BANDA ACEH — Penanews.co.id — Keriuhan dinamika politik dalam Pilkada sudah mulai terasa dengan tajam, terutama sejak kampanye dimulai. Menurut Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Nasional Yulis Saputra, S.IP, M.Sos, berbagai spekulasi politik yang dilontarkan oleh tim sukses calon semakin membuat suasana semakin menarik dan dinamis.
Dua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh bersaing ketat, mengeluarkan isu politik, gagasan, dan visi mereka melalui berbagai media sosial. Pertarungan opini di platform-platform ini bertujuan untuk membentuk dan mempengaruhi pandangan masyarakat, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada kekuasaan baik secara rasional maupun emosional. Pemanfaatan media sosial untuk framing sering kali melampaui logika dan lebih mengarah pada pembentukan emosi.
Salah satu framing yang muncul adalah dukungan dari ulama dayah kepada kedua pasangan calon. Ini sengaja ditampilkan untuk menarik perhatian masyarakat Aceh. Selain dukungan, ada juga upaya untuk mengajak ulama terlibat dalam politik praktis. Misalnya, pasangan calon Om Bus – Fadhil Rahmi dianggap mewakili Umara-Ulama, sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan dukungan sebanyak mungkin dari masyarakat Aceh.
Strategi politik semacam ini masih sangat populer di Aceh, terutama dengan keterlibatan Abu Dayah dalam mendukung pasangan calon. Tidak hanya santri yang terlibat, tetapi masyarakat umum pun akan terpengaruh secara emosional untuk memberikan dukungan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika framing yang digunakan di media sosial berfokus pada aktivitas politik di dayah, termasuk deklarasi dukungan yang dilakukan di sana. Hal ini mungkin terjadi karena calon gubernur memiliki popularitas yang rendah, bahkan mungkin tidak dikenal di kalangan masyarakat gampong.
Perdebatan yang terjadi dan framing yang ada masih terfokus pada peningkatan popularitas, tanpa mendalami visi dan misi. Padahal, Aceh memiliki banyak masalah yang tidak mendapatkan perhatian dari para pendukung masing-masing, seperti pendangkalan aqidah, munculnya berbagai aliran sesat, merosotnya akhlak, korupsi yang merajalela, hedonisme di masyarakat, narkoba, dan berbagai masalah lainnya. Ini menunjukkan bahwa ajakan kepada ulama untuk memberikan dukungan lebih berorientasi pada kepentingan politik dan kemenangan.
Dalam konteks Aceh saat ini, rakyat berharap agar peran ulama tetap konsisten dalam memperkuat bidang pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan akhlak karimah masyarakat Aceh. Untuk membangun dan memperbaiki tatanan peradaban masyarakat Aceh yang beradab, berakhlak, bersih, dan memiliki rasa malu, ulama perlu melibatkan perguruan tinggi. Karena keduanya bergerak dalam bidang pendidikan, seharusnya mereka bekerja sama untuk merumuskan standar pendidikan yang lebih baik di Aceh sebagai bagian dari menjalankan keistimewaan Aceh, yang saat ini tercoreng oleh konsep pendidikan feodalis.
Dalam menyelesaikan berbagai masalah, termasuk politik, ulama Aceh seharusnya tetap fokus pada jalur pendidikan untuk mengembalikan Aceh ke jalan yang benar, memperbaiki kerusakan dan menjadikan ulama serta umara sebagai teladan.
Bukan berarti ulama tidak boleh berpolitik, tetapi sebaiknya untuk menjaga martabat ulama, mereka tetap fokus pada perbaikan akhlak masyarakat dan penguasa, sehingga mereka terus dihormati di hati rakyat Aceh tanpa menampilkan keberpihakan yang dapat memicu dampak negatif bagi masyarakat.[]
Ditulis oleh Yulis Saputra, S.IP, M.Sos / Magister Ilmu Politik Universitas Nasional.