Ketika Pemerintahan Menjadi “Sementara”: Krisis Legitimasi Birokrasi Aceh Selatan di Tengah Bencana

by
Ferizal Salami, SE.Ak (Mahasiswa Magister FEB USK, Pemerhati Pemerintahan)

ACEH Selatan sedang memasuki salah satu fase paling janggal dalam sejarah tata kelolanya, yaitu sebuah pemerintahan yang berjalan hampir sepenuhnya dengan pejabat berstatus Pelaksana Tugas (Plt). Kondisi ini muncul justru pada saat daerah sedang dilanda bencana banjir dan longsor, ketika negara seharusnya tampil dengan kepemimpinan yang tegas, birokrasi yang solid, serta mekanisme pengambilan keputusan yang tidak goyah oleh ketidakpastian jabatan. Kita menyaksikan sebuah ironi, di saat masyarakat membutuhkan kepastian, struktur pemerintahannya justru tenggelam dalam status “sementara”.

Secara normatif, penunjukan Plt adalah mekanisme sah untuk memastikan roda pemerintahan tetap berjalan ketika terjadi kekosongan jabatan. Tetapi ketika status “sementara” mendominasi hampir seluruh posisi strategis mulai dari Plt Bupati, Plt Sekda, Plt para kepala dinas, hingga pejabat eselon III, maka yang terjadi bukanlah kesinambungan, melainkan situasi yang oleh literatur administrasi publik disebut structural limbo, yaitu ruang abu-abu kelembagaan yang melumpuhkan efektivitas keputusan, mengikis legitimasi pemimpin, dan mereduksi kecepatan birokrasi sebagai mesin pelayanan publik.

Ketika Jabatan Sementara Menjadi Struktur Permanen

Pengangkatan Wakil Bupati sebagai Plt Bupati pasca dinonaktifkannya Bupati Mirwan MS selama tiga bulan seharusnya hanya menjadi cerita singkat dalam dinamika pemerintahan daerah. Namun fenomena Aceh Selatan lebih dalam dari itu. Dengan menjamurnya posisi Plt pada hampir seluruh dinas vital, baik itu pendidikan, kesehatan, sosial, pangan, kepegawaian, hingga penanganan perempuan dan anak, kita berhadapan dengan gejala sistemik, yakni tidak adanya kepastian jabatan definitif sebagai refleksi masalah manajemen kepegawaian, tarik-menarik kepentingan politik birokrasi, serta lemahnya tata kelola pengisian jabatan.

Penelitian dalam bidang public administration menunjukkan bahwa aktor yang memegang jabatan sementara cenderung memiliki risk-averse orientation, yaitu kecenderungan menghindari keputusan besar karena takut menimbulkan konsekuensi karier atau politik. Akibatnya, inovasi terhambat, respons terhadap bencana menjadi lambat, dan koordinasi anggaran terganggu. Ketika situasi ini terjadi secara massif, birokrasi tidak hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan nyali.

Bagi masyarakat, dampaknya langsung terasa, dimana penyaluran bantuan terhambat, keputusan evakuasi lamban, dan koordinasi antar dinas sering kali tidak selaras. Dalam konteks Aceh Selatan hari ini, kita melihat bagaimana ketiadaan pejabat definitif memperpanjang proses yang seharusnya cepat, padahal banjir dan longsor tidak menunggu kepastian administrasi.

Krisis Kepemimpinan di Tengah Bencana

Bencana alam adalah ujian terhadap kualitas tata kelola pemerintahan. Dalam teori disaster management, koordinasi yang efektif ditentukan oleh tiga faktor: kepastian komando, kejelasan mandat, dan legitimasi pemimpin. Ketika ketiga faktor ini lemah, bencana tidak hanya menjadi urusan alam, tetapi berubah menjadi bencana administrasi.

Di Aceh Selatan, jabatan Plt menciptakan ruang abu-abu dalam rantai komando. Pejabat Plt berada dalam posisi sulit, dimana memiliki tugas besar, tetapi kewenangan yang terbatas. Dalam beberapa kasus di daerah lain di Indonesia, pejabat Plt bahkan ragu menandatangani dokumen anggaran darurat atau pengadaan cepat karena takut menabrak aturan kerangka kewenangan. Hal semacam ini sangat mungkin terjadi pula di Aceh Selatan.

