Kecanduan Jokowilic dan Ancaman Terbelahnya Bangsa

by

INDONESIA lahir dari rahim sejarah yang melahirkan pemimpin berkarakter negarawan. Soekarno, dengan kharisma dan integritasnya, menempatkan persatuan bangsa di atas ambisi politik pribadi. Mohammad Hatta menunjukkan kesederhanaan dan kejujuran, menegaskan bahwa kepentingan negara tidak boleh bercampur dengan urusan keluarga. Dari era Orde Baru kita mengenal sosok Hoegeng dan Baharuddin Lopa pejabat yang berani melawan arus hedonisme dan korupsi, sekaligus teguh menjaga marwah negara.

Namun, memasuki era reformasi, yang semestinya menjadi tonggak demokrasi dan keterbukaan, justru kualitas kenegarawanan kian merosot. Presiden Joko Widodo, yang lahir dari rahim reformasi, digambarkan sebagian kalangan sebagai puncak paradoks: tampil sederhana sebagai “wong cilik”, namun menanamkan dinasti politik yang disebut banyak pengamat sebagai bentuk “pembajakan demokrasi”.

Fenomena ini ditandai dengan terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial, peran paman dalam meloloskan syarat usia, hingga dugaan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye, memperkuat tudingan bahwa demokrasi dibelokkan demi kepentingan keluarga. Ironi bertambah ketika identitas akademik Gibran pun dipersoalkan. Reformasi yang dahulu mengusung idealisme kini tercatat dengan tinta hitam, dimana demokrasi dicederai oleh mereka yang justru lahir dari proses demokrasi itu sendiri.

Di sinilah istilah “kecanduan Jokowilic” menemukan relevansinya. Relawan Jokowi yang sejak awal disuguhi narasi kemiskinan, kesederhanaan, dan simbolisme “rakyat kecil”, perlahan mengalami euforia politik. Dalam fase berikutnya, euforia itu berubah menjadi adiksi. Mereka kehilangan kemampuan kritis, menjadikan Jokowi sebagai tolok ukur tunggal kebenaran. Semboyan yang lahir seperti right or wrong, Jokowi is important. Fenomena ini sejatinya menciptakan loyalitas buta yang berbahaya bagi masa depan demokrasi.

Data menunjukkan, menurut LSI (2024), lebih dari 60 persen pemilih muda mengaku memilih pasangan Prabowo-Gibran bukan karena program, melainkan karena faktor Jokowi. Survei Indikator Politik Indonesia juga menegaskan, relawan Jokowi masih menjadi mesin elektoral paling solid hingga jelang Pilpres lalu. Artinya, bukan lagi gagasan atau visi bangsa yang menentukan pilihan politik, melainkan figur dan jaringan dinasti.

Bahaya “kecanduan Jokowilic” bukan sekadar soal loyalitas politik, tetapi juga potensi terbelahnya bangsa. Demokrasi yang sehat menuntut rasionalitas, sementara adiksi politik mengikis ruang dialog. Polarisasi tajam yang kita saksikan sejak Pilpres 2014 hingga 2024 adalah bukti nyata. Publik terjebak dalam kubu-kubuan, sementara masalah fundamental bangsa seperti ketimpangan ekonomi, kemiskinan struktural, hingga krisis lingkungan, justru tercecer dari pusat perhatian.

Dalam kajian politik, fenomena ini dikenal sebagai populisme patronistik yaitu ketika pemimpin menciptakan basis massa loyal dengan kombinasi simbol sederhana, bantuan material, dan jaringan relawan. Kajian Marcus Mietzner (ANU, 2023) menyebut populisme patronistik di Indonesia kini memasuki fase dinasti politik yang berpotensi menggerus institusi demokrasi.

Jika adiksi politik ini dibiarkan, maka ancaman serius menanti, institusi negara tunduk pada kultus individu, rakyat kehilangan daya kritis, dan bangsa terbelah dalam loyalitas sempit. Reformasi yang dulu dipuja sebagai “orde keterbukaan” bisa berubah menjadi “orde adiksi politik”.

Karena itu, bangsa ini harus waspada. Demokrasi hanya bisa bertahan jika publik berani melepaskan diri dari candu politik figur, kembali menimbang rasionalitas, dan menuntut pemimpin untuk bertindak sebagai negarawan, bukan sekadar pewaris dinasti. Tanpa itu, kita akan benar-benar menyaksikan ramalan zaman kolo bendu yang pernah disebut Joyoboyo bahwa masa kekacauan, ketika kepemimpinan kehilangan jiwa kenegarawan, dan bangsa sendiri rela dipecah demi syahwat kekuasaan segelintir elite.[]

Penulis :Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

===========

Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi diluar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *