BANDA ACEH – Pengamat politik dan pemerintahan Dr Taufik Abd Rahim mengaku aneh menyaksikan perilaku sejumlah pihak di Aceh belakangan. Banyak yang protes pelantikan gubernur ditunda. Kata mereka, tidak sesuai dengan UUPA.
Akademisi ini mengibaratkan, mereka yang hari ini ribut ibarat orang yang baru terbangun dari tidur. Karena itu, ia menjelaskan lagi, bahwa dasar hukum pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil/wali kota adalah Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Di dalam aturan itu disebutkan, bahwa pemungutan suara serentak nasional pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil/wali kota 37 provinsi di seluruh wilayah Indonesia.
Taufik mengatakan, karena pilkada mengacu pada aturan tersebut, maka apa saja tahapannya harus diikuti. Semua ini diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 yang telah ditetapkan, yaitu tahapannya dimulai pada 26 Januari 2024, dan pemungutan suara pada 27 November 2024. Terakhir, perhitungan suara mulai 27 November 2024 sampai dengan 6 Desember 2024. Sehingga, hasil Pilkada serentak yang pada jadwal sebelumnya akan dilantik 7 Februari 2025.
Dikatakan, Aceh itu sebenarnya memiliki undang-undang yang bersifat khusus yang disebut lex special, yaitu UUPA. “Makanya kalau mau konsisten berdasarkan UUPA, mestinya yang diterapkan adalah Pasal 65 Ayat 1. Pilkada berlangsung lima tahun sekali,” ujarnya
Ia melanjutkan, maka Pilkada Aceh seharusnya, mesti dan wajib dilaksanakan pada tahun 2022. “Ini berdasarkan Pilkada sebelumnya pada tahun 2017,” sebut Taufik.
Maka, lanjutnya, UUPA yang selama ini dianggap dan ditetapkan sebagai “lex specialist” untuk Aceh dan demikian dibangga-banggakan sudah dilanggar dan sama sekali tidak dihargai.
Karena itu, ia mempertanyakan, mengapa mesti heboh pada saat ada isu penundaan pelantikan gubernur yang dilaksanakan sesuai aturan pilkada serentak? “Kenapa ada pernyataan tidak sesuai UUPA, melanggar UUPA, atau tidak menghargai kekhususan Aceh?” tandasnya.
Taufik mempertanyakan lagi, pada saat pilkada Aceh ditunda tahun 2022 menjadi pilkada serentak pada tahun 2024, kenapa semua diam? “Apakah selama ini nyungsep, tertidur, terpasung, atau sibuk berkubang dengan mainan seperti anak kecil?” sergah pengamat ini.
Sesungguhnya rakyat Aceh saat ini, kata dia, tidak terlalu perduli dan acuh, karena semua ini hanya untuk kepentingan para elite politik, kelompok, dan timses. Selanjutnya, menurut Taufik, setelah pelantikan dan kekuasaan politik telah dikuasai dan diduduki, rakyat tetap seperti biasa, bahkan hal yang klasik dan telah berlangsung lama, yakni kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan ekonomi-politik dan sosial kemasyarakatan tetap diderita oleh rakyat Aceh, termasuk ketidakmerataan akan tetap berlangsung di Aceh.
Dengan demikian, sambungnya, karena semua saat ini di bawah kendali kekuasaan politik dan oligarki pemerintah pusat, Aceh hanya dianggap bagian kecil dari kepentingan politik kekuasaan politik Jakarta, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. “Jadi, silahkan tunduk patuh saja dengan yang diatur di pusat. Jangan menjual-jual UUPA pada saat semua sudah terlambat dan hancur-lebur,” ungkapnya.
Dia menambahkan, kekhususan Aceh hari ini hanya isapan jempol politik. Rakyat Aceh terus-menerus menderita, baik setelah merdeka, masa Orde Baru, Orde Reformasi, pasca konflik Aceh, terus menderita di bawah kendali dan “neo-colonialism” Pemerintah Pusat Jakarta.
Menurut Taufik, para elite politik hanya berlaku “patron and client”. Ibarat “tuan dan cuan”. Seluruhnya ditentukan, ditetapkan serta dikendalikan dari pusat kekuasaan politik di Jakarta. “Tidak perlu sibuk dengan jargon UUPA lagi yang sudah tidak dianggap serta tidak dihargai Jakarta,” tegasnya.
Pada bagian akhir pernyataannya, Taufik mengibaratkan pihak-pihak yang hari ini bersuara ibarat pahlawan kesiangan. “Kemarin-kemarin pada kemana? Tidur…? Sakit…??” tanya akademisi ini.
Ia juga mengibaratkan mereka seperti orang yang sudah sangat kebelet dilantik dan ingin cepat-cepat memiliki kekuasaan politik di bawah ketentuan dan aturan pemerintah pusat. “Merasa diri akan semakin hebat setelah dilantik, kenapa masih harus mengaitkan lagi dengan UUPA?” ungkapnya pada KabarAktual.id, Sabtu (4/1/2025).[]