BANDA ACEH — Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, Provinsi Aceh, menghentikan penuntutan terhadap kasus penadahan sepeda motor curian dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Keputusan ini diambil setelah Jaksa Agung Muda Pidana Umum menyetujui penyelesaian perkara tersebut.
Kepala Kejari Bireuen, Munawal Hadi, menyatakan penghentian penuntutan ini terjadi setelah korban dan tersangka mencapai kesepakatan damai, yang disaksikan oleh keluarga serta perangkat desa atau gampong.
“Penyelesaian dan penghentian kasus setelah korban dan tersangka berdamai. Perdamaian para pihak disaksikan keluarga dan perangkat desa atau gampong,” katanya.
Baca juga; Camat Teguh Diperiksa Kejari Bireuen Terkait Dugaan Korupsi Dana Desa
Ada beberapa persyaratan dalam menyelesaikan perkara secara keadilan restoratif. Di antaranya para pihak sudah berdamai serta pelaku baru pertama melakukan tindak pidana dan ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun.
Munawal Hadi menyebutkan kasus penadahan sepeda motor tersebut dengan tersangka berinisial ES. Kasus tersebut berawal ketika ES yang bekerja di Masjid Islamic Center Kota Lhokseumawe membeli sepeda motor dengan harga murah pada 11 September 2024.
Baca juga; Kampanye Akbar Mualem-Dek Fadh, Bukti Kuatnya Dukungan Rakyat Aceh
“Saat itu, ES menerima tawaran dari seseorang berinisial F dengan harga Rp2 juta. F menyebutkan sepeda motor tersebut milik orang tuanya. Sepeda motor tersebut dibeli tanpa kelengkapan surat kendaraan bermotor,” katanya.
Munawal Hadi menegaskan perbuatan tersangka ES membeli sepeda motor tanpa surat melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang penadahan. Ancaman hukumannya paling lama empat tahun penjara.
Baca juga; USK Bahas Teknologi Hijau di Forum AIC 2024
“Dalam proses perdamaian tersebut, tersangka ES berjanji tidak mengulangi perbuatannya. ES juga mengaku baru pertama kali membeli sepeda motor tanpa dilengkapi surat kendaraan,” katanya.
Ia mengatakan penyelesaian perkara secara keadilan restoratif sesuai dengan pedoman Jaksa Agung. Tujuan keadilan restoratif tersebut agar penyelesaian perkara tidak harus dilakukan dalam persidangan di pengadilan.
“Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh. Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir. Sepanjang 2024, Kejari Bireuen menyelesaikan 16 perkara berdasarkan keadilan restoratif,” kata Munawal Hadi.[]