Situasi menjadi lebih kompleks ketika publik mulai menaruh pertanyaan kritis. Mengapa begitu banyak jabatan tidak didefinitifkan? Apakah memang tidak ada pejabat yang memenuhi syarat? Apakah birokrasi sedang dipolitisasi? Atau apakah ini sekadar kelalaian manajemen aparatur? Setiap pertanyaan memiliki implikasi, dan tidak ada satupun yang mudah bagi pemerintah daerah untuk dijawab tanpa membuka kembali proses panjang mutasi dan penataan birokrasi selama setahun terakhir.

Pada titik ini, penunjukan Baital Mukadis sebagai Plt Bupati tidak bisa hanya dipahami sebagai prosedur administratif, tetapi sebuah momentum. Sebuah kesempatan untuk mengoreksi kebijakan pengisian jabatan, mengembalikan kepastian dalam struktur pemerintahan, dan menegaskan kembali bahwa negara bekerja bukan untuk kenyamanan birokrasi, melainkan untuk keselamatan warganya.

Plt Bupati memiliki dua tugas besar yang harus dilakukan secara bersamaan, yaitu mengelola penanganan bencana dan memperbaiki fondasi birokrasi. Keduanya tidak bisa dipilih salah satu, karena gagal dalam satu, maka legitimasi pemerintahan akan jatuh seluruhnya.

Mencari Jalan Keluar dari Krisis “Pemerintahan Sementara”

Aceh Selatan tidak bisa terus berada dalam lingkaran jabatan sementara. Pemulihan pascabencana membutuhkan kepastian anggaran, kepastian program, dan kepastian pemimpin yang memegang kendali penuh. Tanpa itu, agenda pembangunan akan mandek dalam proses administratif tanpa akhir.

Ada beberapa langkah yang secara rasional harus ditegakkan yaitu diantaranya :
1.Konsolidasi birokrasi secara menyeluruh
Plt Bupati perlu memetakan posisi yang kritis dan mesti segera didefinitifkan. Audit ini harus berbasis kompetensi, bukan kalkulasi politik.

2.Transparansi pengisian jabatan
Pemerintah harus mengumumkan alasan setiap posisi menjadi Plt dan timeline penetapan definitif. Ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik.

3.Penegasan kewenangan dalam penanganan bencana
Dalam situasi darurat, Plt harus diberi mandat jelas untuk mengambil keputusan cepat, baik dalam penganggaran maupun logistik kedaruratan.

4.Perkuat koordinasi lintas sektor melalui struktur komando yang jelas
Tanpa kejelasan ini, semua instruksi di lapangan akan berjalan setengah hati.

5.Reformasi manajemen ASN jangka menengah
Aceh Selatan perlu beranjak dari pola reaktif berorientasi kekosongan jabatan menuju perencanaan karier dan rotasi yang lebih sistematis.

Pada akhirnya, problem Aceh Selatan hari ini bukan hanya tentang banjir, bukan hanya tentang Plt, dan bukan hanya soal siapa yang memegang palu keputusan di pendopo. Ini adalah cermin dari bagaimana sebuah pemerintahan bisa kehilangan otoritas ketika struktur yang menopangnya dibangun dari serangkaian jabatan “sementara”. Dan rakyat tidak bisa menunggu. Mereka tidak butuh janji; mereka butuh kepastian.

Jika Aceh Selatan ingin bangkit dari bencana, baik alam maupun birokrasi, maka ia harus memulihkan satu hal yang paling penting dalam sebuah pemerintahan: legitimasi. Tanpa itu, setiap kebijakan hanya menjadi dokumen, setiap keputusan hanya menjadi catatan, dan setiap bencana administrasi akan terus berulang tanpa akhir.

Penulis : Ferizal Salami, SE.Ak (Mahasiswa Magister FEB USK, Pemerhati Pemerintahan)

%%%%%%%%

Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *