasi unjuk rasa terlambat diterima. Dalam ilmu politik, keterlambatan informasi (delayed intelligence flow) adalah indikator klasik bahwa sistem penyaringan (screening) dalam tubuh pemerintahan terlalu tebal, atau terlalu dipolitisasi.
Di banyak negara, fenomena seperti ini disebut dead information zone, yaitu wilayah dimana informasi publik yang kritis berhenti pada lapisan tertentu birokrasi, lalu mengalami distorsi sebelum mencapai pengambil keputusan tertinggi. Ketika sistem seperti ini berlangsung lama, maka seorang presiden, siapa pun orangnya dapat terlihat seperti pemimpin yang “kesepian”, terputus dari denyut realitas bangsa yang dipimpinnya.
Kasus terbaru mengenai listrik Aceh mempertegas kecemasan itu. Di depan publik, seorang menteri ekonomi melaporkan bahwa pemulihan jaringan listrik telah mencapai 93 persen. Kepala BNPB bahkan menyebut situasinya “seratus persen clear”. Namun laporan lapangan, termasuk dari pemerintah daerah, menunjukkan sebagian wilayah masih gelap gulita, komunikasi terputus, dan warga terdampak belum mendapatkan layanan dasar yang memadai.
Kontradiksi seperti ini menandakan adanya asimetri informasi yang akut. Dalam literatur manajemen krisis, asimetri semacam ini merupakan kondisi paling berbahaya karena dapat menghasilkan policy blindness, yakni kebijakan yang diambil jauh dari kondisi riil.
Mengapa ini bisa terjadi? Analisis intelijen dan manajemen pemerintahan menunjukkan beberapa kemungkinan.
Pertama, faktor struktural di Istana. Sekretariat Kabinet berfungsi sebagai pintu resmi semua informasi strategis. Namun ketika penyaringan terlalu ketat atau terlalu terpusat pada interpretasi satu-dua figur, maka risiko misklasifikasi informasi meningkat. Seorang pejabat mungkin ingin melindungi Presiden agar tidak bereaksi berlebihan terhadap isu sensitif. Tetapi tanpa pengalaman lapangan yang kuat, proses kurasi itu justru bisa menciptakan blindspot.
Kedua, kultur komunikasi internal. Di banyak pemerintahan, gaya komunikasi satu arah (top-down) dapat membuat arus masukan dari bawah stagnan. Pegawai atau pejabat di level tengah memilih memberi laporan yang “aman”, bukan yang akurat. Dalam konteks politik Indonesia pasca otoritarianisme, fenomena self censorship birokrasi masih belum sepenuhnya hilang.
Ketiga, dinamika politik pasca-transisi kekuasaan. Ketika institusi strategis masih diisi figur warisan pemerintahan sebelumnya, sangat mungkin muncul gesekan kepentingan, manuver, bahkan kompetisi pengaruh. Dalam literatur intelijen, operasi semacam ini disebut internal political obstruction, yaitu hambatan informasi yang muncul bukan karena sistem buruk, tetapi karena ada aktor yang berkuasa di dalam sistem itu.
Apakah itu yang terjadi di Istana? Tentu butuh verifikasi dan audit komunikasi yang independen. Namun gejala-gejalanya dapat terlihat dari terjadinya inkonsistensi laporan antar lembaga, respons Presiden yang terlihat tertunda, serta kebijakan yang kerap tidak sesuai ekspektasi publik.
Di tengah berbagai kegaduhan ini, kebutuhan akan radical break dalam tata kelola komunikasi pemerintahan menjadi mendesak. Presiden memerlukan kabinet yang memiliki loyalitas tunggal kepada negara, bukan kepada figur politik masa lalu, kelompok bisnis, atau jaringan personal tertentu. Namun lebih dari itu, Presiden membutuhkan ecosystem of truth, yaitu lingkungan yang memastikan setiap informasi penting, meskipun pahit, sampai ke ruang kerjanya tanpa dipoles, tanpa disyaratkan, tanpa diperlambat.
Menghapus hambatan komunikasi, membenahi screening informasi, menguatkan kapasitas Sekretariat Kabinet, serta memastikan semua pejabat kunci bebas dari konflik kepentingan adalah langkah minimal untuk memulihkan kredibilitas pemerintahan. Tanpa itu, siapa pun Presiden Indonesia akan selalu berisiko terperangkap dalam “virus budeg”, yaitu sebuah metafora pahit bagi negara yang tidak mendengar rakyatnya sendiri.
Pada akhirnya, tragedi terbesar dalam sebuah bencana bukan sekadar hilangnya nyawa, melainkan hilangnya kemampuan negara untuk mendengar jeritan warganya tepat waktu.
Penulis : Sri Radjasa ( Pemerhati Intelijen)
%%%%%%%%%
Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis





