PROVINSI Aceh, yang dijuluki sebagai Serambi Mekkah, kini dihadapkan pada ironi pahit. Di satu sisi, ia dikenal dengan penerapan syariat Islam yang ketat, namun di sisi lain, masalah penanaman ganja masih menjadi duri dalam daging yang tak kunjung tercabut.
Akar masalah ini telah menjalar selama puluhan tahun, menciptakan simpul kompleks yang membutuhkan pendekatan bijaksana dan komprehensif.
Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkap fakta yang mencemaskan: Aceh adalah salah satu produsen ganja terbesar di Indonesia. Ladang-ladang ganja tersembunyi di balik perbukitan dan lembah di kabupaten-kabupaten seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari masalah sosial dan ekonomi yang mendalam.
Terbaru, Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipidnarkoba) Bareskrim Polri menemukan ladang ganja seluas 51,75 hektare di kawasan Gayo Lues, Aceh. Ladang ganja tersebut tersebar di 26 titik (Detik News, Selasa 18/11/2025).
Mengapa ganja masih tumbuh subur di tanah Aceh? Jawabannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Pertama, kesadaran hukum di kalangan masyarakat masih minim.
Banyak petani yang tidak tahu atau tidak peduli bahwa menanam ganja adalah tindakan ilegal yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Kedua, kemiskinan dan ketiadaan alternatif ekonomi yang layak memaksa mereka untuk memilih jalan pintas ini.
Ganja dianggap sebagai tanaman yang mudah tumbuh dan menghasilkan uang dengan cepat.
Namun, kenikmatan sesaat ini membawa dampak yang sangat besar. Ganja menjadi bahan baku narkoba yang merusak generasi muda Aceh. Selain itu, penanaman ganja juga menghancurkan lingkungan hidup. Hutan ditebang untuk membuka lahan, tanah tercemar oleh pupuk dan pestisida, dan ekosistem rusak akibat praktik pertanian yang tidak berkelanjutan.
Aparat keamanan bersama Pemerintah Aceh telah berupaya sekuat tenaga untuk memberantas penanaman ganja. Razia dan penangkapan kerap dilakukan secara rutin. Namun, upaya ini saja tidak cukup. Ibarat memadamkan api dengan bensin, masalah ini akan terus berulang jika akar penyebabnya tidak diatasi.
Sekali lagi, Masalah penanaman ganja di Aceh adalah masalah yang kompleks dan memerlukan solusi yang komprehensif. Ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang lebih strategis dan terintegrasi. Pertama, meningkatkan kesadaran hukum masyarakat melalui kampanye penyuluhan yang efektif.
Kedua, mengembangkan ekonomi alternatif yang berkelanjutan, seperti pertanian organik, peternakan, atau kerajinan tangan. Pemerintah dapat memberikan bantuan modal, pelatihan, dan pendampingan kepada masyarakat untuk mengembangkan usaha-usaha ini.
Ketiga, memberikan pendampingan dan pelatihan kepada masyarakat agar mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk mengembangkan ekonomi alternatif.
Dengan pendekatan yang bijaksana dan komprehensif, diharapkan masalah penanaman ganja di Aceh dapat diatasi secara bertahap. Masyarakat Aceh dapat meningkatkan kualitas hidup mereka dan mewujudkan potensi mereka sebagai masyarakat yang sejahtera dan berakhlak mulia.
Semoga



