Oleh. Juhaimi Bakri
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami ialah Allah’, lalu mereka tetap lurus (istiqomah) dalam keimanannya, niscaya turun kepada mereka malaikat menyampaikan pesan kepada mereka bahwa janganlah kalian takut dan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian!”(QS. Al-Fushilat : 30)
Ayat di atas menjelaskan tentang kepastian janji Allah yang tidak mungkin di ingkari. Mukmin yang istiqamah atau yakin dengan keimanannya tidak perlu khawatir dan risau dalam menempuh kehidupan ini, serta bergembira karena surga menantinya di akhirat kelak.
Beriman kepada Allah SWT bermakna yakin bahwa hanyalah Allah sebagai Rabb semesta alam, juga percaya akan keberadaan para malaikat-Nya, wahyu-Nya (melalui perantaraan kitab-kitab Allah), para rasul-Nya, keyakinan adanya hari akhir, dan ketetapan takdir dari Allah SWT bagi setiap manusia. Penegasan atas itu semua harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai bentuk pengamalan atas keimanan yang di yakini.
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw menyatakan, apa yang harus kita lakukan dalam menjalani kehidupannya ini “sederhana” saja, “Qul, amantu billahi tsumma itstaqim!”. Katakanlah, aku beriman kepada Allah lalu istiqomahlah!
“Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallaahu’anhu, ia berkata: aku berkata wahai Rasulullah! Katakanlah padaku tentang Islam dengan sebuah perkataan (sehingga) aku tidak akan menanyakannya kepada seorang pun selainmu. Nabi Saw menjawab: “Katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah” (HR Muslim).
Kata istiqamah bisa dimaknai dalam berbagai situasi dan kondisi. Istiqamah dalam konteks akidah, amal, keikhlasan, ketakwaan, persaksian, dan ilmu. Konteks istiqamah telah banyak dijabarkan oleh sahabat-sahabat nabi yang menunjukkan kedalaman mereka dalam memandang jauh makna istiqamah.
Sahabat Abu Bakar radhiyallahu `anhu, , memberikan pengertian istiqamah sebagai teguh dalam beriman, memurnikan sembahan hanya kepada Allah, dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Imam Thabari meriwayatkan, Abu Bakar pernah ditanya tentang istiqamah yang terkandungan dalam bunyi ayat “innalladziina Qaalu Rabbuna Allah Tsummas Taqaamuu,” kata beliau, “(Istiqamah adalah) kamu tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”
Sahabat Umar bin Khathtab radhiyallahu `anhu menegaskan makna istiqamah sebagai sebuah sikap teguh dalam, “melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta tidak berpaling.”
Dapat kita simpulkan bahwa istiqamah adalah suatu sikap konsisten dalam berbagai aspek kehidupan. Seorang muslim, kapanpun dan di manapun, ia dituntut untuk bersikap teguh, tidak maju mundur, tetap berpendirian teguh dalam memurnikan iman dan akidah dari segala bentuk kesyirikan dan kekufuran. Teguh dalam iman berarti memegang prinsip kuat dalam hati bahwa tiada Tuhan yang layak disembah selain Allah SWT. Segala bentuk penyembahan kepada selain Allah SWT merupakan sikap tidak istiqamah.
Istiqamah merupakan anugerah langsung dari Allah. Itu menjadi hak mjtlak Allah. Untuk mendapatkan sikap istiqamah, seorang hamba harus memperbanyak doa kepada Allah dan terus berusaha, bersikap teguh dalam ketaqwaan, melaksakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya. Bertakwa tidak hanya saat berada di bulan Ramadhan saja, atau pada momen-momen tertentu, namun harus dilaksanakan dalam segala kondisi dengan kontinyu. beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian harta, beriman kepada Al Qur`an dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan yakin akan adanya kehidupan akhirat. Sebagaiman dijelaskan dalam surat Al-Baqarah : 3-4.
Seorang Muslim, juga dituntut untuk istiqamah dalam menuntut ilmu sebagai landasan perkataan dan perbuatan. Artinya, orang yang istiqamah tidak akan melakukan suatu ucapan dan tindakan sebelum diketahui sumber ilmu guna menegaskan kebenaran dari perbuatan dan ucapannya. Orang yang istiqamah dalam menuntut ilmu akan selalu menjadikan ilmu sebagai maidah hati dan gairah ruh. Ibarat tubuh yang butuh asupan makanan jika tak di isi tubuh akan lunglai, lemas tak berdaya, demikian pula halnya akan hatin akan keras, sunyi, bersemayam kegelapan, ketika hati kering dari asupan ilmu yang bermanfaat.
Ibnul Qayyim al Jauzi menjelaskan, hati bagaikan bulu yang berada di padang pasir, ringan bersifat labil dan mudah terombang-ambing angin gurun. Karena itu, doa memohon untuk dapat bersikap istiqamah kepada Allah saja tidaklah cukup. Salah satu jalan untuk penerapan istiqamah adalah gemar menghadiri majelis ilmu. Dalam kondisi sekarang, kemudahan akses internet dapat menjadi jawaban bila padatnya rutinitas harian bertatap muka. Sebab, salah satu esensi dari majelis ilmu ialah berkumpul dengan orang-orang saleh. Inilah pintu menuju istiqamah diri.
Rasul SAW mengajarkan satu doa untuk hati agar tetap istiqamah dalam ke imanan “Ya muqalibal qulub tsabbit qulubana.” (Duahi zat yang membolak balikkan hati, tetapkan hatiku dalam keimanan pada Mu).
Doa tersebut juga menunjukkan bahwa hati memiliki perangai mudah terombang-ambing. mudah goyah keimanannya dalam mengejar nafsu kesenangan duniawi, hingga mengabaikan keimanannya. Hal ini bukan berarti mengejar kesenangan duniawi dilarang, tetapi idealnya orang beriman tetap istiqamah dengan keimanannya dan dalam memperoleh kehidupan dunia tetap berpedoman kepada aturan Allah, berstandar halal-haram, manfaat-dan madharat tetap diperhatikan.
Karena itu, kita memohon kepada Allah agar hati kita tetap istiqamah dalam iman dan Islam serta beribadah dengan tulus kepada-Nya. Semoga kita termasuk orang yang mampu beristiqomah dalam keimanan kita. Wallahu A’lam. Wabassiril Mukminin*——————
