SEJARAH adalah ingatan kolektif sebuah bangsa. Ia bukan sekadar deretan tanggal, melainkan fondasi moral dan politik yang menentukan bagaimana suatu bangsa memandang dirinya sendiri. Ketika sejarah ditulis secara keliru, atau dibiarkan terus direproduksi dalam kekeliruan, yang dipertaruhkan bukan hanya kebenaran akademik, melainkan martabat nasional. Di sinilah persoalan 27 Desember 1949 menemukan relevansinya yang paling mendasar.
Selama puluhan tahun, tanggal tersebut diposisikan sebagai hari pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Narasi ini mengendap dalam buku pelajaran, dokumen resmi, hingga ingatan publik. Padahal, fakta sejarah menunjukkan sesuatu yang jauh berbeda. Peristiwa 27 Desember 1949 merupakan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang hanya memuat transfer of sovereignty dari Pemerintah Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), sebuah konstruksi federal yang lahir dari desain politik kolonial, bukan dari kehendak murni rakyat Indonesia.
Lebih dari sekadar manipulasi narasi, KMB menghadirkan ironi yang nyaris tak masuk akal. Indonesia dipaksa menanggung utang sekitar 4,5 miliar gulden, yang setara lebih dari satu miliar dolar AS, termasuk di dalamnya biaya agresi militer Belanda. Artinya, bangsa yang baru saja keluar dari penjajahan harus membayar ongkos perang yang digunakan untuk menumpas dirinya sendiri. Dalam perspektif etika politik dan keadilan sejarah, kesepakatan semacam ini jelas mencederai makna kemerdekaan.
Yang kerap diabaikan dalam narasi arus utama adalah fakta bahwa hasil KMB tersebut telah ditolak dan dibatalkan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo pada 1956. Penolakan ini merupakan koreksi politik yang tegas, bahwa kedaulatan Indonesia tidak bersumber dari meja perundingan di Den Haag, melainkan dari Proklamasi 17 Agustus 1945. Dukungan moral terhadap sikap ini bahkan datang dari sejumlah perwira TNI yang memilih mengundurkan diri sebagai bentuk penolakan terhadap legitimasi KMB. Ini menegaskan bahwa negara pernah memiliki keberanian untuk melawan warisan kolonial dalam bingkai konstitusional.
Namun, keberanian itu seolah memudar. Hingga kini, Belanda tidak pernah secara tertulis mengakui kemerdekaan Indonesia per 17 Agustus 1945, baik secara de facto maupun de jure. Yang diakui hanyalah hasil KMB dan eksistensi RIS. Dalam konteks hubungan antarnegara yang setara, kondisi ini menyisakan pertanyaan serius, bagaimana mungkin Indonesia membangun relasi bilateral yang bermartabat jika momen kelahirannya sebagai negara merdeka tidak pernah diakui secara jujur?
Keganjilan ini tidak berhenti pada relasi eksternal. Di dalam negeri, pengaburan sejarah justru dilembagakan. Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan oleh MPR yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak menyertakan Proklamasi 17 Agustus 1945. Padahal, proklamasi adalah sumber legitimasi historis dan moral dari seluruh pilar tersebut. Menghapusnya dari narasi resmi sama artinya dengan memotong akar eksistensial republik.
Dalam kajian politik ingatan (politics of memory), penghilangan peristiwa kunci bukanlah tindakan netral. Ia membentuk kesadaran kolektif yang baru, sekaligus mengaburkan relasi kuasa di masa lalu. Generasi muda kemudian tumbuh dengan pemahaman bahwa kemerdekaan adalah hasil “pengakuan” penjajah, bukan buah perjuangan rakyat. Di titik inilah narasi kolonial menemukan kehidupan barunya, justru melalui institusi negara merdeka.
Meluruskan sejarah 27 Desember 1949 bukanlah upaya membuka luka lama, apalagi memusuhi Belanda. Ini adalah ikhtiar menegakkan kebenaran dan mengembalikan martabat bangsa. Proklamasi 17 Agustus 1945 harus ditegaskan kembali sebagai satu-satunya sumber kedaulatan Indonesia. Tanpa keberanian itu, kita hanya akan terus hidup dalam bayang-bayang sejarah yang direduksi, sementara identitas bangsa perlahan kehilangan pijakan moralnya.
Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang mengenang sejarahnya, tetapi yang berani menggugat kebohongan dalam sejarahnya sendiri. Di situlah ukuran sejati kedaulatan.[]
Penulis: Sri Radjasa (Pemerhati Intelijen)
Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis





